Rabu, Oktober 30, 2024

Pesantren Al-Hamidiyah

Kamis, 29 Januari 2009. - Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 oleh KH Achmad Sjaichu untuk mewujudkan cita-cita luhurnya mengembangkan dunia pendidikan dan dakwah Islamiah melalui pesantren. Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman yang menyertai perjalanan hidupnya, KH. Achmad Sjaichu menekuni dunia pesantren dengan konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH. Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu.

Pesantren Al-Hamidiyah merupakan salah satu wujud dari harapan dan keinginan yang sudah lama dicita-citakan oleh KH. Achmad Sjaichu (Almarhum). Pesantren Al-Hamidiyah didirikan pada tanggal 17 Juli 1988 untuk mewujudkan keinginan yang besar dalam menangani pengembangan dan pelestarian kegiatan pendidikan dan dakwah.

KH. Achmad Sjaichu mengharapkan dunia pesantren bisa menjadi penutup bagi perjalanan panjang kehidupannya, setelah ditinggalkan selama hampir 40 tahun terhitung sejak ia meninggalkan pesantren Al-Hidayah, Lasem. Dalam kurun waktu selama 40 tahun (1950-1980) KH Achmad Sjaichu terjun dalam dunia politik dan bergiat dalam Jam'iyah Nahdatul Ulama. Dalam bidang tersebut, KH Achmad Sjaichu berhasil membukukan berbagai prestasi. Di bidang politik, KH Achmad Sjaichu mencapai karir yang cukup terhormat, yaitu dengan menjadi ketua DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), yang kini berubah menjadi DPR RI.

Dengan basis keilmuan pesantren yang diperkaya dengan berbagai pengalaman dan peristiwa yang menyertai perkembangan kehidupannya itulah, KH Achmad Sjaichu menemukan kembali dunia pesantren yang pernah ditinggalkannya dalam konsep dan kesadaran yang lebih maju. Melalui pesantren, KH Achmad Sjaichu ingin mengkader da'i dan ulama yang berwawasan luas dan memiliki kedalaman ilmu. Kesadaran baru itu muncul dari hasil pemahaman menyeluruh tentang makna kehadiran para juru dakwah dan ulama ditengah-tengah masyarakat yang bergerak maju dan cepat.

KH Achmad Sjaichu merasakan keprihatinan yang mendalam atas kenyataan makin langkanya ulama dan juru dakwah, baik dari segi kuantitas karena banyaknya ulama yang wafat, maupun segi kualitas karena sistem pendidikan dan pengajaran dalam lembaga pesantren yang masih harus lebih disempurnakan lagi. Menurutnya, para juru dakwah dan ulama perlu dipersiapkan sejak dinidengan seperangkat ilmu dan keterampilan yang cukup untuk menyertai perkembangan kehidupan modern yang kian kompleks. KH Achmad Sjaichu kemudian teringat kembali akan keprihatinan dan kekhawatiran yang pernah dirasakan Rasulullah SAW belasan abad yang silam tentang kondisi umatnya yang kehilangan pemimpin dari kalangan ulama. Rasulullah bersabda ;

"Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan ilmu dengan mencabutnya secara serentak, akan tetapi Dia menghilangkan ilmu dengan cara mewafatkan ulama. Sehingga ketika sudah tak tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin. Ketika ditanya, mereka memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka tidak hanya sesat tetapi juga menyesatkan". (H.R. Bukhari-Muslim dari Ibnu Abbas)

Namun KH Achmad Sjaichu tidak tenggelam dan hanyut dalam keprihatinan semata-mata. Ia optimis dapat mewujudkan keinginannya mendirikan pesantren sebagai jawaban atas keprihatinan dan kekhawatiran tersebut. Sebab Nasyrul Ilmi (pengembangan ilmu pengetahuan) bukan semata-mata menjadi keinginan manusia, tetapi juga mendapat jaminan dari Allah SWT. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda;

"Barang siapa dikehendaki Allah menjadi orang baik, niscaya Ia (Allah) memberi kedalaman ilmu di bidang agama (Islam). Sesungguhnya saya sekedar membagi ilmu dan Allah yang memberinya. Tidak henti-hentinya umatku menegakkan kebenaran sesuai perintah Allah. Orang-orang yang menentangnya tidak akan mendatangkan madlarat bagi mereka hingga datang ketetapan Allah (kiamat)". (H.R.empat imam dari Mu'awiyah)

Motivasi yang besar untuk mendirikan sekaligus menjadi pengasuh pesantren juga mendapat dorongan dari istrinya (almarhumah) Ny. Hj. Solchah Sjaichu. Sebelum wafatnya tanggal 24 Maret 1986, Ny. Hj. Solchah terus mendorong agar rencana mendirikan pesantren itu segera diwujudkan.

Atas dasar itu, bulatlah tekad untuk mendirikan pesantren. Kebetulan pada saat yang sama, ada sebidang tanah di daerah Depok di jual dengan harga relatif murah. Tanah yang berlokasi di daerah Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Kota Depok, Jawa Barat itu, akhirnya dibeli pada tahun 1980. Di atas tanah inilah, pesantren yang menjadi idamannya dan idaman istrinya, didirikan. Karena beberapa kesibukan dan persiapan yang belum cukup, pembangunan pesantren itu tertunda. Baru pada tahun 1987, dengan disaksikan para ulama dan tokoh masyarakat, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali meletakan batu pertama, mengawali pembangunan pesantren. Oleh KH Achmad Sjaichu pesantren itu diberi nama Al-Hamidiyah, dinisbatkan dengan nama ayahandanya, H. Abdul Hamid. Pesantren Al-Hamidiyah kemudian dimasukan dalam daftar unit kerja di lingkungan Yayasan Islam Al-Hamidiyah.

Secara fisik, bangunan pesantren Al-Hamidiyah dirancang dan ditangani langsung pengawasannya oleh Ir. H. Mochamad Sutjahjo Sjaichu, putra ketiga KH Achmad Sjaichu. Bersamaan dengan itu dilakukan pula perencanaan berbagai program pendidikan di bawah koordinasi (Almarhum) DR. H. Fahmi D. Saifuddin, MPH, wakil ketua Yayasan Islam Al-Hamidiyah pada saat itu, yang juga menantu KH Achmad Sjaichu.

Sementara pembangunan fisik berjalan, persiapan pembukaan pesantren juga dilakukan. Rapat-rapat Yayasan kemudian menghasilkan keputusan perlunya segera dibentuk suatu badan pengelola. Maka dicarilah tenaga-tenaga yang siap untuk menjalankannya. Seperangkat kepengurusan dipersiapkan, dan tepat tanggal 17 Juli 1988, pondok Pesantren Al-Hamidiyah dibuka. Pada saat itu, pesantren menerima murid pertama 150 siswa untuk Madrasah Aliyah, dan 120 untuk Madrasah Tsanawiyah. Dari jumlah tersebut, 75 santri putra dan 40 santri putri bermukim di asrama, sedang lainnya pulang pergi.

Menteri Agama RI H. Munawir Sadzali kembali menjadi saksi bagi pembukaan kegiatan perdana pesantren Al-Hamidiyah. Dalam pidato sambutan peresmian pembukaan pesantren, menteri antara lain menyatakan

rasa syukur dan penghargaan yang tinggi atas dibangunnya pesantren Al-Hamidiyah depok oleh KH Achmad Sjaichu. Pendirian pondok pesantren sejalan dengan usaha Menteri Agama yang saat itu mengadakan proyek percontohan pendidikan madrasah dengan materi pendidikan terdiri dari 70% substansi agama dan 25% substansi umum yang disebut MAPK (Madrasah Aliyah Program Khusus).

Pada acara peresmian yang dihadiri alim ulama, pemerintah, dan tokoh masyarakat itu, Menteri Agama lebih jauh menyatakan, program yang menekankan pengajaran bidang studi agama adalah jawaban atas kelangkaan ulama yang sedang dirasakan umat Islam dewasa ini, khususnya di Indonesia. Dan membangun pondok pesantren bukan sekedar membangun bangunan fisik belaka. Tapi lebih dari itu, adalah membangun manusia, mempersiapkan ulama yang mampu menjawab tantangan zaman.

Pondok Pesantren Darul Muttaqien



Rabu, 07 Januari 2009-Pondok Pesantren Darul Muttaqien dirintis oleh mantan wartawan senior kantor berita Antara, H. Muh. Nahar. Ide pendirian pondok Pesantren Darul Muttaqien berawal dari kenyataan bahwa produk pondok-pondok pesantren pada saat itu dirasakan kurang memiliki kemampuan seimbang antara ilmu agama dan ilmu umum disamping semangat kemandirian, khususnya entrepreneurship. Tepatnya pada tanggal 18 Juli 1988, Pondok Pesantren Darul Muttaqien didirikan. Kelahirannya dibidani oleh para tokoh yangconcerned dengan mutu pendidikan Islam sekaligus berwawasan keagamaan dan keilmuan yang sangat handal. Di antara mereka adalah: KH. Sholeh Iskandar (alm), Ketua BKSPPI, KH. Abdul Manaf Muhayar dan KH. Mahrus Amin, perintis pesantren Darunnajah Jakarta.

Harapan dan cita-cita pendirian Pondok Pesantren Darul Muttaqien, diaktualisasikan sebagai respon langsung terhadap perkembangan, tantangan dan tuntutan zaman dengan melakukan serangkaian perubahan, perbaikan dan perencanaan yang sistematis dan sistemik. Perbaikan dan perencanaan ini dilakukan dengan sistem terpadu lewat perumusan kembali visi dan misi Darul Muttaqien 2003. untuk tujuan tersebut Pondok Pesantren Darul Muttaqien telah melakukan kolaborasi dan partnership dengan lembaga-lembaga lain yang berkompeten pada bidangnya.

Pondok Pesantren Darul Muttaqien berkembang cukup mengagumkan, baik dari kualitas maupun kuantitas. Lokasinya yang sangat strategis, berada di samping Jl. Raya Jakarta-Bogor, sebuah kawasan yang kini sedang tumbuh menjadi kawasan pendidikan dan jauh dari budaya tawuran serta penyalahgunaan obat-obatan terlarang, membuat orang tua yakin dan tenang dalam menyekolahkan anak-anaknya. Mereka juga dapat memantau perkembangan putra-putrinya setiap saat, tidak hanya melalui sarana telekomunikasi, tetapi juga dengan dukungan sarana transportasi yang sangat lancar.

Areal kampus Pondok Pesantren Darul Muttaqien yang luasnya mencapai kurang lebih 8 hektar dengan tertata rapi dan apik, dilengkapi dengan berbagai sarana pendukung, benar-benar menyediakan ruang gerak (life space) yang sangat memadai bagi timbulnya potensi anak didik secara sempurna.

Fasilitas Penunjang
1. Masjid (putra-putri)
2. 2 unit asrama putra dan 2 unit asrama putri dengan kapasitas 700 orang
3. Ruang Belajar 24 kelas dengan kapasitas 30 siswa/kelas
4. Lab. Fisika, Kimia dan Biologi
5. Lab. Komputer dengan kapasitas 15 siswa/siswi (1 siswa 1 komputer)
6. Lab. Bahasa
7. Ruang perpustakaan
8. Gedung serbaguna (Auditorium)
9. Poliklinik
10. Kantin/koperasi
11. Sarana olahraga (sepak bola, basket, voli, badminton)
12. Unit Simpan Pinjam (USP/BMT).

Jenjang Pendidikan
TKI Darul Muttaqien
TK Islam (TKI) Darul Muttaqien berdiri tahun 1994 sebagai wujud kepedulian pesantren dalam meningkatkan mutu dan kualitas lulusan TK Islam yang dirasa masih jauh dari harapan. Dengan didukung oleh fasilitas kegiatan belajar yang memadai, menjadikan TK Islam Darul Muttaqien terpilih menjadi TK terbaik se-Jawa Barat.

Kompetensi dasar yang ditargetkan pada jenjang TK Islam adalah membantu anak didik memiliki kemampuan dalam membaca huruf Arab dan Latin lewat bermain serta mampu menghafal do’a-do’a dan surat-surat pendek.

SDIT Darul Muttaqien
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) berdiri tahun 1999 sebagai upaya menyiapkan lulusan sekolah dasar yang bermutu sesuai dengan kebutuhan. Staf pengajar SDIT adalah para sarjana S1, D1 dan D2 yang telah dinyatakan lulus tes sebagai pengajar oleh Netraco. Dengan menerapkan model full day school siswa SDIT Darul Muttaqien akan memiliki nilai tambah dari segi-segi pengembangan intelektual, Psikomotorik, Emosional dan Spiritual.

Kompetensi dasar yang hendak dicapai SDIT Darul Muttaqien adalah membantu anak agar memiliki sikap dasar mental yang baik dengan mengembangkan intelektual, emosional dan spiritual didukung dengan menanamkan aqidah shahihah dan akhlaqul karimah melalui praktek-prektek ibadah di sekolah.

TMI
TMI (Tarbiyatul Muallimin Wal Muallimat al-Islami) lembaga yang menaungi jenjang pendidikan Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum pesantren yang dipadukan dengan kurikulum dari Depag. Dengan penerapan kurikulum tersebut, diharapkan siswa memiliki nilai tambah dalam belajar, serta lulusan MA dapat melanjutkan ke Perguruan tinggi agama maupun umum. Madrasah Aliyah Darul Muttaqien membuka dua jurusan: IPA dan IPS.

Staf pengajar TMI Darul Muttaqien adalah para lulusan Perguruan Tinggi S1 pada bidangnya yang telah berhasil mengikuti test menjadi pengajar lewat jasa psikotest. Metode yang diterapkan di TMI Darul Muttaqien dalam kegiatan belajar mengajar adalah metode dan pendekatan modern sebagai upaya menumbuhkan kemampuan intelektual, psikomotorik dan emosional secara imbang.

Kompetensi dasar yang ditargetkan pada jenjang MTs adalah membantu anak didik memahami dan mengerjakan praktek ibadah amaliah disamping menguasai dasar-dasar keimanan serta mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab dan Inggris dengah baik.

Sedangkan kompetensi dasar yang ditargetkan pada jenjang MA adalah membantu anak didik agar mampu memahami dan mengamalkan prinsip-prinsip dasar hukum Islam dan pengetahuan dasar ilmu-ilmu sosial serta trampil berkomunikasi dengan bahasa Arab dan Inggris.

Pesantren Salafi
Di samping lembaga-lembaga formal tersebut, pondok pesantren Darul Muttaqien juga mengelola pesantren Salafi. Santri pesantren salafi adalah kader-kader daerah yang disiapkan untuk menjadi siswa TMI Darul Muttaqien. Sejak didirikan, pondok pesantren Darul Muttaqien sudah mengelola program Ashabul Muttaqien, yakni rekruitmen santri lewat pengabdian satu tahun. Aktifitas mereka sehari-hari membantu pesantren sekaligus belajar ilmu-ilmu dasar, khususnya bahasa Arab dan mengaji.

Selasa, Oktober 29, 2024

Bahaya Perundungan di Kalangan Anak

Makalah: Bahaya Perundungan di Kalangan Anak

Oleh: Badrun

 

Pendahuluan

Perundungan atau bullying menjadi masalah serius di kalangan anak yang berdampak luas terhadap perkembangan fisik dan mental mereka. Perundungan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk fisik, verbal, dan sosial, serta di lingkungan daring atau cyberbullying[1]. Fenomena ini tidak hanya mempengaruhi korban secara individual tetapi juga menciptakan lingkungan yang tidak sehat di sekolah dan komunitas.

Perundungan atau bullying merupakan salah satu isu serius yang tengah dihadapi oleh kalangan anak-anak serta remaja saat ini. Fenomena ini memiliki dampak yang sangat luas dan signifikan terhadap perkembangan fisik dan mental anak. Bullying dapat menimpa siapa saja dan terjadi dalam berbagai bentuk, baik secara fisik seperti pemukulan atau penyerangan, verbal seperti ejekan atau penghinaan, maupun sosial seperti pengucilan dari kelompok. Selain itu, dengan kemajuan teknologi, bullying kini juga marak terjadi melalui platform digital, yang dikenal dengan istilah cyberbullying[2].

Dampak dari perundungan ini tidak hanya dirasakan oleh korban secara pribadi, tetapi juga memengaruhi dinamika sosial di sekitarnya. Lingkungan belajar seperti sekolah dapat berubah menjadi tempat yang menakutkan dan tidak aman bagi anak-anak, sementara komunitas atau lingkungan sosial mereka dapat menjadi kurang mendukung. Kondisi ini, pada akhirnya, menghambat perkembangan sosial dan emosional anak, mengurangi rasa percaya diri, dan memicu berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.

Lebih jauh lagi, perundungan yang tidak ditangani dengan baik dapat berdampak jangka panjang, memengaruhi kualitas hidup korban hingga saat dewasa. Anak-anak yang menjadi korban perundungan sering kali membawa traumanya hingga dewasa, yang dapat berkontribusi pada perilaku antisosial, performa akademis yang buruk, dan masalah interaksi sosial[3].

Pentingnya menangani isu ini dengan serius memerlukan perhatian khusus dari berbagai pihak, termasuk orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas. Meningkatkan kesadaran dan membangun mekanisme dukungan yang efektif menjadi krusial agar dapat menciptakan lingkungan yang aman dan sehat bagi anak-anak untuk belajar dan berkembang. Dengan pendekatan yang tepat dan berkelanjutan, kita bisa berharap untuk meminimalisir dampak buruk dari perundungan ini serta memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

 

Definisi Perundungan

Perundungan adalah tindakan negatifif yang dilakukan secara berulang oleh satu atau lebih anak terhadap anak lain yang dianggap lebih lemah atau kurang berdaya[4]. Tindakan ini bisa berupa kekerasan fisik, ejekan, ancaman, penyebaran rumor negatif, dan pengecualian dari kelompok sosial. Dengan kemajuan teknologi, perundungan juga bisa terjadi melalui media sosial dan aplikasi pesan instan, dikenal sebagai cyberbullying.

Perundungan, atau yang lebih dikenal dengan istilah bullying, adalah suatu tindakan agresif yang dilakukan secara berulang oleh satu atau lebih individu terhadap seorang individu lain yang dianggap lebih lemah atau kurang berdaya. Perilaku ini biasanya melibatkan ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban, di mana si pelaku menggunakan kekuatannya untuk menindas dan menimbulkan rasa takut pada korban.

 

Tindakan perundungan dapat berbentuk kekerasan fisik seperti memukul, menendang, atau mendorong. Namun, bentuk perundungan tidak selalu bersifat fisik. Ejekan, ancaman, atau penghinaan secara verbal juga termasuk dalam kategori ini. Selain itu, penyebaran rumor negatif yang bertujuan merusak reputasi korban dan pengecualian dari kelompok sosial yang menyebabkan korban merasa terisolasi merupakan manifestasi lain dari perundungan sosial.[5]

Dengan pesatnya perkembangan teknologi, perundungan telah meluas ke ranah digital, menciptakan bentuk baru yang disebut cyberbullying. Cyberbullying terjadi melalui penggunaan media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform digital lainnya. Tindakan ini dapat mencakup pengiriman pesan-pesan yang melecehkan, penyebaran informasi pribadi yang memalukan, hingga manipulasi digital lainnya yang bertujuan merugikan korban.

Perundungan tidak hanya menyebabkan kerugian fisik tetapi juga menimbulkan dampak psikologis yang serius bagi korban. Rasa takut, kecemasan, dan depresi adalah beberapa dampak emosional yang sering dialami oleh korban perundungan. Selain itu, anak-anak yang mengalami perundungan mungkin kesulitan dalam berinteraksi sosial, menunjukkan ketidakstabilan emosional, dan mengalami penurunan prestasi akademis.[6]

Mengingat kompleksitas dan berbagai bentuk yang dapat diambil, perundungan memerlukan perhatian dan penanganan yang komprehensif. Langkah-langkah pencegahan dan intervensi harus melibatkan keterlibatan aktif orang tua, pendidik, serta pemangku kepentingan lainnya. Pendidikan tentang empati, resolusi konflik, dan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab menjadi penting dalam upaya mengurangi insiden perundungan dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi anak-anak.

 

 

Dampak Perundungan terhadap Anak

Perundungan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi anak-anak yang menjadi korban. Dampak ini tidak hanya terbatas pada saat perundungan terjadi, tetapi dapat berlanjut dan membekas hingga masa dewasa. Berikut adalah paparan lebih mendalam mengenai dampak-dampak tersebut:

1.       Dampak Psikologis

Dampak Psikologis: Anak yang menjadi korban perundungan seringkali mengalami rasa takut, cemas, dan rendah diri. Mereka mungkin merasa terisolasi dan mengalami depresi. Dalam jangka panjang, dampak psikologis ini dapat mengganggu kesehatan mental dan menyebabkan gangguan emosional yang lebih serius.[7]

Anak-anak yang menjadi korban perundungan sering kali merasakan berbagai masalah psikologis yang dapat mempengaruhi kesehatan mental mereka. Perundungan dapat menimbulkan rasa takut dan cemas yang berkepanjangan. Anak-anak ini mungkin merasa tidak berdaya dan rendah diri, serta mengalami penurunan harga diri yang signifikan. Perasaan terisolasi dari teman sebaya dapat memperburuk perasaan kesepian dan menjadi pintu masuk bagi depresi. Apabila tidak ditangani, dampak psikologis ini bisa berkembang menjadi gangguan emosional yang lebih serius seperti gangguan kecemasan berat dan stres pascatrauma (PTSD). Dalam jangka panjang, perundungan dapat menyebabkan kesulitan dalam membangun hubungan interpersonal yang sehat dan menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.

 

2. Dampak Akademis

Dampak Akademis: Anak yang diintimidasi cenderung kehilangan minat untuk belajar. Mereka mungkin mengalami penurunan prestasi akademis, sering absen, atau bahkan putus sekolah akibat ketidaknyamanan dan tekanan di lingkungan belajar.[8]

Secara akademis, perundungan mempengaruhi motivasi dan kemampuan belajar anak. Anak yang menjadi korban sering kehilangan minat untuk bersekolah dan berpartisipasi dalam kegiatan kelas. Ketidaknyamanan dan tekanan yang dirasakan di lingkungan belajar dapat mengakibatkan penurunan prestasi akademis. Anak-anak ini cenderung lebih sering absen karena merasa lingkungan sekolah yang seharusnya mendukung telah berubah menjadi tempat yang menakutkan. Dalam kasus yang lebih parah, korban perundungan mungkin memilih untuk putus sekolah sebagai cara untuk menghindari konfrontasi dan pelecehan yang berkelanjutan. Dampak ini bisa mempersempit peluang mereka di masa depan dan mempengaruhi pilihan karier mereka.

 

3. Dampak Sosial

Dampak Sosial: Perundungan dapat mengganggu kemampuan sosial anak, membuat mereka merasa terasing dan sulit untuk berintegrasi dengan rekan-rekan sebaya. Ini bisa berdampak buruk terhadap perkembangan keterampilan sosial dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain.[9]

Dampak sosial dari perundungan juga sangat signifikan. Anak-anak yang diintimidasi sering merasa terasing dari kelompok sosial mereka. Pengalaman ini dapat mengganggu perkembangan keterampilan sosial yang penting untuk keberhasilan interaksi dengan orang lain. Anak-anak mungkin menjadi lebih tertutup, menghindari pergaulan, dan merasa sulit untuk membangun hubungan baru atau mempercayai orang lain. Dampak jangka panjangnya, mereka bisa menghadapi masalah dalam bekerja sama dan berkolaborasi dalam tim saat dewasa. Perasaan keterasingan ini juga bisa membuat anak mengalami kesulitan dalam berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat.

Melihat berbagai dampak yang serius dan berkepanjangan tersebut, penting bagi para pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan untuk bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang aman, mendukung, dan inklusif bagi anak-anak. Intervensi yang tepat dan kebijakan yang efektif dapat membantu mengurangi insiden perundungan dan membantu korban untuk pulih dan berkembang dengan baik.

 

Pencegahan Perundungan

Pencegahan adalah kunci untuk meminimalkan dampak negatif perundungan.[10] Beberapa langkah yang dapat diambil meliputi:

1. Pendidikan dan Kesadaran: Menyadarkan anak-anak, guru, dan orang tua tentang bahaya perundungan serta mengajarkan toleransi, empati, dan keterampilan sosial.

a.       Menyadarkan Bahaya Perundungan: Pendidikan dan kesadaran sejak dini sangat penting agar anak-anak memahami bahaya perundungan, baik dampaknya terhadap korban maupun konsekuensi hukum dan sosial bagi pelaku. Kampanye melalui kurikulum sekolah atau program edukasi khusus dapat membantu anak-anak memahami bahwa perundungan adalah tindakan yang salah dan berdampak buruk.[11]

b.       Mengajarkan Toleransi dan Empati: Anak-anak perlu diajarkan untuk menghargai perbedaan, seperti perbedaan budaya, latar belakang, atau karakteristik fisik. Latihan empati, seperti berbagi perasaan dan memahami perasaan orang lain, sangat membantu dalam mendorong sikap menghargai dan mengurangi niat untuk melakukan perundungan.

c.       Keterampilan Sosial dan Komunikasi: Mengajarkan keterampilan sosial, seperti komunikasi yang sehat, menangani konflik, dan kemampuan untuk mencari bantuan, dapat membuat anak lebih siap menghadapi berbagai situasi tanpa bersikap agresif atau defensif. Latihan melalui permainan peran atau diskusi kelompok di sekolah dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan ini.

 

2. Kebijakan Sekolah: Menerapkan aturan tegas terhadap perundungan di sekolah, termasuk sistem pelaporan yang aman dan mekanisme penanganan yang tepat.[12]

a.       Penerapan Aturan Anti-Perundungan: Sekolah sebaiknya memiliki kebijakan yang tegas dan transparan mengenai perundungan, yang menyatakan bahwa tindakan perundungan tidak akan ditoleransi. Kebijakan ini bisa berupa peraturan tertulis, yang diketahui oleh siswa, guru, dan orang tua.

b.       Sistem Pelaporan Aman: Sistem pelaporan harus mudah diakses, aman, dan tidak menimbulkan ketakutan bagi siswa yang ingin melaporkan perundungan. Misalnya, menyediakan kotak pengaduan atau hotline khusus dapat mempermudah siswa dalam melaporkan kejadian tanpa takut disertai tindakan balasan.

c.       Mekanisme Penanganan yang Efektif: Sekolah juga perlu memiliki prosedur penanganan yang jelas dan tepat waktu, termasuk langkah-langkah yang harus diambil oleh guru atau petugas jika terjadi perundungan. Penanganan yang efektif bisa mencakup langkah-langkah disiplin dan pendampingan bagi pelaku untuk menyadari kesalahan mereka.

3. Dukungan untuk Korban: Memberikan dukungan psikologis dan konseling bagi anak korban perundungan untuk membantu memulihkan kepercayaan diri dan mengatasi trauma.[13]

a.       Konseling dan Dukungan Psikologis: Korban perundungan sering mengalami dampak emosional seperti rendah diri, kecemasan, atau trauma.[14] Memberikan layanan konseling dan dukungan psikologis sangat penting untuk memulihkan kesehatan mental dan kepercayaan diri korban. Program konseling dapat dilaksanakan oleh konselor sekolah atau dengan bantuan psikolog luar sekolah.

b.       Pengembangan Diri Korban: Membantu korban dalam meningkatkan kemampuan mereka di berbagai bidang, seperti kegiatan ekstrakurikuler, dapat membantu mengembalikan rasa percaya diri. Kegiatan seperti olahraga, seni, atau kelompok minat khusus bisa menjadi cara untuk membantu korban membangun kembali citra diri yang positif.[15]

c.       Lingkungan yang Aman dan Mendukung: Sekolah harus menciptakan lingkungan yang mendukung dan aman, di mana korban merasa dihargai dan diterima oleh teman-temannya. Dukungan dari guru dan teman-teman untuk menumbuhkan sikap saling menghormati akan menciptakan lingkungan positif bagi semua siswa.[16]

4. Peran Orang Tua: Orang tua harus aktif berkomunikasi dengan anak-anak mereka dan memperhatikan tanda-tanda perundungan. Mereka juga harus membina lingkungan yang aman dan mendukung di rumah.[17]

a.       Komunikasi yang Terbuka: Orang tua perlu menjalin komunikasi terbuka dengan anak-anak mereka. Mengajukan pertanyaan secara teratur tentang kehidupan sosial anak di sekolah dan mendengarkan keluh kesah mereka tanpa menghakimi adalah langkah penting. Dengan komunikasi terbuka, orang tua bisa lebih cepat mengetahui jika anak mereka menjadi korban atau pelaku perundungan.[18]

b.       Mewaspadai Tanda-Tanda Perundungan: Orang tua perlu peka terhadap tanda-tanda perundungan, seperti perubahan perilaku, ketidakmauan anak untuk pergi ke sekolah, atau seringnya anak mengalami kecemasan.[19] Mengenali tanda-tanda awal ini dapat memungkinkan orang tua untuk segera mencari bantuan dan dukungan.

c.       Menciptakan Lingkungan yang Aman di Rumah: Rumah yang aman, hangat, dan mendukung dapat menjadi pelindung bagi anak dari tekanan di luar. Orang tua dapat menanamkan nilai-nilai positif, menghargai perbedaan, dan menumbuhkan kepercayaan diri anak-anak mereka.[20] Dengan ini, anak-anak akan lebih kuat dalam menghadapi perundungan dan juga lebih enggan untuk terlibat dalam perundungan terhadap orang lain.

Pencegahan perundungan ini memerlukan kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat agar anak-anak mendapatkan lingkungan yang aman dan mendukung, serta terbentuknya karakter yang positif untuk masa depan mereka.

Kesimpulan

Perundungan di kalangan anak merupakan isu yang memerlukan perhatian dan tindakan segera. Dengan upaya kolektif dari sekolah, keluarga, dan masyarakat, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi anak-anak untuk tumbuh dan belajar. Mengatasi perundungan tidak hanya melindungi korban tetapi juga membentuk generasi yang lebih peduli dan bertanggung jawab.

1. Perundungan di Kalangan Anak Merupakan Isu yang Membutuhkan Perhatian dan Tindakan Segera

a.       Signifikansi dan Dampak Perundungan: Perundungan di kalangan anak-anak dapat membawa dampak serius jangka pendek dan panjang, seperti rendahnya kepercayaan diri, masalah emosional, penurunan prestasi akademik, hingga potensi masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, isu ini tidak bisa diabaikan. Memahami urgensi ini mendorong semua pihak untuk segera bertindak dan mencari solusi untuk mencegah perundungan sejak dini.

b.       Tindakan Pencegahan yang Mendalam: Tindakan pencegahan yang efektif memerlukan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara sekolah, keluarga, dan komunitas. Mulai dari kebijakan anti-perundungan di sekolah, hingga peran aktif orang tua dan masyarakat, semua ini menjadi langkah konkret yang harus diambil agar perundungan bisa ditekan seminimal mungkin.

2. Peran Kolektif Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat dalam Menciptakan Lingkungan yang Aman dan Sehat

a.       Kerja Sama Sekolah dan Keluarga: Sekolah dan keluarga merupakan dua lingkungan utama bagi anak-anak. Sinergi antara keduanya dapat menciptakan lingkungan yang mendukung dan aman. Sekolah dapat menerapkan kebijakan anti-perundungan dan program pendidikan, sementara orang tua dapat mendukung serta mendukung perkembangan emosional anak di rumah. Kerja sama ini menjadi fondasi yang kuat dalam upaya pencegahan perundungan.

b.       Partisipasi Masyarakat Luas: Selain sekolah dan keluarga, peran masyarakat luas juga penting dalam upaya ini. Kampanye anti-perundungan, kegiatan sosial yang mengajarkan toleransi, dan dukungan dari lembaga pemerintah atau non-pemerintah dapat membantu membangun budaya anti-perundungan di masyarakat. Dengan lingkungan yang mendukung, anak-anak merasa lebih aman dan mendapatkan perlindungan dari kemungkinan perundungan di luar sekolah.

3. Manfaat Mengatasi Perundungan bagi Korban dan Pembentukan Generasi yang Peduli dan Bertanggung Jawab

a.       Perlindungan Terhadap Korban: Mengatasi perundungan memberikan perlindungan langsung bagi korban yang mungkin mengalami efek negatif dari perundungan. Dukungan psikologis dan perlindungan ini membantu korban untuk pulih, mengembalikan kepercayaan diri, serta berkembang dengan sehat baik secara emosional maupun sosial.

b.       Pembentukan Karakter Anak yang Positif: Upaya mengatasi perundungan bukan hanya soal perlindungan, tetapi juga soal membentuk karakter. Dengan mencegah perundungan, anak-anak belajar nilai empati, saling menghargai, dan rasa tanggung jawab. Nilai-nilai ini dapat tertanam dalam diri anak dan membentuk generasi masa depan yang lebih peduli terhadap orang lain serta memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.

c.        Dampak Positif Jangka Panjang bagi Masyarakat: Mengatasi perundungan pada usia anak akan memberikan dampak positif bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan menciptakan lingkungan yang bebas dari perundungan, anak-anak tumbuh dengan perasaan aman dan mampu menjalin hubungan sosial yang sehat. Hal ini akan berkontribusi pada terbentuknya masyarakat yang harmonis, saling mendukung, dan menghargai perbedaan.

Kesimpulan Akhir

Secara keseluruhan, mengatasi perundungan di kalangan anak memerlukan perhatian dan aksi nyata dari seluruh elemen masyarakat. Upaya bersama ini tidak hanya melindungi anak-anak dari bahaya perundungan tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih baik dengan membentuk generasi yang berkarakter positif, peduli, dan bertanggung jawab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinda, Kea, Jeni Putri Helvini, Maridza Orlin Sadira, and Pipi Susanti. SOSIALISASI MELAWAN PERUNDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK DI SDN 117 DESA PASAR TEBAT KECAMATAN AIR NAPAL KABUPATEN BENGKULU UTARA. Jurnal Pendidikan Kreativitas Pembelajaran 6, no. 4 (2024).

Eleanora, Fransiska Novita, and Rabiah Al Adawiah. Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying) Dan Upaya Preventif Di Kalangan Siswa SMK Bangun Persada Bekasi. Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia 1, no. 2 (October 24, 2021): 203 8. https://doi.org/10.54082/jamsi.67.

Irawan, Tb. Moh. Irma Ari, Rifqy Muhammad Hamzah, and Srie Mulyati. Layanan Bimbingan Dan Konseling Untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa Korban Bullying: Sebuah Kajian Sistematis. JURNAL BIMBINGAN DAN KONSELING AR-RAHMAN 10, no. 1 (June 28, 2024): 70. https://doi.org/10.31602/jbkr.v10i1.14931.

Maysarah, Maysarah, and Bengkel Bengkel. Pentingnya Edukasi Bullying Pada Anak Sejak Dini Di Panti Asuhan Ar-Rahman. Literasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat Dan Inovasi 3, no. 1 (February 11, 2023): 401 7. https://doi.org/10.58466/literasi.v3i1.862.

Murni Rada, Arisa, Faissal Malik Anggota, and Salha Marsaoly Anggota. PENCEGAHAN PERILAKU PERUNDUNGAN (BULLYING) PADA KALANGAN PELAJAR DI KOTA TERNATE. Jurnal Pengabdian Masyarakat. Vol. 1, n.d. http://repository.usu.ac.id,.

Sigalingging, Oktavia Purnamasari, and Motlan Gultom. PERANAN ORANG TUA DALAM MENGATASI PERUNDUNGAN (BULLYING) PADA ANAK. Vol. 1, n.d. http://jpm.usxiitapanuli.ac.id.

Taufiq, Muhammad, Badrun Ahmad, and Rindiyani A Fatah. Sosialisasi Pencegahan Dan Penanganan Perundungan Di SD IT Insantama Tidore. Jurnal Pengabdian Khairun (JPK 3, no. 1 (2024).

Waluyati, Ida. Edukasi Dampak Perundungan Di SDN Inpres Simpasai Lambu 3, no. 2 (2024). https://jurnal.jomparnd.com/index.php/jpabdi.

 

 

 



[1] Fransiska Novita Eleanora and Rabiah Al Adawiah, Perundungan Dunia Maya (Cyberbullying) Dan Upaya Preventif Di Kalangan Siswa SMK Bangun Persada Bekasi, Jurnal Abdi Masyarakat Indonesia 1, no. 2 (October 24, 2021): 203 8, https://doi.org/10.54082/jamsi.67.

[2] Ibid.

[3] Kea Arinda et al., SOSIALISASI MELAWAN PERUNDUNGAN TERHADAP ANAK-ANAK DI SDN 117 DESA PASAR TEBAT KECAMATAN AIR NAPAL KABUPATEN BENGKULU UTARA, Jurnal Pendidikan Kreativitas Pembelajaran 6, no. 4 (2024).

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Maysarah Maysarah and Bengkel Bengkel, Pentingnya Edukasi Bullying Pada Anak Sejak Dini di Panti Asuhan Ar-Rahman, Literasi: Jurnal Pengabdian Masyarakat Dan Inovasi 3, no. 1 (February 11, 2023): 401 7, https://doi.org/10.58466/literasi.v3i1.862.

[7] Ida Waluyati, Edukasi Dampak Perundungan Di SDN Inpres Simpasai Lambu 3, no. 2 (2024), https://jurnal.jomparnd.com/index.php/jpabdi.

[8] Ibid.

[9] Ibid.

[10] Arisa Murni Rada, Faissal Malik Anggota, and Salha Marsaoly Anggota, PENCEGAHAN PERILAKU PERUNDUNGAN (BULLYING) PADA KALANGAN PELAJAR DI KOTA TERNATE, Jurnal Pengabdian Masyarakat, vol. 1, n.d., http://repository.usu.ac.id.

[11] Muhammad Taufiq, Badrun Ahmad, and Rindiyani A Fatah, Sosialisasi Pencegahan Dan Penanganan Perundungan Di SD IT Insantama Tidore, Jurnal Pengabdian Khairun (JPK 3, no. 1 (2024).

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Tb. Moh. Irma Ari Irawan, Rifqy Muhammad Hamzah, and Srie Mulyati, Layanan Bimbingan Dan Konseling Untuk Meningkatkan Resiliensi Siswa Korban Bullying: Sebuah Kajian Sistematis, JURNAL BIMBINGAN DAN KONSELING AR-RAHMAN 10, no. 1 (June 28, 2024): 70, https://doi.org/10.31602/jbkr.v10i1.14931.

[15] Ibid.

[16] Ibid.

[17] Oktavia Purnamasari Sigalingging and Motlan Gultom, PERANAN ORANG TUA DALAM MENGATASI PERUNDUNGAN (BULLYING) PADA ANAK, vol. 1, n.d., http://jpm.usxiitapanuli.ac.id.

[18] Ibid.

[19] Ibid.

[20] Ibid.

Sabtu, Oktober 26, 2024

Catatan Kuliah online Kepanitraan bersama dosen Pengampu ibu Indah Rini, M.H.I.

Klasifikasi dan Proses Pengangkatan serta Pemberhentian Pejabat di Pengadilan Agama: Sebuah Tinjauan Penting untuk Efektivitas Peradilan

Pada sesi kuliah online mata kuliah Kepanitraan yang disampaikan oleh Ibu Indah Rini, M.H.I., Dosen Pengampu, Sabtu, 26 Oktober 2024, dibahas tentang klasifikasi Pengadilan Agama (PA) serta proses pengangkatan dan pemberhentian pejabat di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA). Materi ini menyoroti pentingnya klasifikasi untuk efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan agama di Indonesia serta aspek pengangkatan dan pemberhentian pejabat yang krusial dalam menjaga integritas lembaga.

1. Sejarah Klasifikasi PA dan Peralihan Kewenangan

Dahulu, Pengadilan Agama berada di bawah naungan Kementerian Agama, tetapi kemudian dialihkan ke Mahkamah Agung (MA) sekitar tahun 1992 atau 1995. Perubahan ini meningkatkan kesejahteraan, operasional, dan kinerja di bawah sistem yang lebih terintegrasi dalam MA, sehingga memungkinkan PA dan PTA untuk menjalankan fungsi mereka dengan lebih efisien.

2. Tujuan Klasifikasi PA

Klasifikasi PA mencakup beberapa tingkatan, seperti PA tingkat kabupaten, serta tingkat pengadilan tinggi di tingkat provinsi. Klasifikasi ini dibedakan menjadi kelas-kelas, seperti kelas 1A, 1B, dan 2A atau 2B, yang menentukan beban kerja dan frekuensi perkara yang ditangani. PA dengan jumlah kasus yang tinggi, seperti di kelas 1A, dituntut memiliki kinerja dan manajemen yang lebih efektif untuk menghadirkan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

3. Landasan Hukum Klasifikasi PA

Klasifikasi PA diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan, di antaranya:

  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Pengadilan Agama, yang mengatur struktur dan tugas PA.
  • PP Nomor 2 Tahun 2003, yang menetapkan pedoman teknis untuk pelaksanaan UU tersebut.
  • Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004, yang mengatur klasifikasi PA berdasarkan beban kerja dan wilayah.

Landasan hukum ini memberikan pedoman bagi evaluasi kinerja, analisis wilayah, serta rekomendasi dalam proses pembentukan klasifikasi, sehingga memastikan kesesuaian antara tingkat pengadilan dan beban kerja yang dihadapinya.

4. Kriteria Klasifikasi PA

Faktor-faktor yang diperhatikan dalam klasifikasi PA meliputi:

  • Beban Kerja: Jumlah perkara yang ditangani dan tingkat kesulitan.
  • Luas Wilayah: Cakupan wilayah dan populasi yang dilayani.
  • Sumber Daya: Jumlah hakim, staf, dan fasilitas yang tersedia.

5. Peran dan Tanggung Jawab Pejabat PA dan PTA

Pejabat PA dan PTA memiliki peran yang kompleks, yaitu menegakkan hukum, menjaga integritas, bertanggung jawab, dan memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat. Integritas sangat penting dalam menghindari konflik kepentingan, sementara pelayanan yang ramah diharapkan agar masyarakat merasa nyaman saat mengakses layanan PA.

6. Persyaratan dan Proses Pengangkatan Pejabat PA

Persyaratan untuk diangkat menjadi pejabat di PA mencakup kualifikasi pendidikan (minimal sarjana, tetapi di PTA dapat lebih tinggi), pengalaman kerja, kemampuan profesional, serta integritas moral. Proses pengangkatan melalui empat tahap:

  • Seleksi Calon
  • Evaluasi dan Uji Kompetensi
  • Rekomendasi
  • Pengangkatan

Uji kompetensi memastikan bahwa calon hakim atau ketua pengadilan memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup untuk memimpin lembaga peradilan dengan baik.

7. Alasan Pemberhentian Pejabat PA

Pejabat di PA atau PTA dapat diberhentikan karena:

  • Pelanggaran Kode Etik
  • Penyalahgunaan Wewenang
  • Ketidakmampuan dalam Menjalankan Tugas
  • Pemberhentian Tidak Hormat: Misalnya, jika terbukti terlibat suap, maka kariernya sebagai hakim akan terhenti.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Klasifikasi PA serta proses pengangkatan dan pemberhentian pejabat di PA dan PTA merupakan aspek penting dalam sistem peradilan agama yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas, kualitas pelayanan, dan menjaga integritas lembaga. Upaya-upaya yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan kinerja PA, termasuk peningkatan pelayanan yang ramah dan berkualitas kepada masyarakat, akan membangun kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan agama.

=========================

Berikut ini penjabaran terstruktur untuk pembahasan diatas tentang Klasifikasi dan Pengangkatan-Pemberhentian Pejabat di Pengadilan Agama berdasarkan catatan kuliah yang disampaikan oleh Ibu Indah Rini, M.H.I., pada perkuliahan mata kuliah Kepanitraan.

1. Klasifikasi di Pengadilan Agama (PA)

  • Tujuan Klasifikasi
    Klasifikasi di Pengadilan Agama bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja peradilan. Dengan pembagian berdasarkan kelas dan wilayah, setiap pengadilan diharapkan mampu beroperasi sesuai kapasitas dan kondisi regionalnya. Semakin tinggi jumlah perkara yang ditangani oleh PA di suatu wilayah, semakin besar pula tuntutan pada kinerja dan layanan yang diberikan.

  • Dasar Hukum
    Klasifikasi pengadilan diatur dalam beberapa peraturan, antara lain:

    • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Agama, yang mengatur struktur, tugas, dan lingkup kewenangan PA.
    • PP Nomor 2 Tahun 2003 sebagai pedoman teknis pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1986.
    • Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2004 yang membagi PA ke dalam kelas-kelas tertentu berdasarkan beban kerja dan cakupan wilayah.
  • Proses Pembentukan Klasifikasi
    Pembentukan klasifikasi PA dilakukan melalui beberapa langkah, yaitu:

    • Penilaian Kerja: Melihat jumlah dan jenis kasus yang ditangani.
    • Analisis Wilayah: Mempertimbangkan luas wilayah dan demografi penduduk.
    • Evaluasi Kinerja dan Rekomendasi: Mengevaluasi kinerja PA dan memberikan rekomendasi untuk peningkatan kualitas pelayanan.

2. Proses Pengangkatan Pejabat di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA)

  • Kualifikasi dan Syarat Pengangkatan
    Pengangkatan pejabat di PA dan PTA didasarkan pada beberapa kriteria, antara lain:
    • Kualifikasi Pendidikan: Minimal sarjana hukum untuk pejabat PA, dengan jenjang magister atau doktoral untuk jabatan lebih tinggi.
    • Pengalaman Kerja: Calon pejabat harus memiliki pengalaman cukup lama di bidang hukum.
    • Kemampuan Profesional dan Integritas: Kemampuan menangani tugas secara profesional dengan integritas moral yang tinggi.
  • Proses Seleksi
    Seleksi calon pejabat PA/PTA melalui tahapan berikut:
    • Seleksi Calon: Mencari kandidat yang memenuhi kualifikasi.
    • Evaluasi dan Uji Kompetensi: Melakukan tes kompetensi dan evaluasi profesionalisme.
    • Rekomendasi: Pemberian rekomendasi untuk calon pejabat yang lolos seleksi.

3. Proses Pemberhentian Pejabat PA/PTA

  • Alasan Pemberhentian
    Seorang pejabat PA/PTA dapat diberhentikan karena beberapa faktor, yaitu:
    • Pelanggaran Kode Etik: Melanggar standar etika profesi, seperti menerima suap atau bertindak tidak profesional.
    • Penyalahgunaan Wewenang: Menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.
    • Ketidakmampuan Menjalankan Tugas: Tidak mampu memenuhi tanggung jawab jabatan yang diemban.
    • Pemberhentian Tidak Hormat: Terjadi jika pejabat melanggar hukum atau etika secara berat.

4. Unsur dalam Klasifikasi Pengadilan Agama

  • Beban Kerja
    Menilai jumlah perkara yang ditangani setiap tahun serta tingkat kesulitan perkara menjadi dasar untuk menentukan klasifikasi pengadilan. Pengadilan dengan jumlah perkara lebih banyak cenderung memiliki klasifikasi lebih tinggi.

  • Luas Wilayah
    Luas wilayah kerja pengadilan turut memengaruhi klasifikasi. PA yang melayani wilayah luas dengan jumlah penduduk besar memerlukan dukungan sumber daya lebih tinggi.

  • Sumber Daya Manusia (SDM)
    Klasifikasi juga mempertimbangkan jumlah hakim, staf, dan fasilitas pendukung yang tersedia di pengadilan. Semakin besar kapasitas SDM dan fasilitas yang dimiliki, semakin baik kemampuan pengadilan dalam memberikan pelayanan.


5. Peran dan Tanggung Jawab Pejabat di PA/PTA

  • Menjalankan Hukum dan Menjaga Integritas
    Pejabat PA/PTA harus menjalankan hukum secara profesional dan menjaga integritas dengan tidak berpihak, baik terhadap pihak pelapor maupun tergugat.

  • Tanggung Jawab dalam Pelayanan Publik
    Layanan berkualitas kepada masyarakat menjadi tanggung jawab utama pejabat PA/PTA, di mana masyarakat harus merasa nyaman dan tidak takut saat mengakses layanan pengadilan.

  • Melayani Masyarakat dengan Ramah
    Ramah dalam memberikan pelayanan adalah nilai penting di lembaga PA/PTA. Masyarakat yang datang untuk proses pengadilan harus merasa diterima dan dipandu dengan baik sepanjang proses berjalan.


6. Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Kesimpulan
    Sistem klasifikasi PA serta proses pengangkatan dan pemberhentian pejabat PA/PTA adalah aspek penting dalam menjaga kualitas dan profesionalisme lembaga peradilan agama di Indonesia.

  • Rekomendasi

    • Pengadilan agama perlu mempertahankan standar klasifikasi yang mampu menunjang efisiensi serta efektivitas kerja.
    • Peningkatan kualitas dan kompetensi sumber daya pengadilan terus dilakukan melalui uji kompetensi dan evaluasi berkala.
    • Pelayanan yang profesional dan ramah kepada masyarakat harus dijadikan prioritas agar masyarakat merasa nyaman dalam mendapatkan pelayanan hukum.

Artikel ini merangkum catatan kuliah yang diberikan oleh Ibu Indah Rini, M.H.I., dalam kuliah Kepanitraan, yang memberikan pemahaman menyeluruh mengenai klasifikasi pengadilan agama serta prosedur pengangkatan dan pemberhentian pejabat PA dan PTA, dalam konteks menjaga integritas dan kualitas peradilan agama di Indonesia.

Catatan Kuliah online Advokatur bersama dosen Pengampu ibu Indah Rini, M.H.I.


Sabtu, 26 Oktober 2024, kuliah online Advokatur bersama Bu dosen Indah Rini, M.H.I., membahas peran advokat dalam manajemen kepaniteraan, sistem honorarium, bantuan hukum cuma-cuma, hingga masalah sosial yang kerap dihadapi oleh advokat. Kuliah dibuka dengan doa Basmalah, diikuti dengan pemaparan terkait aspek-aspek penting dalam profesi advokat.

Peran dan Honorarium Advokat

Advokat dikenal sebagai "pekerjaan yang mulia" (noble profession) karena fungsinya dalam menegakkan keadilan dan membela hak-hak masyarakat. Meskipun demikian, profesi ini memberikan kebebasan dalam menentukan honorarium. Honorarium advokat bervariasi, mulai dari Rp100.000 hingga bisa mencapai lebih dari Rp100 juta tergantung pada pengalaman, koneksi, dan reputasi advokat tersebut. Pada awal karier, honorarium seorang advokat berkisar antara Rp3 juta hingga Rp5 juta untuk setiap kasus, sementara advokat berpengalaman dapat mengantongi lebih dari Rp20 juta per kasus. Independensi advokat memungkinkan mereka untuk menentukan tarif sesuai kesepakatan dengan klien.

Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono)

Dalam undang-undang, advokat memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (pro bono), terutama bagi masyarakat kurang mampu. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2016. Bantuan pro bono mencakup layanan hukum gratis bagi mereka yang memenuhi kriteria kurang mampu secara ekonomi, dibuktikan dengan surat keterangan dari kelurahan. Dengan adanya bantuan hukum ini, masyarakat dari semua kalangan, termasuk yang miskin, memiliki akses keadilan yang sama.

Tanggung Jawab dan Etika Advokat

Tanggung jawab advokat dalam menjalankan bantuan hukum bukan hanya mendampingi klien di persidangan tetapi juga menjaga kerahasiaan informasi klien. Advokat harus menjalankan profesi ini dengan menjunjung tinggi etika dan kode etik profesi tanpa memanfaatkan posisi atau keuntungan pribadi. Hal ini termasuk dalam upaya advokat memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi masyarakat secara luas.

Restorative Justice dan Isu Lingkungan

Restorative justice adalah konsep keadilan yang kini banyak diterapkan, terutama untuk kasus-kasus kecil yang tidak perlu sampai ke pengadilan. Misalnya, konflik antarwarga terkait masalah kecil, seperti pencurian hasil kebun, dapat diselesaikan di tingkat desa atau kelurahan. Selain restorative justice, peran advokat dalam isu-isu lingkungan juga disorot. Kasus-kasus yang melibatkan pengrusakan lingkungan oleh perusahaan tambang atau penebangan liar merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian khusus dari advokat yang peduli terhadap kelestarian alam.

Tantangan Sosial: Kasus Femisida dan HAM

Kasus femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan karena ketidaksukaan atau kebencian berbasis gender, menjadi perhatian khusus. Advokat dan aktivis HAM diharapkan dapat memberikan advokasi hukum bagi korban serta meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesetaraan dan perlindungan perempuan. Kasus-kasus HAM lainnya, seperti perjuangan para aktivis lingkungan atau kasus kekerasan terhadap pembela HAM, juga menjadi lahan perjuangan para advokat untuk memastikan keadilan dan hak-hak asasi manusia tetap terjaga.

Kesimpulan pembahasan setiap poin dibahas secara rinci sebagaimana berikut ini.

1. Status dan Honorarium Advokat

  • Profesi Mulia: Advokat adalah profesi yang dikenal sebagai pekerjaan mulia atau "nobel profession" karena berperan besar dalam menegakkan hukum dan keadilan.
  • Honorarium Tanpa Batas: Honorarium atau bayaran advokat tidak dibatasi secara spesifik karena advokat adalah profesi independen yang berdiri sendiri tanpa campur tangan lembaga atau pemerintah.
  • Struktur Honorarium Berdasarkan Pengalaman: Umumnya, advokat pemula memulai tarif jasa sekitar Rp3–5 juta per kasus, advokat menengah antara Rp5–10 juta, dan advokat senior bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
  • Kesepakatan dengan Klien: Setiap advokat dan klien dapat menyepakati tarif secara fleksibel, berdasarkan kerumitan kasus, kebutuhan klien, serta kemampuan advokat.

2. Bantuan Hukum Cuma-Cuma (Pro Bono)

  • Definisi: Bantuan hukum cuma-cuma atau pro bono adalah layanan hukum gratis yang diberikan kepada masyarakat tidak mampu, terutama bagi kaum marginal yang membutuhkan pendampingan dalam masalah hukum.
  • Dasar Hukum: Bantuan hukum pro bono diatur dalam UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mewajibkan advokat untuk tidak menolak klien yang tidak mampu secara finansial.
  • Tanggung Jawab Sosial Advokat: Pro bono merupakan kewajiban sosial advokat dalam memberikan akses keadilan kepada masyarakat luas, terutama bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa hukum.

3. Peran Pemerintah dalam Mendukung Bantuan Hukum

  • Kewajiban Pemerintah: Pemerintah wajib menyediakan akses bantuan hukum kepada masyarakat dengan menyediakan lembaga bantuan hukum (LBH) yang dapat diakses publik.
  • Pembiayaan dari Negara: Bantuan hukum pada LBH biasanya didukung oleh dana pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, khususnya bagi lembaga yang telah terakreditasi.

4. Hak dan Kewajiban Advokat dalam Memberikan Bantuan Hukum

  • Hak Advokat: Advokat memiliki hak untuk menentukan jenis bantuan hukum yang akan diberikan kepada klien, mulai dari pendampingan hukum, penyusunan dokumen hukum, hingga mewakili klien di pengadilan.
  • Kewajiban Menjaga Profesionalitas dan Kerahasiaan: Advokat wajib menjaga profesionalitas dan kerahasiaan klien, tidak menyalahgunakan informasi klien, serta tidak mengutamakan kepentingan pribadi.
  • Kode Etik Advokat: Seorang advokat terikat pada kode etik yang mengatur perilaku profesionalnya, termasuk tidak memanfaatkan kasus untuk keuntungan pribadi dan menjaga integritas dalam mewakili klien.

5. Bantuan Hukum dalam Kasus Pidana dan Perdata

  • Pendampingan dalam Kasus Pidana dan Perdata: Advokat dapat memberikan bantuan hukum dalam berbagai perkara, termasuk pidana, perdata, kekayaan intelektual, dan lingkungan hidup.
  • Bantuan Hukum Lingkungan Hidup: Dalam kasus lingkungan hidup, advokat turut serta melindungi alam dari kerusakan, seperti pada kasus tambang ilegal yang berdampak pada ekosistem, yang sering melibatkan masyarakat adat dan kelompok marginal.

6. Restoratif Justice dalam Kasus Kecil

  • Prinsip Restoratif Justice: Restoratif justice adalah pendekatan penyelesaian masalah yang menitikberatkan pada mediasi dan perdamaian, khususnya untuk kasus ringan seperti pencurian kecil atau sengketa antar tetangga, tanpa harus melalui proses pengadilan.
  • Implementasi di Tingkat Desa: Pemerintah mendorong kepala desa untuk menerapkan restoratif justice dengan menyelesaikan konflik langsung di tingkat desa guna mengurangi beban pengadilan.

7. Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH)

  • Pengajuan Permohonan: Klien yang membutuhkan bantuan hukum datang ke LBH, menjelaskan kasusnya, dan pihak LBH akan melakukan verifikasi kasus untuk menentukan jenis bantuan yang diberikan.
  • Penunjukan Advokat: Setelah verifikasi, klien akan ditangani oleh advokat yang sesuai dengan bidang spesialisasinya, seperti pidana, perdata, atau tata usaha negara.
  • Pendampingan hingga Putusan Akhir: Advokat memberikan pendampingan hukum penuh kepada klien, mulai dari persiapan gugatan hingga putusan pengadilan.

Pembahasan ini menggambarkan pentingnya peran advokat dalam mendukung akses keadilan yang merata bagi semua masyarakat, khususnya kelompok marginal yang sering terabaikan dalam sistem hukum. Keberadaan advokat yang berkomitmen pada kode etik dan keadilan menjadi harapan masyarakat untuk mencapai keseimbangan dalam penegakan hukum di Indonesia.

Catatan kuliah Materi ASWAJA 19 oktober 2024 || Ustadz Dr. Shofa Robbani, Lc., MA.

Materi kuliah ASWAJA yang disampaikan pada tanggal 19 Oktober 2024:

Catatan Kuliah ASWAJA

  1. Krisis Ekonomi & Pengaruh Asing
    Dijelaskan tentang pengaruh George Soros, tokoh Yahudi yang diduga memanipulasi nilai dolar di Indonesia, hingga menyebabkan krisis moneter. Ini mencerminkan dominasi ekonomi asing yang berdampak besar pada stabilitas keuangan suatu negara.

  2. Ideologi Israel dan Kekuasaan Global
    Israel memiliki ideologi dan pengaruh yang kuat di dunia, termasuk melalui dominasi politik dan kekuatan militer. Sikap keras kepala dan kebanggaan Israel, seperti yang terlihat dalam konflik Lebanon, mencerminkan bahwa ketidakpatuhan Israel sering membawa konsekuensi besar di Timur Tengah.

  3. Keunikan Turki dan Warisan Khilafah Utsmaniyah
    Turki, negara dengan mayoritas Muslim, kini dianggap lebih sekuler meskipun pernah menjadi pusat kekuasaan Islam dengan Khilafah Utsmaniyah. Turki telah menjadi simbol pergeseran dari pusat peradaban Islam ke modernisasi yang lebih sekuler.

  4. Penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad Al-Fatih
    Sultan Muhammad Al-Fatih dianggap sebagai pemimpin besar yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada usia 21 tahun. Beliau mempersiapkan sejak kecil dengan strategi perang, bahasa, dan ilmu agama, serta mengajak pasukannya untuk memperkuat spiritualitas dengan puasa dan zikir sebelum pertempuran.

  5. Pelajaran dari Sejarah Islam
    Islam tidak akan terpecah jika umatnya bersatu, namun bisa terpecah belah oleh adu domba, seperti yang dilakukan Belanda dengan strategi “divide et impera.” Di Timur Tengah, perpecahan antara negara-negara Islam menjadikan Israel tetap kuat. Contoh nyatanya adalah Yordania yang mendukung Israel dalam konflik-konflik tertentu.

  6. Budaya Inferioritas Muslim terhadap Barat
    terjadi perubahan tren budaya, di mana masyarakat Islam kini lebih mengidolakan gaya hidup Barat. Fenomena ini tampak dari nama yang diberikan kepada anak-anak, pakaian, serta simbol-simbol budaya Barat yang banyak diadopsi.

  7. Tantangan Moral dan Peran Pesantren
    Pengaruh budaya asing melalui media sosial dan gadget telah merusak moral generasi muda. Pesantren dianggap sebagai benteng terakhir yang menjaga nilai-nilai tradisi dan agama agar tetap terjaga di tengah akulturasi budaya yang masif.

  8. Perbedaan NU dan Muhammadiyah
    terjadi perbedaan pendekatan dalam beragama antara NU dan Muhammadiyah, khususnya terkait tradisi seperti Qunut dan tahlil. Meski demikian, keduanya memiliki akar yang sama dan murid dari guru yang sama, yakni Kiai Soleh Darat.


Berdasarkan materi yang disampaikan, berikut adalah penjelasan yang relevan dari beberapa poin utama:

1. Pengaruh Finansial Global terhadap Krisis Ekonomi di Indonesia

  • Materi ini membahas bagaimana kekuatan finansial global, yang digambarkan oleh seorang tokoh seperti George Soros, dapat mempengaruhi perekonomian suatu negara. Dalam contoh yang diberikan, Soros membeli sebagian besar cadangan dolar di Indonesia, menyebabkan kelangkaan dan memutar harga yang tajam ketika Indonesia mencoba membeli kembali dolar. Fenomena ini menggambarkan bagaimana kekuatan individu tertentu yang mengendalikan sistem keuangan dunia dapat menimbulkan dampak krisis ekonomi pada negara berkembang.

2. Ideologi dan Pengaruh Israel dalam Konflik Timur Tengah

  • Ideologi yang diyakini Israel sebagai bangsa pilihan sering disebut sebagai motivasi di balik konflik dan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah. Pasukan PBB yang berupaya mendamaikan konflik juga sering dihadang oleh kerasnya perlawanan dari Israel. Keberlanjutan konflik ini juga sering dikaitkan dengan keyakinan bahwa Israel menganggap diri mereka tidak merdeka. Namun, dalam perspektif agama, yakin bahwa pada akhirnya Allah akan menyeimbangkan keadilan dunia.

3. Peran Ekstremisme dan Sekularisme dalam Masyarakat

  • Ekstremisme dan sekularisme dianggap sama-sama berbahaya karena keduanya berpotensi merusak tatanan sosial. Ekstremisme mempromosikan pandangan yang dirasa paling benar, sedangkan sekularisme mendorong pembatasan agama dari kehidupan bernegara. Sekularisme yang terjadi di negara-negara seperti Turki, yang dulunya merupakan pusat kekhalifahan Utsmaniyah, menunjukkan pergeseran dari nilai-nilai Islam menuju kehidupan yang lebih liberal dan bebas.

4. Kejayaan dan Jatuhnya Kekhalifahan Turki Utsmani

  • Kekhalifahan Turki Utsmani pernah menjadi pusat peradaban Islam yang berkuasa hampir 900 tahun, dimulai dari dinasti Bani Utsmaniyah. Namun, setelah runtuhnya kekhalifahan ini, Turki mengalami pergeseran ideologi menuju sekularisme. Ini menjadi contoh bagaimana kekuasaan Islam yang pernah jaya bisa mengalami kemunduran ketika tidak bersatu dalam mempertahankan ideologi dan persatuan umat.

5. Keteladanan Muhammad Al-Fatih dalam Penaklukan Konstantinopel

  • Muhammad Al-Fatih menjadi teladan sebagai pemimpin yang gigih, religius, dan visioner dalam menaklukkan Konstantinopel. Pengepungan Konstantinopel bukanlah tugas yang mudah karena bentengnya sangat tinggi dan strategis. Al-Fatih dan pasukannya melakukan persiapan yang matang serta pendekatan spiritual yang kuat melalui puasa dan doa, mengandalkan persatuan serta tawakal kepada Allah.

6. Pembelajaran dari Politik Adu Domba dan Penjajahan Belanda di Indonesia

  • Pengalaman Indonesia dijajah selama 350 tahun oleh Belanda menekankan dampak politik adu domba. Ketika umat Islam diadu domba satu sama lain, penjajah lebih mudah menguasai. Ini mengingatkan akan pentingnya persatuan umat Islam agar terhindar dari pengaruh luar yang ingin memecah belah dan menguasai.

7. Dominasi Israel di Timur Tengah dan Tantangan bagi Negara Muslim

  • Dominasi Israel di Timur Tengah sebagian besar berhasil karena adanya dukungan dari beberapa negara Muslim yang bersekutu dengan Israel, seperti Yordania. Perselisihan internal di antara negara-negara Muslim menyebabkan ketidaksanggupan untuk bersatu melawan Israel. Ini menjadi pelajaran bahwa persatuan antar-negara Muslim sangat diperlukan untuk menjaga kekuatan dan posisi dalam menghadapi kekuatan asing.

8. Kecenderungan Muslim Mengidolakan Budaya Barat

  • Seiring berjalannya waktu, budaya Barat mulai diidolakan oleh sebagian umat Islam, yang terlihat dalam penggunaan nama Barat dan mengadopsi gaya hidup yang berbeda dari tradisi Islam. Hal ini merupakan cerminan dari fenomena inferiority complex di kalangan umat Islam, di mana kelompok yang berada pada posisi inferior cenderung mengidolakan kelompok yang dianggap superior.

9. Kemunduran Moral melalui Akulturasi Budaya

  • Kemajuan teknologi seperti smartphone dan televisi telah membawa budaya asing yang secara tidak langsung mengubah moralitas generasi muda Muslim. Pesantren dianggap sebagai tempat yang masih dapat memfilter budaya-budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pesantren-pesantren tradisional menjadi benteng moral yang menjaga agar nilai-nilai Islam tetap tertanam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

10. Peran Pesantren dalam Menjaga Nilai-Nilai Islam

  • Pesantren memiliki peran strategis dalam melindungi umat dari pengaruh negatif budaya asing. Meski ada segelintir pesantren bermasalah, pesantren yang sudah diakui secara historis dan keilmuan, seperti Lirboyo dan Sarang, tetap menjadi benteng terakhir untuk menjaga identitas dan nilai-nilai Islam di Indonesia.