Senin, Agustus 17, 2009

HADIS TARBAWI

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kedudukan Ilmuwan/ Ulama’“. Shalawat beriring salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah hingga zaman yang penuh pengetahuan.
Makalah ini terwujud berkat adanya bantuan dan kerjasama serta bimbingan yang tidak ternilai harganya dari teman-teman. Untuk itu perkenankanlah penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada dosen pambimbing bidang studi Hadist Tarbawi yaitu Ibunda Dra. Liliek Channa A.W. M.Ag. yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini sehingga wawasan dan pengetahuan penulis bertambah.
Akhirnya, kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua serta menambah wawasan kita khususnya dalam materi tentang “Kedudukan Ilmuwan“


Bojonegoro 31 juli 2009


Penulis

BAB I
PEMBUKAAN


A. Latar Belakang Masalah
Didalam kehidupan kita sehari-hari kita mengenal kata Ilmuwan/Ulama’. Dimana arti Ilmuwan/Ulama’ adalah orang yang ‘Alim Atau mengetahui , Ulama/Ilmuwan bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb.
Ilmu adalah cahaya yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Dengan keberadaan bahwa agama (Islam) begitu tinggi dalam memposisikan ilmu, tidak diragukan lagi bahwa kedudukan orang yang berilmu pun di sisi Allah memiliki derajat yang lebih tinggi dari orang-orang yang tidak berilmu. Demikian mulia kedudukan orang yang berilmu, sehingga dalam al-Qur’an dan Hadispun banyak yang menjelaskan hal tersebut.
B. Pokok Permasalahan.
Sebagaimana yang Penulis uraikan dalam latar belakang masalah di atas, dalam makalah ini akan kami bahas beberapa masalah Yang terkait dengan Kedudukan Ilmuwan/Ulama’ dan Bagaimana Islam MemposisikanNya.



BAB II
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN ULAMA’/ILMUWAN



A. Teks Hadits:





B. Terjemah:
“Dan sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Dan sungguh para nabi tidaklah mewariskan dinar maupun dirham, hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu tersebut) berarti dia telah mengambil bagian ilmu yang banyak.”


(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi).
Hadits di atas Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 6298 dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu)

“Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata (Syarh Riyadhish Shalihin, 3/434): “Tidaklah mewarisi dari para nabi kecuali para ulama. Maka merekalah pewaris para nabi. Merekalah yang mewarisi, ilmu, amal dan tugas membimbing umat kepada syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala.”


C. Definisi Ulama/Ilmuwan

Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun berarti orang yang mengetahui (mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah :




“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama” (Qs.Fathir 28).

Merujuk dari Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif.
Kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Oleh karena itu, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.

A. Kedudukan Ulama
1. Orang yang berkedudukan tinggi di sisi Aloh.Hal ini sebagaimana penegasan sekaligus janjiAllah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ulama’ dalam firmannya yaitu Surat Al Mujaddalah Ayat 11:




Artinya:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah: 11)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya: “Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat ahlul ilmi dan ahlul iman beberapa derajat, sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan kepada mereka (berupa ilmu dan iman).”
2. Orang Yang paling khasyyah/Taqwa kepada Alloh.

Sebagaimana dalam Q.S Fathir: 28 Alloh memuji Ulama dengan firmannya yang berbunyi:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Fathir: 28)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertakwa kepada-Nya. Namun aku berpuasa dan berbuka, aku shalat malam dan aku tidur, dan akupun menikahi para wanita. Barangsiapa membenci sunnahku, dia bukan termasuk golonganku.” (Muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)”
Dari Ayat dan hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa Rosulillah memberikan gambaran akan Kedududkan Ulama’ sebagai Pewarisnya yakni dalam hal Khosyahnya kepada Alloh.
3. Orang yang paling peduli terhadap umat.
Firman Alloh:


Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, serta beriman kepada Allah.” (Ali ‘Imran: 110)
Dalam Ayat ini sangat jelas kedudukan Ulama, sebagai Orang yang Sangat peduli Pada Umat, Karena Di dunia ini tiada Orang yang sangat getol mengumandangkan ‘Amar Ma’rur dan Nahi Mungkar selain para Ulama’.
“Yahya bin Mu’adz Ar-Razi rahimahullahu berkata (Mukhtashar Nashihat Ahlil Hadits, hal. 168): “Para Ulama itu lebih belas kasihan terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada bapak-bapak dan ibu-ibu mereka.” Ditanyakan kepadanya: “Bagaimana demikian?” Dia menjawab: “Bapak-bapak dan ibu-ibu mereka menjaga mereka dari api di dunia, sedangkan para ulama menjaga mereka dari api di akhirat.”
“Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu berkata: “Kalau tidak ada para ulama, sungguh umat manusia akan menjadi seperti binatang.”
4. Ulama’ adalah rujukan umat dan pembimbing mereka ke jalan yang benar.

Alloh SWT berfirman:

Artinya: “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya’: 7)
“Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata dalam tafsirnya:Ini adalah pelajaran adab dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi hamba-hamba-Nya tentang sikap dan perbuatan mereka yang tidak pantas. Seharusnya, apabila datang kepada mereka berita penting yang terkait dengan kepentingan umat, seperti berita keamanan dan hal-hal yang menggembirakan orang-orang yang beriman, atau berita yang mengkhawatirkan/ menakutkan, yang di dalamnya ada musibah yang menimpa sebagian mereka, hendaknya mereka memperjelas terlebih dahulu akan kebenarannya dan tidak tergesa-gesa menyebarkannya. Namun hendaknya mereka mengembalikan hal itu kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (semasa beliau masih hidup) dan kepada ulil amri, yaitu orang yang ahli berpendapat, ahli nasihat, yang berakal (para ulama). Mereka adalah orang-orang yang paham terhadap berbagai permasalahan dan memahami sisi-sisi kebaikannya bagi umat, sekaligus mengetahui hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka. Apabila mereka melihat sisi kebaikan, motivasi yang baik bagi orang-orang yang beriman dan menggembirakan mereka bila berita tersebut disebarkan, atau akan menumbuhkan kewaspadaan mereka terhadap musuh-musuhnya, tentu mereka akan menyebarkannya (atau memerintahkan untuk menyebarkan).Apabila mereka melihat (disebarkannya berita tersebut) tidak mengandung kebaikan, atau dampak negatifnya lebih besar, maka mereka tidak akan menyebarkannya.”
Selain Kedudukan Ulama sebagaimana Penjelasan Ayat dan Hadis di atas, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan binasa.Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan:
“Para ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala, lambang2 sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan. Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka (bisa) melihat jalan dalam kegelapan.”
Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya meninggalkan mereka, Orang yang paling peduli terhadap umat.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa secara istilah Merujuk dari lafadz al Ulama dalam al Quran adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia.
Ilmuwan/Ulama’ adalah Orang yang berkedudukan tinggi di sisi Aloh, Orang Yang paling khasyyah/Taqwa kepada Alloh, dan Ulama’ adalah rujukan umat serta pembimbing mereka ke jalan yang benar. Selain Kedudukan Ulama sebagaimana Penjelasan di atas, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
B. Saran.
Setelah kita mengetahui sedemikian Agung dan pentingnyanya kedudukan serta keberadaan Ilmuwan/Ulama’ dalam kehidupan kita, termasuk perkara yang sangat penting untuk kita ketahui dan pahami adalah manzilah (kedudukan) ahlul ilmi yang mulia di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga kita bisa beradab terhadap mereka, menghargai mereka dan menempatkan mereka pada kedudukannya. Itulah tanda barakahnya ilmu dan rasa syukur kita dengan masih banyaknya para ulama di zaman ini.
Sekian
DAFTAR PUSTAKA

On Line Searc Enggine:
Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi, Ulama Pelita dalam Kegelapan, Syariah, Kajian Utama, 05 - Februari - 2005, 02:57:12
In http:// http://www.asysyariah.com/
Jamaluddin Mohammad , Ulama Pewaris Para Nabi, Minggu, 2007 Okt. 07 In: http://wong-cirebon.blogspot.com/
Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan, Kedudukan Ulama’ dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, 15/03/2009 In: http://belajaralislam.wordpres.com/
Yusuf Burhanudin, Mendaur Ulang Misi Ulama, Apr/ 3/ 2008 3:56 pm: In: http://www.republika.co.id/kolom.asp?kat_id=16
Velafa, Kedudukan Ilmu dan Ulama dalam Cahaya Sunah, Selasa, 2008 Nov 25, In: http://velafa.blogspot.com
Ulama ahlus sunnah, Pewaris Para Nabi & Rintangan dalam Menuntut Ilmu, In: http://al-aisar.com
Muhammad Kasim Saguni, SYEKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL UTSAIMIN (ULAMA PEMERSATU UMMAT DAN DA'I TELADAN), Rabu, 2008 November 26, In: http://www.qasimsaguni.co.cc

Kamis, Juni 04, 2009

DALIL-DALIL IJTIHADI

Oleh: Kang Badruns7
BAB I
PEMBUKAAN


1. Dalil Ijtihadi Ushul Fiqh
Pada pembahasan ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihadi, yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash. Adapun di antara dalil-dalil tersebut adalah:

  • Maslahat Mursalah.
  • Al ‘Urf.
  • Syar’u manqoblana.
  • Istishab.
  • Sa’dudz dzari’ah.

BAB II
PEMBAHASAN


I. Mashlahat Mursalah
1. Pengertian
Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah disebut juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi membentuk hukum dengan cara mashlahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Kemaslahatan manusia itu mempunyai tingkat-tingkatan. Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua dan tingkat yang kedua lebih utama dari tingkat yang ketiga. Tingkat-tingkatan itu, ialah:

1) Tingkat pertama yaitu tingkat dhurari, tingkat yang harus ada. Tingkat ini terdiri atas lima tingkat pula, tingkat pertama lebih utama dari yang kedua, yang kedua lebih utama dari yang ketiga dan seterusnya. Tingkat-tingkat itu ialah:

  • Memelihara agama;

  • Memelihara jiwa;

  • Memelihara akal;

  • Memelihara keturunan; dan

  • Memelihara harta.

2) Tingkat yang kedua adalah tingkat yang diperlukan (haji).
3) Tingkat ketiga, ialah tingkat tahsini.

Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar mengumpulkan al-Qur'an yang terkenal dengan jam'ul Qur'an. Pengumpulan al-Qur'an ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi peperangan Yamamah banyak para penghafal al-Qur'an yang mati syahid (± 70 orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar pengumpulan al-Qur'an itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari). Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Qur'an akan hilang dari permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran Umar dan melaksanakannya.
Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu.
Imam al-Ghazali menggunakan istilah istishlah sebagai kata yang sama artinya dengan mashlahat mursalah.

2. Dasar hukum
Para ulama yang menjadikan mashlahat mursalah sebagai salah satu dalil syara', menyatakan bahwa dasar hukum mashlahat mursalah, ialah:

1) Persoalan yang dihadapi manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.

2) Sebenarnya para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan aI-Qur'an, Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah SAW hanya jatuh satu, Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan aI-Qur'an dalam satu mushaf dan Khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi'ah Radidhah yang memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.

3. Obyek mashlahat mursalah
Yang menjadi obyek mashlahat mursalah, ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (al-Qur'an dan Hadits) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqh, demikian pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits.
Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.

II. Al-‘Urf

1. Pengertian
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara 'urf dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggarnya.
Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma' dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.

2. Macam-macam 'urf
'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf qauli
Ialah 'Urf yang berupa perkataan' seperti perkataan walad, menurut bahasa berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan anak perempuan. Tetapi dalam percakapan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja. Lahmun, menurut bahasa berarti daging termasuk di dalamnya segala macam daging, seperti daging binatang darat dan ikan Tetapi dalam percakapan sehari-hari hanya berarti binatang darat saja tidak termasuk di dalamnya daging binatang air (ikan).


b. 'Urf amali
Ialah 'urf yang berupa perbuatan. Seperti jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shighat akad jual beli. Padahal menurut syara', shighat jual beli itu merupakan salah satu rukun jual beli. Tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat melakukan jua beli tanpa shighat jual beli dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini, maka syara' membolehkannya.
Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'urf, terbagi atas:

a. 'Urf shahih
Ialah 'urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan dengan syara'. Seperti mengadakan pertunangan sebelum melangsungkan akad nikah, dipandang baik, telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan syara'.

b. 'Urf asid
Ialah 'urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara'. Seperti kebiasaan mengadakan sesajian untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang keramat. Hal ini tidak dapat diterima, karena berlawanan dengan ajaran tauhid yang diajarkan agama Islam.
Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'urf terbagi kepada:

a. 'Urf 'âm
Ialah 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu kita dan sebagainya.
Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:

Artinya:
"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba.
Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf khash
Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

3. Dasar hukum 'urf.
Para ulama sepakat bahwa 'urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak bertentangan dengan syara'. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi'i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Mekkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan 'urf. Tentu saja 'urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

4. Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan 'urf Diantara kaidah-kaidah fiqhiyah yang berhubungan dengan 'urf ialah:


a. Artinya:
"Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum."

b.
Artinya: "Perbuatan manusia yang telah tetap dikerjakannya wajib beramal dengannya."

c. Artinya:
"Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhuhungan) dengan perubahan masa."

III. Syar'un Man Qablana
1. Pengertian dan dasar hukum
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:

Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syûra: 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (lihat surat al-Baqarah: 183), hukuman qishash (lihat surat al-Mâidah: 32) dan sebagainya.
2. Macam-macam syar'un man qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.
Mengenai bentuk kedua, para ulama tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah, sedang bentuk pertama ada ulama yang menjadikannya sebagai dasar hujjah, selama tidak bertentangan dengan syari'at Nabi Muhammad SAW.
IV. Istishhab
1. Pengertian
Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.
Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yaang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Dari pengertian istishhab yang dikemukakan para ulama di atas, dipahami bahwa istishhab itu, ialah:
1) Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2) Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh istishhah
a. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhab. b. Menurut firman Allah SWT:
Artinya:
"Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu (manusia)." (al-Baqarah: 29)
Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.

2. Dasar hukum istishhab
Dari keterangan dan contoh-contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishhab itu bukanlah suatu cara menetapkan hukum (thuruqul isthinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikannya. Pernyataan ini sangat diperlukan, untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh-contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, tentulah akan terjadi perselisihan antara A dan C atau akan terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah (batal) dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishhab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishhab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishhab dapat dijadikan dasar hujjah.
Sebagian besar mengikuti Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki, Madzhab Syafi'i, Madzhab Hambali dan Madzhab Dzahiri berhujjah dengan istishhab, hanya terdapat perbedaan pendapat dalam pelaksanaannya, seperti pernyataan Abu Zaid, salah seorang ulama Madzhab Hanafi istishhab itu hanya dapat dijadikan dasar hujjah untuk menolak ketetapan yang mengubah ketetapan yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum baru.
Jika diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau keputusan pemerintah, maka istishhab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap pembuat undang-undang atau peraturan.

3. Macam-macam istishhab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah fiqhiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:

a. Istishhab berdasar penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerjakan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara' yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90 surat al-Mâidah, kaum muslimin dibolehkan meminum khamar setelah turun ayat tersebut diharamkan meminum khamar. Dengan demikian ayat tersebut mengecualikan khamar dari benda-benda lain yang dibolehkan meminumnya.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:

1. Artinya:
"(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan)."


2. Artinya:
"(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan."


3. Artinya: "(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan."


b. Istishhab berdasarkan hukum syara'
Sesuai dengan ketetapan syara' bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara' itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara' yang pernah ditetapkan.
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah:


1. Artinya: "(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu."


2. Artinya: "(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya."


3. Artinya: "(Menuru hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya."


V. Saddudz Dzari’ah

1. Pengertian saddudz dzarî'ah
Saddudz dzarî'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini syari'at menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung, perlu ada hal yang harus dikerjakan sebelumnya.
Inilah yang dimaksud dengan kaidah:
Artinya: "Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain hanyalah wajib pula."
Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar shalat itu tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum shalat itu sendiri.
Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara langsung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara langsung, ialah seperti minum khamar, berzina dan sebagainya. Yang dilarang secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minum khamar, berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram. Menjual khamar pada hakikatnnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka pintu yang menuju pada minum khamar, maka perbuatan itu dilarang. Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama dengan perbuatan yang sebenarnya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat.

2. Dasar hukum saddudz dzarî'ah
Dasar hukum dari saddudz dzarî'ah ialah aI-Qur'an dan Hadits, yaitu:


a. Firman Allah SWT:


Artinya: "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (al-An'âm: 108)
Mencaci berhala tidak dilarang Allah SWT, tetapi ayat ini melarang kaum muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup pintu ke arah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memaki Allah secara melampaui batas.


b. Dan firman Allah SWT:
Artinya: "...Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." (an-Nûr: 31)
Wanita menghentakkan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya tidaklah dilarang, tetapi karena perbuatan itu akan menarik hati laki-Iaki lain untuk mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.


c. Nabi Muhammad SAW bersabda:

Artinya: "Ketahuilah, tanaman Allah adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) keadaan-Nya. Barangsiapa menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu. Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada perbuatan maksiat itu.

3. Obyek saddudz dzarî'ah
Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang ada kalanya:
1) Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2) Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua inilah yang merupakan obyek saddudz dzarî'ah, karena perbuatan tersebut sering mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti seberapa jauh perbuatan itu rnendorong orang yang melakukannya untuk rnengerjakan perbuatan dosa.
Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu:
1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.
3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan terlarang.
Yang no. 1 disebut dzarî'ah qawiyah (jalan yang kuat), sedang no. 2 dan 3 disebut dzarî'ah dha'ifah (jalan yang lemah).
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa dalil-dalil ijtihadi yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash. Di antara dalil tersebut adalah:
  1. Maslahat.
  2. Mursalah.
  3. Al ‘Urf.
  4. Syar’u manqoblana.
  5. Istishab.Sa’dudzari’ah.

Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan.
Pada mashlahat mursalah hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah hukum berdasar kepentingan itu. Mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah Allah telah menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmah ibadat itu.
Obyek mashlahat mursalah, ialah kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash (al-Qur'an dan Hadits) yang dapat dijadikan dasarnya.
'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. 'Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Jika ditinjau dari segi sifatnya. 'urf terbagi kepada 'Urf qauli dan 'Urf amali . Ditinjau dari segi diterima atau tidaknya 'Urf, terbagi atas 'Urf shahih dan 'Urf fasid. Sedangkan bila ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, 'Urf terbagi kepada Urf 'âm dan 'Urf khash.
Syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya. ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW.
c. Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada Istishhab berdasar penetapan akal dan Istishhab berdasarkan hukum syara' .
Saddudz dzarî'ah terdiri atas dua perkara yaitu saddu dan dzarî'ah. Saddu berarti penghalang, hambatan atau sumbatan, sedang dzarî'ah berarti jalan. Maksudnya, menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat.
Obyek saddudz dzarî'ah adalah segala perbuatan yang mengarah kepada perbuatan terlarang, ada kalanya Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang dan ada kalanya Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang.

Sekian

MAROJI’

On line Search Engine:

  1. MAKALAH USUL FIQIH, http://makalah-geratis.blogspot.com/ di ambil pada 2 Juni 2009.
  2. ALIRAN-ALIRAN USUL FIQIH, http:// nieujik.blogspot.com di ambil pada 2 Juni 2209.
    Nasuha, A. Chozin, EPISTEMOLOGI USHUL FIQH, Di Ambil dari http://www.dipertais.net Pada 2 Juni 2009.
  3. Agustianto, Ushul Fiqh dan Ulama Ekonomi Syariah, di ambil dari http://agustianto.niriah.com/ Pada 2 juni 2009
  4. Baharuddin, Ahmad,.Problematika Rekonstruksi Ushul Fiqh, Di ambil dari http://fk-baiquni.goodforum.net pada 2 Juni 2009.

Buku:

  1. Asymawi, Muhammad Sa’id al., Al-Islam al-Siyasiy, Kairo, 1992, Sina Li al-Nasyr.
  2. Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta, Edisi Pertama,2003, Prenada Media.
  3. Buwaithiy, Muhammad Said Ramadlan, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syafiat al-slamiyah, Beirut, Cet. Ke 5, 1990 M., 1410 H., Muassasah al-Risalah.
  4. Ibrahim Abu Sulaiman, Abdulwahhab, Al-Fikr al-Ushuliy, Cet. Ke I, Jeddah, 1993, 1403 H., Dar al-Syuruq.
  5. Raziy, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Husain al., Al-Mahshul fi Ilm al-Usul . Beirut . Dar al-Kutub al-Arabiyah.
  6. Sa’di, al-Iraqi, Abdulhakim abdurrahman, al., Mabahits al-Illat fi al-Qiyas ‘ind al-UShuliyyin, Beirut, Pect. Ke I, 1982 M-1406 H., Dar al-Basyair al-Islaiyah.

Selasa, Maret 31, 2009

HILATUT THOLABAH

No : 1
Hari : Selasa 18- 11- 2008
Nama strategi : Puter Giling
Letak Kegiatan : Mengahafal Al-qur’an dan Terjemahnya
Aplikasi bid. Studi : Al-qur’an
Langkah-langkah :
Lahirnya Strategi ini Saya terinspirasi cara kerja mesin giling padi, dalam rangka untuk membuat beras jadi putih di situ beras tidak hanya sekedar di tuangkan kedalam tempat penampugan, akan tetapi harus melalui proses perputaran yang bertujuan menggiling padi dan seterusnya sampai padi menjadi beras putih yang siap untuk dimasak menjadi nasi. Dan di harapkan dari strategi ini dapat mengupas kebodohan lalu menampakkan pancaran potensi ilmu yang ada pada diri santri, sehingga dapat menjadi santri yang siap pakai.. Amin. Dan untuk tercapainya tujuan tersebut di perlukan lankah-langkah sebagai berikut;

1. Atur formasi kelas tempoe dulue (jadul)
2. Ustad menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan surat yang akan di hafal.
3. Usatd membagi Ayat (materi) yang di hafal (di pelajari) secara berputar searah jarum jam.
4. Putaran tersebut sesuai dengan jumlah siswa yang ada
5. Setelah sampai pada urutan siswa yang terahir, Ayat pertama di Ulang lagi dan yang mendapat giliran adalah kelanjutan dari siswa yang menghafal Ayat teahir tadi, dan begitu seterusnya sampai semua siswa mendapat giliran menghafal (mempelajari) ayat yang pertama.
6. Ustadz memberikan penjelasan dari semua rangkaian materi yang telah disajikan dengan strategi ini tadi.
7. Ustad memberikan kesimpulan.
Selamat Mencoba….

Senin, Februari 23, 2009

Mencari Manusia Setengah dewa

Mencari Manusia Setengah Dewa
Oleh: Dina Sulaeman
Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Kepemimpinan tertinggi dalam negara ini dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama dengan kriteria yang sangat banyak: memiliki keilmuan yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Benar-benar kriteria manusia setengah dewa.----------------------------------------------------Salju lebat yang datang terlalu cepat, sebelum musim dingin tiba, seolah memberikan warna baru pada pemilu 15 Desember di Teheran. Poster-poster para kandidat pemilu yang digantung di pohon-pohonan Jalan Chamran tampak membeku diselimuti salju. Pemandangan di jalan-jalan besar lain di kota Teheran tak jauh berbeda. Pepohonan, dinding-dinding, pagar-pagar, halte bus, bahkan tiang listrik, penuh dengan tempelan poster-poster para kandidat. Sehari sebelum pelaksanaan pemilu, semua poster-poster itu pun ditarik dan disingkirkan, disaksikan oleh pepohonan yang tengah menahan endapan salju di ranting-rantingnya.Pemilu yang kali ini diselenggarakan di Iran adalah pemilu yang lain daripada yang lain. Pemilu yang hanya ada satu-satunya di dunia, yaitu pemilu Dewan Pakar (Majles-e Khubregan), sebuah lembaga yang terdiri dari 86 ulama pilihan rakyat dari berbagai penjuru Iran. Posisi para ulama di Dewan Pakar adalah posisi yang sangat krusial karena merekalah yang akan memilih dan menetapkan Wali Faqih, pemimpin tertinggi dalam Republik Islam Iran. Namun anehnya, posisi ini tidak mendatangkan uang karena para ulama yang duduk di Dewan Pakar sama sekali tidak mendapatkan gaji dari negara. Hiruk pikuk menjelang pemilu sudah terasa sejak dua-tiga bulan menjelang hari H. Namun, yang banyak bersuara adalah para pendukung ulama, bukan ulamanya sendiri, terutama dari kalangan yang menamakan diri kelompok reformis. Mereka membuat weblog-weblog untuk membentuk opini. Sebanyak 495 ulama mendaftarkan diri untuk bertarung dalam pemilu. Mereka kemudian diverifikasi oleh KPU yang juga terdiri dari para ulama. Jauh sebelum hasil verifikasi keluar, kelompok reformis sudah melemparkan ancaman, "Kalau kandidat-kandidat kami tidak lolos seleksi, artinya pemilu ini tidak valid," kata Musavi Lari, seorang ulama reformis garis keras. Namun Musavi Lari akhirnya tetap harus gigit jari karena mayoritas pemilih tetap memberikan suara mereka kepada ulama-ulama dari sayap konservatif.Verifikasi dilakukan untuk meneliti tingkat keilmuan para kandidat. Para ulama yang boleh duduk di Dewan Pakar haruslah sudah mencapai tingkat "mujtahid" (menguasai keilmuan yang dibutuhkan untuk mengambil deduksi hukum syar'i). Para ulama yang sudah dikenal, antara lain yang sudah bergelar ayatullah bisa dipastikan lolos verifikasi secara otomatis. Namun, nama-nama baru harus mengikuti ujian tulis di bidang hukum Islam. Di kota Teheran, ada 3 ulama perempuan yang mencalonkan diri namun kemudian dinyatakan tidak lulus ujian tulis. Dari 495 pendaftar, ada 166 ulama yang lolos seleksi dan bertarung dalam pemilu. Setiap provinsi di Iran akan mendapat jatah ulama sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk. Warga Teheran yang berjumlah 8 juta orang memiliki jatah 16 ulama untuk duduk di Dewan Pakar. Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya ada kandidat yang lolos seleksi meski dia tidak dikenal sebagai ulama dan tidak mengenakan baju jubah khas ulama, yaitu Doktor Mohsen Esmaili. Dia ahli bidang fisika yang kemudian mengambil doktor di bidang hukum. Sambil kuliah di universitas, dia juga menutut ilmu keislaman di hawzah ilmiah, lembaga yang mencetak para ulama di Iran hingga mencapai derajat "mujtahid". Namun rupanya dia tidak berhasil mendapat suara cukup banyak sehingga tidak termasuk dalam 16 ulama wakil rakyat Teheran.Ketika 86 ulama telah terpilih untuk duduk di Dewan Pakar, mereka akan mengadakan sidang untuk memilih seorang Wali Faqih di antara mereka sendiri. Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Kepemimpinan tertinggi dalam negara ini dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama dengan kriteria yang sangat banyak: memiliki keilmuan yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Benar-benar kriteria manusia setengah dewa.Dua minggu menjelang pemilu, jalanan mulai ramai oleh tempelan poster. Namun poster yang dipajang lebih banyak poster-poster para kandidat Dewan Kota (DPRD) yang digelar bersamaan dengan pemilu Dewan Pakar. Di channel-channel televisi lokal dan radio, para ulama kandidat Dewan Pakar secara bergantian berpidato. Umumnya isi pidato mereka bukan mengkampanyekan diri sendiri, melainkan menjelaskan kepada rakyat Iran apa tugas dan posisi Dewan Pakar dalam sistem negara. Kampanye juga dilakukan dengan memanfaatkan internet, namun lagi-lagi, lebih bertema khutbah dan menjelaskan riwayat hidup tiap kandidat. Di masjid-masjid, kesibukan juga mulai terasa. Para ibu setelah usai sholat berjamaah sibuk berdiskusi, ulama mana yang sebaiknya dipilih dalam pemilu. Tentu saja tidak semua orang antusias menyambut pemilu ini. Seorang penduplikat kunci yang saya temui di kios kecilnya di Jalan Satarkhan yang penuh dengan ratusan poster kandidat, dengan sengit berkata, “Apa gunanya ikut pemilu?! Yang mereka lakukan hanyalah apa yang mereka inginkan, bukan apa yang kami inginkan!” Ada juga yang tetap ikut pemilu meski skeptis, “Yah, yang penting partisipasi,” kata Alireza, seorang lelaki usia 30-an. Kegiatan politik rakyat Iran tidak bergantung pada partai-partai politik. Dalam pemilu apapun, siapa saja bisa mendaftarkan diri sebagai kandidat, tanpa perlu melewati partai. Namun biasanya, banyak kandidat yang mendapat dukungan dari partai atau lembaga-lembaga semi partai. Secara umum ada dua kubu politik konservatif (ushulgara) dan reformis (eshlahtalab) yang bertarung dalam dunia politik Iran. Ada berbagai kelompok atau lembaga politik yang aktif di kedua kubu. Masing-masing kelompok mengeluarkan list atau daftar nama kandidat-kandiat yang mereka dukung. Kelompok Jameatain (konservatif) misalnya, merilis 16 nama, antara lain Ayatullah Mishkini dan Ayatullah Misbah Yazdi. Sementara itu, kelompok-kelompok reformis, seperti Karguzaran Sazandegi dan Partai Pemuda Iran Islami beraliansi menyusun empat belas nama dalam list mereka, antara lain Rafsanjani, Hasan Ruhani, dan Ghulamreza Rizwani. Saat saya berjalan-jalan mengunjungi sebuah TPS di kawasan Tehran Barat dan membaur di tengah para pemilih, di sebuah sudut terdengar bisik-bisik dua perempuan, seorang ibu tua dan gadis muda. Si Ibu meminta tolong kepada si gadis untuk menuliskan nama para kandidat pilihannya di atas formulir khusus. Ada tiga lembar kertas sederhana berukuran 20x15 cm yang mirip kwitansi toko, satu kuning emas, satu biru, dan satu lagi merah muda. Di formulir kuning emas ada enam belas kolom kosong yang harus diisi nama-nama para ulama pilihan. Si gadis dengan patuh menuliskan 16 nama ulama dari list Jameatain, pilihan si ibu. Formulir warna merah muda harus diisi kandidat pemilu sela Parlemen (untuk menggantikan anggota parlemen yang mengundurkan diri atau meninggal dunia). Untuk mengisi formulir biru (pemilu dewan kota), si Ibu menyerahkan sebuah brosur kecil. Si gadis protes dengan suara pelan, “Tidak ada gunanya memilih orang-orang ini. Kenapa Ibu tidak memilih orang-orang reformis?” Jawab si ibu, “Ah, biarlah, ini jadi tanggung jawab Ahmadinejad.”Saya melirik brosur itu, ternyata berisi nama-nama kandidat Dewan Kota yang beraliansi di bawah nama Raihane Khus Khedmat. Isu yang tersebar, aliansi itu mendapat dukungan dari Presiden Ahmadinejad. Si gadis kembali diam dan mengisi formulir. Si Ibu duduk di kursi sebelah si gadis, “Aku cuma menjalankan kewajiban syar’i, demi Islam,” katanya. “Baguslah,” jawab si gadis. Di TPS itu, tampak orang-orang berdatangan bersama keluarga mereka. Anak-anak kecil pun diajak oleh orangtua mereka, membuat suasana ruangan riuh rendah. Semakin siang, antrian panjang mengular sampai keluar ruangan. Membludaknya peserta pemilu membuat KPU memutuskan agar waktu pelaksanaan diperpanjang hingga 3 jam. Di kota Damghan, Iran timur, bahkan dikabarkan ada sepasang pengantin datang ke TPS lengkap dengan pakaian pengantin mereka. Menurut data dari KPU Iran turn-out vote pemilu kali ini mencapai 61 persen. Sebelumnya, banyak pihak menyatakan bahwa pemilu kali ini adalah ujian untuk Ahmadinejad yang berasal dari kubu konservatif. Bila rakyat banyak yang datang ke pemilu, artinya rakyat masih mendukung kelompok konservatif. Tak heran bila sehari setelah pemilu, Ahmadinejad menulis surat terbuka untuk rakyat Iran, menyatakan terimakasihnya atas kehadiran mayoritas rakyat ke pemilu. Di televisi nasional diperlihatkan antrian-antrian panjang –di beberapa kota bahkan antrian terjadi di tengah deraian salju—di TPS-TPS yang umumnya digelar di sekolahan atau masjid. Bahkan Presiden Ahmadinejad dan Ketua Parlemen Haddad Adel pun harus rela berdiri mengantri selama lebih sepuluh menit sebelum KTP mereka diberi stempel pemilu dan mendapatkan tiga lembar formulir untuk diisi. Pemilu di Iran selama ini memang diselenggarakan dengan cara yang sangat simpel. Tak dilakukan pendaftaran pemilih. Setiap orang yang mau berpartisipasi dalam pemilu tinggal datang ke TPS terdekat di manapun dia berada dengan membawa KTP yang berbentuk paspor. Di bagian belakang KTP itu ada lembaran khusus tempat membubuhkan stempel-stempel pemilu. Setelah distempel oleh panitia, dia akan mendapatkan formulir untuk diisi nama-nama kandidat pilihannya, lalu dimasukkan ke kotak suara. Selama ini pun kotak suara dibuat dari kardus bekas yang dibungkus kain seadanya. Baru mulai pemilu kali ini disediakan kotak suara permanen dari bahan plastik. Wewenang seorang Wali Faqih sangat besar, jauh melebihi wewenang seorang presiden. Wali Faqih-lah yang menandatangani surat pengangkatan presiden setelah terpilih melalui pemilu, menghentikan presiden jika Mahkamah Agung memutuskan bahwa presiden tersebut bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya atau jika parlemen menyampaikan mosi tidak percaya, menetapkan komandan tertinggi dalam angkatan bersenjata nasional, menyatakan perang dan damai, dan memobilisasi angkatan bersenjata. Selain itu, Wali Faqih berwewenang menunjuk, memberhentikan, dan menerima pengunduran diri dari beberapa lembaga penting, seperti Ketua Mahkamah Agung, Kepala Radio dan Televisi, atau Pemimpin Dewan Pengawal Revolusi Iran. Saat ini, Wali Faqih Iran dijabat oleh Ayatullah Khamenei. Dia terpilih secara aklamasi dalam sidang Dewan Pakar yang diselenggarakan segera setelah Imam Khomeini meninggal dunia tahun 1989. Sejak itu, setiap kali Dewan Pakar terbentuk melalui pemilu 8 tahun sekali, Ayatullah Khamenei kembali terpilih sebagai Wali Faqih, hingga hari ini. Dewan Pakar juga bersidang setahun sekali untuk mengevaluasi kinerja Wali Faqih. Bila mereka mendapati Wali Faqih tidak menjalankan tugas dengan baik atau melanggar Undang-Undang, Dewan Pakar berhak memberhentikannya dan menggantinya dengan ulama lain.***Matahari kota Teheran hari itu memang bersinar cerah dan salju telah
turun, menyisakan gumpalan-gumpalan salju di tempat teduh. Namun, udara tetap terasa dingin menyengat tulang sumsum dan angin bertiup memedihkan mata. Sengatan dingin itu rupanya tak menghalangi orang-orang untuk datang ke kotak-kotak pemilihan suara, untuk mencari dan memilih manusia setengah dewa. Sulit dipercaya bahwa mereka ada, tapi sebagian orang-orang Iran sepertinya meyakininya.
[]Tehran, 17 Des 06
Penulis: Editor dan Penyiar Radio Bahasa Indonesia
(IRIB Islamic Rep. of Iran Broadcasting)

SELAMAT DATANG


Kamis, Februari 12, 2009

BANYUWANGI in MEMORIAM

Mungkin Anda menganggap gambar di atas adalah penampakan di puncak kumitir, tentu anda akan salah besar, sebab gambar di atas adalah potret dari salah satu ihwan Rahmatal Lil 'Alamin yang nekat minta di foto di malam hari ketika perjalanan sampai di atas puncak gunung kumitir. Dia adalah kang darsono...

Naaah kalo ini barrru.....walo di siang hari gambare gak tedas di tembus oleh camerrra. siapa dia...????? tunggu sabar aja...


kalo ini untuk ihwan RA dah tidak asing lagi "Si Bos K-link" lagi merenugi nasibnya yang terlanjur kaya akibat keseriusannya menekuni bisnis K-link. duuuuh kang Ahmadi akeho sengeling yoooo kang....jo kwatir yen ngentekke dwete utangke kancane wae.......he....he....
Wah qodame Gus Nur penampakan !!!???, Bukan....Ni adalah the "king of Dhobrak" Security alam gaib Jin yang sudah di taklukkan dan berusaha sungguh-sungguh ingin jadi manusia seutuhnya





Potret-potret manusia yang sedang kelelahan dalam mengarungi bahtera kehidupan, mengadu nasib mengharap welas asih dari dzat yang maha segalanya...


Wau...!!! Siapa Dia ???Dari potongan, lagak, dan gayanya dah tak asing lagi bagi ihwan RA, Ki sarpin "Si Jari Setrum" Waaah lagi nampang niyee....


Ehheem!!! kalo eni wah....... silahkan ellu comentari sendiri deeeh

Sabtu, Februari 07, 2009

YANG IMUET



Generasi masa depan harus mengutamakan kebersamaan dan persatuan.




Duduk bersama selesaikan permasalahan.











Tak lupa, kebersamaan tetap terjaga setelah merdeka.
Karena pada umumnya orang cenderung untuk bersama dalam perjuangan, dan setelah kemerdekaan kepentingan pribadi dan golongan yang menjadi dominan.

Selasa, Februari 03, 2009

Abu Hanifah dan Aliran-aliran Kalam Sebelumnya

Abu Hanifah dan Aliran-aliran Kalam Sebelumnya
Sekilas Riwayat Abu Hanifah


NAMA aslinya adalah Nu’m?n bin Tsabit, lahir di Kufah. Tapi para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Sebagian sejarawan mengatakan, imam madhzab ini lahir pada tahun 61 H. sementara sejarawan lainnya sepakat bahwa ia lahir pada tahun 80 H (4699 M). Menurut pendapat pertama, jika ia dilahirkan pada tahun 61 H, berarti ia tengah berusia 90 tahun ketika al-Mansh?r menawarkan jabatan sebagai qadhi kepadanya. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menolak jabatan itu, maka penolakan itu lebih di karanakan faktor usia yang cukup tua.
Menurut Zahrah, pandangan sejarawan di atas tidak memiliki dasar pijakan yang kuat karena tidak sesuai dengan tahun kematiannya. Para sejarawan sepakat bahwa Abu Hanifah tidak meninggal sebalum tahun 150 H, yaitu setelah Khalifah al-Mansh?r melakukan mihna terhadap dirinya. Atas dasar inilah Zahra tidak saja menolak tahun 61 H sebagai tahun kelahiran Abu Hanifah, tetapi juga menolak faktor usia sebagai alasan penolakannya terhadap jabatan qadhi, karena tidak ada sedikit pun informasi sejarah yang menyebutkan tentang hal itu. Karenanya Zahrah akhirnya berkesimpulan, bardasarkan kesepakatan sebagian besar sejarawan, Abu hanifah lahir pada tahun 81 H.
Pandangan Zahrah di atas tampaknya kurang begitu kuat karena ia mendasarkan pendapatnya hanya pada kesepakatan sejarawan lainnya, tanpa menyartakan bukti-bukti lain berupa peristiwa-peristiwa penting sebagai pendukung. Mestinya ia menyertakan beberapa peristiwa penting sebagai penguat pendapatnya baik yang terajadi pada saat sebalum dan sesudah kelahiran Abu Hanifah.
Barangkali pendapat yang cukup kuat mengenai tahun kelahiran Abu Hanifah adalah pendapat dari al-Kusairy. Sebagaimana dikutip Ayyub Ali, Kusariy mengatakan bahwa pendiri Madhab Hanafi ini lahir pada tahun 70 H. pandangan al-Kausariy ini diperkuat beberapa argumen sebagai berikut, pertama, disebutkan bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Mukhlid al-Aththar (w. 331 H) menulis dalam kitabnya bahwa Hammad, putra Abu Hanifah, lahir sebelum kelahiran Malik. Malik sendiri lahir tahun 94 H. Jika demikian, berarti Abu Hanifah lahir sebelum tahun 80 H, atau kira-kira sepuluh tahun sebelumnya agar sesuai dengan tahun kelahiran putranya, yang lahir sebelum Malik itu. Kedua, al-‘Aqily, sebagaiman dikutib Muhammad Ayyub menyebutkan, ketika Ibrahim bin Yazid al-Nakha’iy (w. 95 H) meninggal dunia, lima orang tokoh masyarakat Kufah, termasuk di dalamnya Abu Hanifah, berkumpul untuk menentukan pengganti al-Nakha’iy. Jika Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H berarti ia tengah berusia 15 tahun ketika ia bersama tokoh masyarakat lainnya dilibatkan dalam menentukan pengganti al-Nukha’iy. Jika dilihat dari usia Abu Hanifah yang relatif muda ini, tentu tiudak mungkin dilibatkan dalam menetukan pengganti al-Nukh’iy. Sudah pasti yang terlibat dalam persoalan suksesi ini adalah murid-murid al-Nukha’iy yang sudah berumur dewasa sebagaimana tokoh masyarakat Kufah lainnya. Atas dasar inilah, bisa dipastikan bahwa usia Abu Hanifah saat itu lebih dari 15 tahun. Hal ini berarti ia lahir jauh sebelum tahun 80 H.
Ketiga, banyak riwayat menyebutkan, sebelum beralih menekuni bidang ilmu fikih, Abu Hanifah banyak berkecimpung dalam ilmu kalam. Bahkan sebagaimana disebutkan Maududi, ia dikenal sangat menguasai bidang ilmu ini sehingga hampir sebagian besar waktunya ia gunakan untuk berdebat dengan beberapa sekte-sekte yang ada di Basrah seperti, Khawarij, Ibadiyah, Sufriyah dan Hashwiyah. Untuk tujuan ini, ia bahkan pernah melakukan perjalanan ke Basrah hampir 20 kali. Biasanya ia menetap disana selama enam bulan atau lebih. Pada masa al-Hajjaj, Abu Hanifah pernah berdebat dengan suatu kelompok tertentu, al-Hajjaj sendiri meninggal tahun 95 H. Jika Abu Hanifah lahir tahun 80 H, berarti saat itu ia tengah menginjak usia 15 tahun. Pada usia yang relatif muda ini tidak mungkin baginya mampu berdebat melawan pemuka-pemuka aliran tersebut. Jadi hampir bisa dipastikan saat itu usianya lebih dari 15 tahun dan lahir sebelum tahun 80 H.
Berdasarkan pada bukti-bukti historis di atas, penulis cenderung mengatakan bahwa Abu Hanifah lahir pada tahun 70 H, dimana pada saat itu, Kufah berada pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-82 H/685-705 M), khalifah kelima dari Dinasti Umayyah. Sebagai gubernur Irak saat itu adalah Hajjaj bin Yusuf. Kira-kira selama 63 tahun ia hidup dibawah kekuasaan dinasti Umayyah ini. Ketika Hajjaj meninggal, ia tengah berusia 15 tahun dan menginjak usia sebagai pemuda ketika Umar bin Abd al-Aziz menjabat sebagai khalifah. Jadi selama 62 tahun itu, ia tidak saja menyaksikan maju mundurnya pemerintahan dinasti Umayyah ini, tetapi juga menyaksikan orang-orang yang menguasai Irak dan pergolakan-pergolakan kekuasaan di antara mereka. Ia juga merasakan hidup selama 18 tahun dibawah pemerintahan dinasti Abasiyah.
PERSOALAN Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh aksentuasi yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.Beberapa persoalan aqidah yang menjadi tema pembicaraan al-Qur’an, pada saat itu antara lain, iman kepada Allah dan mengesakan-Nya, bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sangat sempurna, iman kepada kerasulan Muhammad, dan rasul-rasul sebelumnya, iman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, hari akhir, kebangkitan, perhitungan, beserta bukti-buktinya baik akli maupun kauni.
Semua persoalan aqidah yang terdapat dalam al-Qur’an itu mengharuskan para sahabat untuk berusaha secara sungguh-sungguh memahami dan memikirkannya. Mereka tidak merasa kesulitan, memahami persoalan-persoalan aqidah pada saat itu, karena mereka masih bisa menanyakan penjelasannya secara langsung kepada Rasululullah. Bagaimana sikap sahabat terhadap penjelasan Nabi, tentu saja mereka dengan bekal keimanan yang kuat, menerima penjelasan itu tanpa harus mempertanyakannya secara filosofis, apa dan bagaimana penjelasan-penjelasan itu. Dari penjelasan yang diberikan Rasululllah itu mereka juga tidak saling berselisih pendapat dan berbantahan dalam persoalan keimanan sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka berpendapat, bahwa perdebatan dalam masalah aqidah yang sudah jelas dalil qat’inya, bukan menjadikan seseorang semakin beriman tetapi sebaliknya justru menjadi seseorang itu semakin tercerabut dari akar agamanya.
Untuk dapat mengetahui gambaran persoalan akidah yang sesungguhnya pada masa Rasulullah dan sikap para sahabat beliau dapat dilihat dari bagaimna cara padang mereka terhadap persoalan-persoalan akidah yang berkembang itu. Setidaknya ada beberapa tema persoalan akidah, yang dapat dijadikan parameter dalam melihat akidah umat Islam pada masa itu, yaitu persoalan –persolan yang berkaitan dengan zat Allah, sifat Allah, ru’yatullah, qadha dam Qadar, iman dan amal serta iman dan Islam.
Persoalan zat Allah dan sifat Allh merupakan bagian dari persoalan akidah yang menjadi obyek kajian para sahabat semasa Nabi masih hidup. Agaknya misteri tentang zat Allah ini menarik perhatian mereka untuk membahas dan memahami persoalan zat Allah. Akan tetapi Rasululah memperingatkan mereka untuk tidak memperturutkan rasa intelektual mereka mendalami dan berdebat dalam persoalan zat terlalu jauh. Karena dalam pandangan Rasulullah, meskipun kemampuan intelektual seseorang telah sampai pada tingkat yang cukup tinggi, mereka tetap tidak mampu menyingkap tabir misteri zat Allah. Justru jika mereka tetap memperturutkan rasa intelektual mereka untuk mengetahui wujud zat Allah akibatnya dapat membahayakan keimanan mereka sendiri. Sikap tegas Rasulullah dalam persoalan ini tampak jelas dalam beberapa hadis yang disabdakan, “berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah, karena kamu tidak akan mengetahui kadar-Nya. Sementara dalam kesempatan lain Nabi menganggap munculnya pertanyaan dalam benak seseorang tentang siapa pencipta segala sesuatu yang terus berlanjut sampai kepada pertanyaan-pertanyaan siapa Allah sebagai suatu bisikan setan yang mengganggu aqidah, karena itu dia harus segera memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk.
Larangan keras Rasulullah untuk tidak berfikir tentang zat Tuhan itu tidak harus dipahami bahwa Rasulullah mengebiri kebebasan manusia. Tetapi larangan itu hendaknya dipahami dalam pengertian bahwa beliau hanya menjelaskan tentang beberapa obyek pemikiran yang jauh lebih bermamfaat dari pada berfikir tentang zat Tuhan. Lebih dari itu beliau bahkan mendorong agar manusia mendayagunakan akal dan fikiran dalam persoalan-persoalan yang memungkinkan akal sampai pada persoalan itu. Berfikir tentang kosmos sebagai ciptaan Allah, misalnya, merupakan aktivitas yang sejalan dengan anjuran Nabi., karena dengan berfikir secara mendalam tentang tanda-tanda kosmos, tidak saja akan membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, tetapi juga membawa kepada keyakinan yang kuat tentang adanya Tuhan pencipta alam dan hukum alam yang mengatur perjalanan alam.

Cara mendeteksi Usia seseorang

1) Tulislah nomor rumah anda
2) Kalikan nomor rumah anda dengan angka 2
3) Hasilnya tambah dengan angka 5
4) Kemudian kalikan hasilnya dengan angka 50
5) Tambahlah dengan angka 366
6) Tambahlah dengan usia anda .....
7) Hasilnya kurangi dengan angka 616
8) Hasilnya (Yang depan nomor rumah yang belakang usia anda)

MAKALAH MASAILUL FIQHIYAH

MAKALAH MASAILUL FIQHIYAH
Oleh : Kang Badruns7
BAB I
PEMBUKAAN

Mengapa peran kaum perempuan dalam Islam, terutama dalam wacana publik seperti kepemimpinan dalam suatu bentuk lembaga seringkali memunculkan perdebatan pro dan kontra?. Agaknya, persoalan ini berhubungan erat dengan fiqh (Yurisprudensi) Islam. Fiqh, kata Syu’bah Asa (1997), memang tidak punya gambaran tentang perempuan dalam wacana public. Tidak adanya gambaran tertentu tentang perempuan yang bekerja diluar rumah, memerankan profesi-profesi tertentu, jadi pemimpin dan seterusnya. Bahkan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami-istri dalam rumah tangga sebagai sendi utama dalam kehidupan masyarakatpun, posisi perempuan menunjukkan sangat tergantung pada kaum Adam (Suami). Dikatakan oleh Fatima Mernissi (1997), Kini banyak kaum hawa keluar rumah mereka dan menuju ke Pabrik, Kantor, Universitas, dan seterusnya. Dari ungkapan ini, kiranya wacana-wacana perempuan mutakhir jadi tidak relevan lagi. Sebab, dari gambaran ini tentang perempuan yang serba kalah dari kaum lelaki untuk konteks saat ini saja sudah jauh dari realitas peran-peran kaum perempuan yang sebenarnya.
Sementara itu tentang aspek-aspek ajaran Islam yang menawarkan prinsip-prinsip moral kesetaraan, keadilan, dan demokrasi tersebut antara lain bisa disimak melalui perintah-perintah (ajaran) yang mengharuskan semua umat Islam untuk : berbuat adil (‘adalah). Memandang kedudukan antara perempuan dan laki-laki sejajar (musawah), memperlakukan istri dengan baik ( mu’asyarah bil ma’ruf), serta mengutamakan musyawarah dalam segala urusan (syuro).
Islam memandang wanita dari sudut pandang keimanan sebagai individu anggota umat yang dikaitkan dengan individu yang lain dengan ikatan aqidah. Yang dimaksud ikatan aqidah ini adalah sebuah ikatan yang membentuk gerakan politik yang berperan sebagai motor penggerak aktivitas umat dengan tujuan mewujudkan syariat yang menjadi hukum umat. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang batasan-batasan perempuan sebagai aktivis dalam area umat, kompetensi perempuan, serta hadist-hadist yang mengharamkan ataupun yang menghalalkan perempuan sebagai pemimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar-dasar tentang kepemimpinan perempuan.
Adanya anggapan bahwa dalam literature Islam klasik, dasar hukum tentang larangan itu berasal dari ayat Al Qur’an, Hadist, maupun ijma’ (konsensus) ulama. Yang pertama dan yang utama adalah Al Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya begini: laki-laki adalah Qawwam bagi perempuan, karena Allah SWT telah memberikan kelebihan di antara mereka diatas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Dan dalam terjemahan Departemen Agama, Qowwam di artikan “pemimpin” sedangkan dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali adalah “pelindung” (protektor).
Sebagaian Ulama menegaskan ayat ini sebagai dasar bagi pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sementara Ulama lain, menolak keras pandangan tersebut, beberapa alasan yang dinyatakan oleh kelompok terakhir. Pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua, bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepemimpinan perempuan, Seperti dalam surat At-Taubah 71

Artinya: “(Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakannya), yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Memberikan hak wilayah kepada perempuan atas laki-laki. Kata wilayah bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama dan saling tolong menolong. Keempat, Rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dengan keempat alasan ini, pernyataan bahwa Al Qur’an melarang kepemimpinan perempuan tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Di dalam Al Qur,an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada Kepala Negara, QS An Nisa 59:

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu”.
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz Ulil Amri, berdasarkan kaidah bahasa arab maka bisa dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin perempuan maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan perempuan, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala negara maupun perangkat-perangkatnya.
Surat An Nisa 34:
Artinya : “Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum perempuan”
Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam sebuah rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan, maka terlebih lagi masalah Negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada kaum Adam.
Kemudian ada pula hadist yang mendasari pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam, yaitu:
1.Pernyataan Nabi saw yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Bakarah r.a, bahwa, “ketika sampai kepada Nabi saw tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi saw bersabda : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
Penjelasan:
a.Hadist ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab sahihnya (vol VII, halaman 732, no hadist 4425). Karena yang meriwayatkan adalah Imam Bukhari, maka sebagian besar Ulama menerima bulat-bulat hadist ini. Tetapi tidak berarti tidak ada Ulama yang mengkritisi kasahihan hadist ini. Sebagian Ulama melihat kejanggalan dalam periwayatan hadist ini, yaitu bahwa periwayatnya sahabat Abi Bakarah r.a, tokoh ini pada zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a, pernah dicambuk delapan puluh kali, karena menuduh sahabat Syu’ban bin Mughirah r.a. berbuat zina tanpa ada bukti cukup pada saat pengadilan. Dalam surat An Nur dinyatakan orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti, tidak bisa diterima kesaksiannya sepanjang masa, sekalipun (seperti pendapat Madzab Hanafi) ia bertaubat. Karena kesaksiannya tidak diterima, selayaknya periwayatannya juga tidak bisa diterima.
b.Menurut Hibah, hadist ini sahih, tetapi tidak bisa dimaknai sebagai pelarangan terhadap kepemimpinan politik/publik perempuan. Yang tepat adalah mengelompokkannya dengan hadist-hadist lain (yang juga sahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari) yang berbicara tentang kerajaan Persia (Kisra) dan interaksi mereka dengan komunitas Nabi Muhammad saw pulang ke Madinah. Setelah pengabaran itu Nabi saw meramalkan kehancuran kerajaan kisra. Kedua pengabaran Nabi saw bahwa Kaisar Romawi tunduk pada jalan Allah SWT. Kedua, hadist ini hanya mengawali pernyataan Nabi saw tentang kehancuran kepemimpinan perempuan di Kisra Persia, yaitu Bawran binti Syayruyah bin Kisra.
c. Pernyataan Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqallani juga memperkuat pandangan terakhir. Menurut Ibnu Hajar hadist ini merupakan salah satu hadist yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia itu sendiri. Raja Persia pernah menyobek surat Nabi saw, kemudian ia dibunuh anaknya sendiri. Sang anak kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meniggal karena diracuni. Kerajaan kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia.
2.Dalam suatu riwayat, Nabi saw bersabda; “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak. Para perempuan bertanya: Mengapa wahai Rasul?. Nabi saw menjawab: “kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu. Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama wahai Rasul?, Nabi saw menjawab: “Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah kesaksian laki-laki?,”Ya, jawab mereka. Itulah yang dimaksud dengan sempit akal, bukankah ketika haid wanita tidak mengerjakan shalat dan menunaikan puasa?, “Ya”. Jawab mereka. “itulah yang dimaksud kurang agama”.
Dari hadis atas tadi dapat dijelaskan:
a. Banyak orang berkesimpulan sederhana tentang hadist ini. Menurut mereka, perempuan dilarang jadi pemimpin Negara, karena Islam menganggap perempuan bersempit akal dan kurang agama. Kesempitan akal yang dimaksud hanyalah “setengah kesaksian” perempuan, seperti diungkapkan oleh Nabi saw. Artinya Ia hanya merupakan label untuk suatu kasus, bukan label untuk realitas ciptaan secara menyeluruh. “kurang agama” berarti dalam hadist hanya untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid. Artinya, ungkapan itu hanya menerangkan suatu kondisi. Perempuan memang diperkenankan untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid, bahkan hal itu merupakan perintah yang jelas harus dilakukan. Bagaimana bisa agama yang memerintahkan suatu bentuk perbuatan kemudian memberikan label “kurang agama” bagi yang mengikutinya ???.
b. Konsep fiqh tentang kelayakan seseorang (al-ahliyah), baik berkaitan akal maupun agama, tidak beda antara laki-laki dan perempuan. Yang ada adalah pembedaan antara yang baligh dengan yang belum baligh, atau antara orang gila dan orang waras. Ketika sudah dewasa dan waras, laki-laki dan perempuan dianggap memiliki kelayakan penuh (al-ahliyah al-tammah) untuk mengemban tanggung jawab dalam segala bidang. Keringanan-keringanan yang dianugerahkan pada perempuan dalam beragama, bukan berangkat dari kesempitan akal mereka, atau label “kurang agama” yang melekat pada mereka secara inheren, ciptaan atau bawaan. Tetapi merupakan pengaruh kondisi dan bersifat kasuistik, yang bisa berubah sesuai dinamika kehidupan masyarakat tersebut. Jadi hadist ini sama sekali tidak bisa dijadikan dasar pelarangan kepemimpinan perempuan dalam suatu lembaga tertentu terlebih pada bidang politik.
3. Banyak orang melarang kepemimpinan perempuan dengan alasan Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan politik kepada perempuan begitu juga para sahabat dan tabi’in. Padahal, saat itu banyak perempuan yang cerdas, pandai dan bijak. Fakta (hadist) ini dianggap bukti kuat untuk mendukung pelarangan kepemimpinan pihak perempuan.
Penjelasan no 3 adalah:
a. Banyak Ayat Al Qur’an dan teks-teks hadist yang menyatakan kelayakan penuh (al-ahliyah al-tannah) perempuan seperti laki-laki. Ketika ini menjadi dasar, maka tidak menjadi sebegitu penting apakah ada fakta atau tidak di masa lalu. Karena tidak semua kebaikan ada dan wujud pada masa lalu. Dalam metodologi Ushul Fiqh ada pernyataan “Sesuatu yang ditinggalkan bukan merupakan dasar untuk menyatakan negatif atau positif terhadapnya (al-tarku laysa bi-hujjah). Jika Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan lain kepada suku quraisy, demikian juga dilakukan para sahabat dan tabi’in, tidak menjadikan hal itu sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa Islam hanya memperkenankan kepemimpinan perempuan. Perempuan tak bisa dilarang menjadi pemimpin jika hal itu tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.
b. Ada pernyataan yang cukup baik dari seorang Ulama klasik Ibnu al-Qayyim al-Jawzi, untuk mengakhiri analisa hadist ini. Kata Ibnu al-Qayyim: “Ukuran untuk mendukung atau menolak kepemimpinan seseorang, bukan karena jenis kelamin, laki-laki atau perempuan”. Tetapi atas dasar kemampuannya, sejauh mana ia bisa mendatangkan kemaslatan, atau kerusakan kepada masyarakat.
Kemudian dari kalangan muslimin Indonesia sendiri ada juga yang menyatakan tentang ketidak setujuannya atas kepemimpinan perempuan. Beliau adalah KH Ibrahim Hosein, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, mengatakan: “Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa”. Dalam Islam, Khalifah juga berkewajiban mengembangkan da’wah Islam, membantu dan menolong perkembangan umat Islam serta menjadi Imam Masjid. Dengan demikian, Islam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan terbentur pada tugas sebagai Imam Masjid. Kepala Negara yang dipegang perempuan dimana penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra.
Adapun contoh Kepemimpinan Perempuan di zaman Rasulullah saw:
1. Siti khadijah sebagai penopang ekonomi keluraga yang merelakan hartanya untuk perjuangan Nabi saw.
2. Siti Aisyah menjadi pemimpin dalam waqiatul jamal (perang unta)

B. Kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujtahid empat madzab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jami’ liahkamil Qur’an mengatakan:
“Khalifah (kepala Negara) haruslah seorang laki-laki dan fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah)”.
C. Batas-batas kegiatan wanita sebagai aktivis politik.
Sebagian orang mengatakan bahwa kegiatan politik diharamkan bagi perempuan demi menjaga agar masyarakat tidak turun martabatnya kemudian jatuh karena banyak kekurangan perempuan dilihat dari kodratnya. Sehingga sebagian besar tanggung jawab diberikan kepada kaum laki-laki. Adapun keterlibatan wanita dalam masyarakat Rasulullah saw di dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik dilihat oleh sebagian orang sebagai sekedar kasus individual seraya menegaskan: “Sesungguhnya orang yang beranggapan bahwa hal ini menunjuk wanita muslim boleh menyibukkan diri dalam kegiatan politik, maka berarti dia telah melampaui sesuatu yang sangat jauh dan membuat beban sejarah yang tidak tertanggungkan”. Inilah agaknya cenderung mengapa persoalan yang selalu diperbincangkan sebelum perempuan terjun ke dalam dunia politik atau hal yang menjadi titik tolak adanya pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan.
D. Kompetensi Kepemipinan Wanita.
Kompetensi (ahliyah) adalah kesesuaian (shalahiyah). Syarat sahnya pemberian beban kewajiban agama, termasuk aktivitas politik adalah keadaan Mukallaf (yang menaggung beban kewajiban). Kompetensi ini dibagi menjadi 2 yaitu: Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) dan kompetensi pelaksanaan (ahliyah Al-ada’). Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) adalah kesesuaian manusia terhadap wajibnya menerima hak baginya dan kewajiban yang harus dilakukannya. Kompetensi ini dibagi dua, yakni kompetensi kewajiban yang kurang dan kompetensi yang sempurna. Kompetensi kewajiban yang kurang (ahliyah al wujub al naqishah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya saja, seperti hak janin untuk memperoleh warisan. Sedangkan kompetensi kewajiban yang sempurna (ahliyah al wujub al kamilah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya dan atas dirinya. Hak dan kewajiban ini tetap berlaku bagi dirinya sejak dia dilahirkan hingga meninggal dunia.
Adapun kompetensi untuk melakukannya (ahliyah ada’) adalah kesesuaian manusia untuk melakukan tindakan yang dianggap benar menurut agama. Kompetensi ini dibagi dua, yaitu: kurang dan sempurna. Kompetensi yang kurang (ahliyal al ada’ al naqishah) adalah kesesuaian untuk melakukan sebagian tindakan yang lain. Dengan kata lain tindakan ini bergantung pada pertimbangan siapakah yang paling sempurna akalnya dan paling mengetahui berbagai bentuk manfaat dan kerugian yang akan di alami. Sedangkan kompetensi pelaksanaan yang sempurna (ahliyah al ada’ al kamilah) adalah kesesuaian untuk melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan agama dengan tidak melihat pendapat yang lainnya.
Jika para fuqaha telah menetapkan kompetensi perempuan yang sempurna di dalam dirinya juga terhadap harta bendanya, serta diluar kekuasaan di luar dirinya, seperti pemeliharaan anak (al hidhanah) dan wasiat (al wishayah), atau perkara kultural, sesungguhnya sebagian besar diantara mereka telah berhati-hati terhadap kompetensi perempuan dalam melakukan kegiatan politik pada berbagai tingkatnya. Seakan-akan mereka melihat bahwa perempuan dalam bidang ini kurang berkompeten. Umumnya mereka bersandar pada hadist Rasulullah saw. Dimana pada hadist seputar masalah penghuni neraka paling banyak tersebut terdapat kesaksiannya. Adapun kesaksian yang lainnya, ada berbagai macam tingkatannya. Misalnya, kesaksian fardhu kifayah yang mensyaratkan keadilan. Kalau wanita memenuhi syarat tersebut, kesaksiannya sama dengan laki-laki, seperti kesaksian dalam hal wasiat. Begitu pula kesaksian fardhu ain yang lazim, seperti kesaksian dalam hudud. Di dalam hal ini, perempuan harus memberikan kesaksianya dan pada umumnya dia dianggap memiliki kompetensi untuk itu. Oleh sebab itu, dipergunakan frasa dari kamu sekalian yang sifatnya sangat umum.
Kemudian sebagian Ulama berbicara tentang tabiat perempuan yang kurang dan bengkok moralitasnya, serta cenderung untuk mengikuti hawa nafsunya. Sebalikya, lalaki memiliki tabiat yang unggul dari segi kesiapan mereka untuk bangkit mengemban tugas-tugas kemasyarakatan. Mereka menganggap bahwa kekurangan itu merupakan sifat yang berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan. Suatu persoalan yang menimbulkan pandangan mereka bahwa syariat agama ini meringankan beban kewajiban yang banyak dibebankan di pundak laki-laki, seperti shalat berjamaah, shalat jum’at, perang, dan membayar pajak.
Ada beberapa catatan di sini bahwa sesungguhnya pendapat-pendapat tersebut tidak membuat perbedaan antara berbagai tingkat kompetensi politik.
· Ada kompetensi yang sifatnya berlaku umum bagi semua kaum Muslim dalam wajib ain, seperti baiat yang umum, dan prisip syara’ yang umum.
· Ada kompetensi yang sifatnya umum, tetapi khusus berkaitan dengan fardhu kifayah yang karena suatu kondisi tertentu berubah menjadi fardhu ain, seperti perang. Walaupun kompetensi ini bersifat umum, hal ini memerlukan persiapan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manusia secara umum.
· Ada kompetensi yang bersifat khusus dan berkaitan dengan fardhu kifayah, seperti kekuasaan, yang memerlukan kemampuan alamiyah, di samping perlu di asah dengan sisi-sisi yang harus diupayakan oleh manusia itu sendiri.
Sehubungan dengan hal ini, kita juga tidak menemukan pembeda antara bebagai tingkat kekurangan akal. Ada kekurangan fitriah alamiah dan ada kekurangan dari segi jenis kelamin. Kekurangan yang bersifat alamiah (naqsh fitriy) adalah kuarang akal atau kecerdasan dengan berbagai macam tingkatnya, yang dimulai tingkat idiot hingga gila, dan ini termasuk salah satu penghalang kompetensi tersebut. Namun, perempuan tidak termasuk di dalamnya karena dia mampu diberi beban kewajiban agama dan tangguang jawab kriminal dan kultural, serta tanggung jawab mengemban berbagai jenis kekuasaan umum.
Adapun kekurangan dari segi jenis kelamin adalah kekurangan yang bersifat insidental (naqsh ‘aradhiy) yang muncul secara insidental, seperti munculnya haid secara periodik, nifas, atau sebagian masa kehamilan yang sama sekali tidak mengurangi arti kompetensi.
Dengan demikian, “kekurangan” yang dimaksud dalam hadist Nabi saw yang mulia bukanlah kekurangan fitriah yang lazim, melainkan berupa sebagian kewajiban yang berkaitan dengan kompetensi yang bersifat umum dan khusus. Sama sekali hal ini tidak mengurangi arti keberadaan perempuan dengan berbagai kodratnya yang tinggi yang diberi oleh Allah SWT dalam bidang-bidang yang boleh jadi pada umumnya perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki kekurangan. Bahkan, perempuan kadang-kadang lebih utama daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalan menngikat kepada keahlian yang mengandung unsur-unsur capaian (al khasbiyyah) dan kompetensi yang bersifat khusus.
BAB III
Kesimpulan
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan perempuan sebagai pemimpin banyak terjadi pro dan kontra di dalamnya. Hadist-hadist yang ada, ada yang mendukung ada pula yang melarang. Para Ulama memiliki perbedaan satu sama lain mengenai hal ini. Hal ini terjadi karena mereka memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda dalam mengartikannya. Sehingga masalah ini masih simpang siur tentang kebenarannya. Namun pendapat itu tidak murni salah maupun benar. Kita melakukannya sesuai keyakinan kita saja dengan bepegang teguh pada Al Qur’an.
Pada kesempatan kali ini saya sebagai penulis mencoba memberikan pendapat dengan merujuk pada hadist-hadist di atas. Salah satu hadist menyatakan perempuan mempunyai kekurangan akal dan kekurangan agama. Menurut saya, perempuan menjadi tidak sepenuhnya dilarang menjadi seorang pemimpin maupun ikut serta dalam bidang politik. Alasan pelarangan karena tanggung jawab keduanya sangat berat jika dilihat dari kemampuan perempuan itu sendiri. Dimana perempuan diberikan kodratnya untuk haid, nifas dan hamil. Hal itu untuk meringankan beban perempuan itu sendiri. Apalagi perempuan memegang peranan penting dalam keluarga yaitu mengurus suami, anak-anaknya, harta benda, serta melayani kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika kaum permpuan menjadi pemimpin dan ikut serta penuh dalam bidang politik dikhawatirkan mereka akan meninggalkan kewajibannya, sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak-anaknya. Karena seorang pemimpin tanggung jawabnya besar dan sering keluar rumah untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan jabatannya. Jika perempuan melakukannya maka berarti telah melanggar ketentuan Agama Islam. Perempuan bisa juga menjadi pemimpin bila memang dia mampu yaitu memenuhi syarat keadilan, seperti istri Rasulullah saw yakni Siti Khadijah dan Siti Aisyah. Dan yang menjadi idaman bagi penulis adalah dengan mengetahui bahwa “surga itu ditelapak kaki Ibu”. Bukankah sosok Ibu juga perempuan??.aku sayang Ibu.karena bagi penulis itulah awal cara mengenal sosok perempuan dan mempelajari bagaimana cara berhadapan dengan perempuan.Jazakumullah Khairan Kastira.Wassalamualaikum Wr.Wb.
DAFTAR RUJUKAN
1) NUGROHO, ANJAR “KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM”, Posted by: Anjar Nugroho Agustus 20, 2007, di ambil dari ANJAR NIGROHO SITE, pada 12-2008
2) Kesetaraan Gender dalam Persepektif Islam
3) Katjasungkana, Nursyahbani “PEREMPUAN DAN SYARIAH ISLAM DALAM KONTEKS (SISTEM HUKUM) INDONESIA”
4) Sudrajad, Ahmad “Kepemimpinan Perempuan” Di terbitkan 25 Mei 2008, di ambil dari http//: Ahmad Sudrajad.Wordpres.com pada 12-2008