Senin, Februari 23, 2009

Mencari Manusia Setengah dewa

Mencari Manusia Setengah Dewa
Oleh: Dina Sulaeman
Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Kepemimpinan tertinggi dalam negara ini dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama dengan kriteria yang sangat banyak: memiliki keilmuan yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Benar-benar kriteria manusia setengah dewa.----------------------------------------------------Salju lebat yang datang terlalu cepat, sebelum musim dingin tiba, seolah memberikan warna baru pada pemilu 15 Desember di Teheran. Poster-poster para kandidat pemilu yang digantung di pohon-pohonan Jalan Chamran tampak membeku diselimuti salju. Pemandangan di jalan-jalan besar lain di kota Teheran tak jauh berbeda. Pepohonan, dinding-dinding, pagar-pagar, halte bus, bahkan tiang listrik, penuh dengan tempelan poster-poster para kandidat. Sehari sebelum pelaksanaan pemilu, semua poster-poster itu pun ditarik dan disingkirkan, disaksikan oleh pepohonan yang tengah menahan endapan salju di ranting-rantingnya.Pemilu yang kali ini diselenggarakan di Iran adalah pemilu yang lain daripada yang lain. Pemilu yang hanya ada satu-satunya di dunia, yaitu pemilu Dewan Pakar (Majles-e Khubregan), sebuah lembaga yang terdiri dari 86 ulama pilihan rakyat dari berbagai penjuru Iran. Posisi para ulama di Dewan Pakar adalah posisi yang sangat krusial karena merekalah yang akan memilih dan menetapkan Wali Faqih, pemimpin tertinggi dalam Republik Islam Iran. Namun anehnya, posisi ini tidak mendatangkan uang karena para ulama yang duduk di Dewan Pakar sama sekali tidak mendapatkan gaji dari negara. Hiruk pikuk menjelang pemilu sudah terasa sejak dua-tiga bulan menjelang hari H. Namun, yang banyak bersuara adalah para pendukung ulama, bukan ulamanya sendiri, terutama dari kalangan yang menamakan diri kelompok reformis. Mereka membuat weblog-weblog untuk membentuk opini. Sebanyak 495 ulama mendaftarkan diri untuk bertarung dalam pemilu. Mereka kemudian diverifikasi oleh KPU yang juga terdiri dari para ulama. Jauh sebelum hasil verifikasi keluar, kelompok reformis sudah melemparkan ancaman, "Kalau kandidat-kandidat kami tidak lolos seleksi, artinya pemilu ini tidak valid," kata Musavi Lari, seorang ulama reformis garis keras. Namun Musavi Lari akhirnya tetap harus gigit jari karena mayoritas pemilih tetap memberikan suara mereka kepada ulama-ulama dari sayap konservatif.Verifikasi dilakukan untuk meneliti tingkat keilmuan para kandidat. Para ulama yang boleh duduk di Dewan Pakar haruslah sudah mencapai tingkat "mujtahid" (menguasai keilmuan yang dibutuhkan untuk mengambil deduksi hukum syar'i). Para ulama yang sudah dikenal, antara lain yang sudah bergelar ayatullah bisa dipastikan lolos verifikasi secara otomatis. Namun, nama-nama baru harus mengikuti ujian tulis di bidang hukum Islam. Di kota Teheran, ada 3 ulama perempuan yang mencalonkan diri namun kemudian dinyatakan tidak lulus ujian tulis. Dari 495 pendaftar, ada 166 ulama yang lolos seleksi dan bertarung dalam pemilu. Setiap provinsi di Iran akan mendapat jatah ulama sesuai dengan perbandingan jumlah penduduk. Warga Teheran yang berjumlah 8 juta orang memiliki jatah 16 ulama untuk duduk di Dewan Pakar. Dalam pemilu kali ini, untuk pertama kalinya ada kandidat yang lolos seleksi meski dia tidak dikenal sebagai ulama dan tidak mengenakan baju jubah khas ulama, yaitu Doktor Mohsen Esmaili. Dia ahli bidang fisika yang kemudian mengambil doktor di bidang hukum. Sambil kuliah di universitas, dia juga menutut ilmu keislaman di hawzah ilmiah, lembaga yang mencetak para ulama di Iran hingga mencapai derajat "mujtahid". Namun rupanya dia tidak berhasil mendapat suara cukup banyak sehingga tidak termasuk dalam 16 ulama wakil rakyat Teheran.Ketika 86 ulama telah terpilih untuk duduk di Dewan Pakar, mereka akan mengadakan sidang untuk memilih seorang Wali Faqih di antara mereka sendiri. Republik Islam Iran memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dengan negara-negara lain di dunia. Kepemimpinan tertinggi dalam negara ini dipegang oleh seorang Wali Faqih atau ulama dengan kriteria yang sangat banyak: memiliki keilmuan yang dibutuhkan untuk memberi fatwa dalam urusan agama, memiliki integritas dan kesucian akhlak yang dibutuhkan untuk memimpin umat Islam, dan memiliki visi politik dan sosial, kebijaksanaan, keberanian, kemampuan adiministrasi, dan kemampuan pemimpin yang memadai. Benar-benar kriteria manusia setengah dewa.Dua minggu menjelang pemilu, jalanan mulai ramai oleh tempelan poster. Namun poster yang dipajang lebih banyak poster-poster para kandidat Dewan Kota (DPRD) yang digelar bersamaan dengan pemilu Dewan Pakar. Di channel-channel televisi lokal dan radio, para ulama kandidat Dewan Pakar secara bergantian berpidato. Umumnya isi pidato mereka bukan mengkampanyekan diri sendiri, melainkan menjelaskan kepada rakyat Iran apa tugas dan posisi Dewan Pakar dalam sistem negara. Kampanye juga dilakukan dengan memanfaatkan internet, namun lagi-lagi, lebih bertema khutbah dan menjelaskan riwayat hidup tiap kandidat. Di masjid-masjid, kesibukan juga mulai terasa. Para ibu setelah usai sholat berjamaah sibuk berdiskusi, ulama mana yang sebaiknya dipilih dalam pemilu. Tentu saja tidak semua orang antusias menyambut pemilu ini. Seorang penduplikat kunci yang saya temui di kios kecilnya di Jalan Satarkhan yang penuh dengan ratusan poster kandidat, dengan sengit berkata, “Apa gunanya ikut pemilu?! Yang mereka lakukan hanyalah apa yang mereka inginkan, bukan apa yang kami inginkan!” Ada juga yang tetap ikut pemilu meski skeptis, “Yah, yang penting partisipasi,” kata Alireza, seorang lelaki usia 30-an. Kegiatan politik rakyat Iran tidak bergantung pada partai-partai politik. Dalam pemilu apapun, siapa saja bisa mendaftarkan diri sebagai kandidat, tanpa perlu melewati partai. Namun biasanya, banyak kandidat yang mendapat dukungan dari partai atau lembaga-lembaga semi partai. Secara umum ada dua kubu politik konservatif (ushulgara) dan reformis (eshlahtalab) yang bertarung dalam dunia politik Iran. Ada berbagai kelompok atau lembaga politik yang aktif di kedua kubu. Masing-masing kelompok mengeluarkan list atau daftar nama kandidat-kandiat yang mereka dukung. Kelompok Jameatain (konservatif) misalnya, merilis 16 nama, antara lain Ayatullah Mishkini dan Ayatullah Misbah Yazdi. Sementara itu, kelompok-kelompok reformis, seperti Karguzaran Sazandegi dan Partai Pemuda Iran Islami beraliansi menyusun empat belas nama dalam list mereka, antara lain Rafsanjani, Hasan Ruhani, dan Ghulamreza Rizwani. Saat saya berjalan-jalan mengunjungi sebuah TPS di kawasan Tehran Barat dan membaur di tengah para pemilih, di sebuah sudut terdengar bisik-bisik dua perempuan, seorang ibu tua dan gadis muda. Si Ibu meminta tolong kepada si gadis untuk menuliskan nama para kandidat pilihannya di atas formulir khusus. Ada tiga lembar kertas sederhana berukuran 20x15 cm yang mirip kwitansi toko, satu kuning emas, satu biru, dan satu lagi merah muda. Di formulir kuning emas ada enam belas kolom kosong yang harus diisi nama-nama para ulama pilihan. Si gadis dengan patuh menuliskan 16 nama ulama dari list Jameatain, pilihan si ibu. Formulir warna merah muda harus diisi kandidat pemilu sela Parlemen (untuk menggantikan anggota parlemen yang mengundurkan diri atau meninggal dunia). Untuk mengisi formulir biru (pemilu dewan kota), si Ibu menyerahkan sebuah brosur kecil. Si gadis protes dengan suara pelan, “Tidak ada gunanya memilih orang-orang ini. Kenapa Ibu tidak memilih orang-orang reformis?” Jawab si ibu, “Ah, biarlah, ini jadi tanggung jawab Ahmadinejad.”Saya melirik brosur itu, ternyata berisi nama-nama kandidat Dewan Kota yang beraliansi di bawah nama Raihane Khus Khedmat. Isu yang tersebar, aliansi itu mendapat dukungan dari Presiden Ahmadinejad. Si gadis kembali diam dan mengisi formulir. Si Ibu duduk di kursi sebelah si gadis, “Aku cuma menjalankan kewajiban syar’i, demi Islam,” katanya. “Baguslah,” jawab si gadis. Di TPS itu, tampak orang-orang berdatangan bersama keluarga mereka. Anak-anak kecil pun diajak oleh orangtua mereka, membuat suasana ruangan riuh rendah. Semakin siang, antrian panjang mengular sampai keluar ruangan. Membludaknya peserta pemilu membuat KPU memutuskan agar waktu pelaksanaan diperpanjang hingga 3 jam. Di kota Damghan, Iran timur, bahkan dikabarkan ada sepasang pengantin datang ke TPS lengkap dengan pakaian pengantin mereka. Menurut data dari KPU Iran turn-out vote pemilu kali ini mencapai 61 persen. Sebelumnya, banyak pihak menyatakan bahwa pemilu kali ini adalah ujian untuk Ahmadinejad yang berasal dari kubu konservatif. Bila rakyat banyak yang datang ke pemilu, artinya rakyat masih mendukung kelompok konservatif. Tak heran bila sehari setelah pemilu, Ahmadinejad menulis surat terbuka untuk rakyat Iran, menyatakan terimakasihnya atas kehadiran mayoritas rakyat ke pemilu. Di televisi nasional diperlihatkan antrian-antrian panjang –di beberapa kota bahkan antrian terjadi di tengah deraian salju—di TPS-TPS yang umumnya digelar di sekolahan atau masjid. Bahkan Presiden Ahmadinejad dan Ketua Parlemen Haddad Adel pun harus rela berdiri mengantri selama lebih sepuluh menit sebelum KTP mereka diberi stempel pemilu dan mendapatkan tiga lembar formulir untuk diisi. Pemilu di Iran selama ini memang diselenggarakan dengan cara yang sangat simpel. Tak dilakukan pendaftaran pemilih. Setiap orang yang mau berpartisipasi dalam pemilu tinggal datang ke TPS terdekat di manapun dia berada dengan membawa KTP yang berbentuk paspor. Di bagian belakang KTP itu ada lembaran khusus tempat membubuhkan stempel-stempel pemilu. Setelah distempel oleh panitia, dia akan mendapatkan formulir untuk diisi nama-nama kandidat pilihannya, lalu dimasukkan ke kotak suara. Selama ini pun kotak suara dibuat dari kardus bekas yang dibungkus kain seadanya. Baru mulai pemilu kali ini disediakan kotak suara permanen dari bahan plastik. Wewenang seorang Wali Faqih sangat besar, jauh melebihi wewenang seorang presiden. Wali Faqih-lah yang menandatangani surat pengangkatan presiden setelah terpilih melalui pemilu, menghentikan presiden jika Mahkamah Agung memutuskan bahwa presiden tersebut bersalah melanggar tugas-tugas konstitusionalnya atau jika parlemen menyampaikan mosi tidak percaya, menetapkan komandan tertinggi dalam angkatan bersenjata nasional, menyatakan perang dan damai, dan memobilisasi angkatan bersenjata. Selain itu, Wali Faqih berwewenang menunjuk, memberhentikan, dan menerima pengunduran diri dari beberapa lembaga penting, seperti Ketua Mahkamah Agung, Kepala Radio dan Televisi, atau Pemimpin Dewan Pengawal Revolusi Iran. Saat ini, Wali Faqih Iran dijabat oleh Ayatullah Khamenei. Dia terpilih secara aklamasi dalam sidang Dewan Pakar yang diselenggarakan segera setelah Imam Khomeini meninggal dunia tahun 1989. Sejak itu, setiap kali Dewan Pakar terbentuk melalui pemilu 8 tahun sekali, Ayatullah Khamenei kembali terpilih sebagai Wali Faqih, hingga hari ini. Dewan Pakar juga bersidang setahun sekali untuk mengevaluasi kinerja Wali Faqih. Bila mereka mendapati Wali Faqih tidak menjalankan tugas dengan baik atau melanggar Undang-Undang, Dewan Pakar berhak memberhentikannya dan menggantinya dengan ulama lain.***Matahari kota Teheran hari itu memang bersinar cerah dan salju telah
turun, menyisakan gumpalan-gumpalan salju di tempat teduh. Namun, udara tetap terasa dingin menyengat tulang sumsum dan angin bertiup memedihkan mata. Sengatan dingin itu rupanya tak menghalangi orang-orang untuk datang ke kotak-kotak pemilihan suara, untuk mencari dan memilih manusia setengah dewa. Sulit dipercaya bahwa mereka ada, tapi sebagian orang-orang Iran sepertinya meyakininya.
[]Tehran, 17 Des 06
Penulis: Editor dan Penyiar Radio Bahasa Indonesia
(IRIB Islamic Rep. of Iran Broadcasting)

SELAMAT DATANG


Kamis, Februari 12, 2009

BANYUWANGI in MEMORIAM

Mungkin Anda menganggap gambar di atas adalah penampakan di puncak kumitir, tentu anda akan salah besar, sebab gambar di atas adalah potret dari salah satu ihwan Rahmatal Lil 'Alamin yang nekat minta di foto di malam hari ketika perjalanan sampai di atas puncak gunung kumitir. Dia adalah kang darsono...

Naaah kalo ini barrru.....walo di siang hari gambare gak tedas di tembus oleh camerrra. siapa dia...????? tunggu sabar aja...


kalo ini untuk ihwan RA dah tidak asing lagi "Si Bos K-link" lagi merenugi nasibnya yang terlanjur kaya akibat keseriusannya menekuni bisnis K-link. duuuuh kang Ahmadi akeho sengeling yoooo kang....jo kwatir yen ngentekke dwete utangke kancane wae.......he....he....
Wah qodame Gus Nur penampakan !!!???, Bukan....Ni adalah the "king of Dhobrak" Security alam gaib Jin yang sudah di taklukkan dan berusaha sungguh-sungguh ingin jadi manusia seutuhnya





Potret-potret manusia yang sedang kelelahan dalam mengarungi bahtera kehidupan, mengadu nasib mengharap welas asih dari dzat yang maha segalanya...


Wau...!!! Siapa Dia ???Dari potongan, lagak, dan gayanya dah tak asing lagi bagi ihwan RA, Ki sarpin "Si Jari Setrum" Waaah lagi nampang niyee....


Ehheem!!! kalo eni wah....... silahkan ellu comentari sendiri deeeh

Sabtu, Februari 07, 2009

YANG IMUET



Generasi masa depan harus mengutamakan kebersamaan dan persatuan.




Duduk bersama selesaikan permasalahan.











Tak lupa, kebersamaan tetap terjaga setelah merdeka.
Karena pada umumnya orang cenderung untuk bersama dalam perjuangan, dan setelah kemerdekaan kepentingan pribadi dan golongan yang menjadi dominan.

Selasa, Februari 03, 2009

Abu Hanifah dan Aliran-aliran Kalam Sebelumnya

Abu Hanifah dan Aliran-aliran Kalam Sebelumnya
Sekilas Riwayat Abu Hanifah


NAMA aslinya adalah Nu’m?n bin Tsabit, lahir di Kufah. Tapi para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Sebagian sejarawan mengatakan, imam madhzab ini lahir pada tahun 61 H. sementara sejarawan lainnya sepakat bahwa ia lahir pada tahun 80 H (4699 M). Menurut pendapat pertama, jika ia dilahirkan pada tahun 61 H, berarti ia tengah berusia 90 tahun ketika al-Mansh?r menawarkan jabatan sebagai qadhi kepadanya. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menolak jabatan itu, maka penolakan itu lebih di karanakan faktor usia yang cukup tua.
Menurut Zahrah, pandangan sejarawan di atas tidak memiliki dasar pijakan yang kuat karena tidak sesuai dengan tahun kematiannya. Para sejarawan sepakat bahwa Abu Hanifah tidak meninggal sebalum tahun 150 H, yaitu setelah Khalifah al-Mansh?r melakukan mihna terhadap dirinya. Atas dasar inilah Zahra tidak saja menolak tahun 61 H sebagai tahun kelahiran Abu Hanifah, tetapi juga menolak faktor usia sebagai alasan penolakannya terhadap jabatan qadhi, karena tidak ada sedikit pun informasi sejarah yang menyebutkan tentang hal itu. Karenanya Zahrah akhirnya berkesimpulan, bardasarkan kesepakatan sebagian besar sejarawan, Abu hanifah lahir pada tahun 81 H.
Pandangan Zahrah di atas tampaknya kurang begitu kuat karena ia mendasarkan pendapatnya hanya pada kesepakatan sejarawan lainnya, tanpa menyartakan bukti-bukti lain berupa peristiwa-peristiwa penting sebagai pendukung. Mestinya ia menyertakan beberapa peristiwa penting sebagai penguat pendapatnya baik yang terajadi pada saat sebalum dan sesudah kelahiran Abu Hanifah.
Barangkali pendapat yang cukup kuat mengenai tahun kelahiran Abu Hanifah adalah pendapat dari al-Kusairy. Sebagaimana dikutip Ayyub Ali, Kusariy mengatakan bahwa pendiri Madhab Hanafi ini lahir pada tahun 70 H. pandangan al-Kausariy ini diperkuat beberapa argumen sebagai berikut, pertama, disebutkan bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Mukhlid al-Aththar (w. 331 H) menulis dalam kitabnya bahwa Hammad, putra Abu Hanifah, lahir sebelum kelahiran Malik. Malik sendiri lahir tahun 94 H. Jika demikian, berarti Abu Hanifah lahir sebelum tahun 80 H, atau kira-kira sepuluh tahun sebelumnya agar sesuai dengan tahun kelahiran putranya, yang lahir sebelum Malik itu. Kedua, al-‘Aqily, sebagaiman dikutib Muhammad Ayyub menyebutkan, ketika Ibrahim bin Yazid al-Nakha’iy (w. 95 H) meninggal dunia, lima orang tokoh masyarakat Kufah, termasuk di dalamnya Abu Hanifah, berkumpul untuk menentukan pengganti al-Nakha’iy. Jika Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H berarti ia tengah berusia 15 tahun ketika ia bersama tokoh masyarakat lainnya dilibatkan dalam menentukan pengganti al-Nukha’iy. Jika dilihat dari usia Abu Hanifah yang relatif muda ini, tentu tiudak mungkin dilibatkan dalam menetukan pengganti al-Nukh’iy. Sudah pasti yang terlibat dalam persoalan suksesi ini adalah murid-murid al-Nukha’iy yang sudah berumur dewasa sebagaimana tokoh masyarakat Kufah lainnya. Atas dasar inilah, bisa dipastikan bahwa usia Abu Hanifah saat itu lebih dari 15 tahun. Hal ini berarti ia lahir jauh sebelum tahun 80 H.
Ketiga, banyak riwayat menyebutkan, sebelum beralih menekuni bidang ilmu fikih, Abu Hanifah banyak berkecimpung dalam ilmu kalam. Bahkan sebagaimana disebutkan Maududi, ia dikenal sangat menguasai bidang ilmu ini sehingga hampir sebagian besar waktunya ia gunakan untuk berdebat dengan beberapa sekte-sekte yang ada di Basrah seperti, Khawarij, Ibadiyah, Sufriyah dan Hashwiyah. Untuk tujuan ini, ia bahkan pernah melakukan perjalanan ke Basrah hampir 20 kali. Biasanya ia menetap disana selama enam bulan atau lebih. Pada masa al-Hajjaj, Abu Hanifah pernah berdebat dengan suatu kelompok tertentu, al-Hajjaj sendiri meninggal tahun 95 H. Jika Abu Hanifah lahir tahun 80 H, berarti saat itu ia tengah menginjak usia 15 tahun. Pada usia yang relatif muda ini tidak mungkin baginya mampu berdebat melawan pemuka-pemuka aliran tersebut. Jadi hampir bisa dipastikan saat itu usianya lebih dari 15 tahun dan lahir sebelum tahun 80 H.
Berdasarkan pada bukti-bukti historis di atas, penulis cenderung mengatakan bahwa Abu Hanifah lahir pada tahun 70 H, dimana pada saat itu, Kufah berada pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-82 H/685-705 M), khalifah kelima dari Dinasti Umayyah. Sebagai gubernur Irak saat itu adalah Hajjaj bin Yusuf. Kira-kira selama 63 tahun ia hidup dibawah kekuasaan dinasti Umayyah ini. Ketika Hajjaj meninggal, ia tengah berusia 15 tahun dan menginjak usia sebagai pemuda ketika Umar bin Abd al-Aziz menjabat sebagai khalifah. Jadi selama 62 tahun itu, ia tidak saja menyaksikan maju mundurnya pemerintahan dinasti Umayyah ini, tetapi juga menyaksikan orang-orang yang menguasai Irak dan pergolakan-pergolakan kekuasaan di antara mereka. Ia juga merasakan hidup selama 18 tahun dibawah pemerintahan dinasti Abasiyah.
PERSOALAN Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh aksentuasi yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.Beberapa persoalan aqidah yang menjadi tema pembicaraan al-Qur’an, pada saat itu antara lain, iman kepada Allah dan mengesakan-Nya, bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sangat sempurna, iman kepada kerasulan Muhammad, dan rasul-rasul sebelumnya, iman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, hari akhir, kebangkitan, perhitungan, beserta bukti-buktinya baik akli maupun kauni.
Semua persoalan aqidah yang terdapat dalam al-Qur’an itu mengharuskan para sahabat untuk berusaha secara sungguh-sungguh memahami dan memikirkannya. Mereka tidak merasa kesulitan, memahami persoalan-persoalan aqidah pada saat itu, karena mereka masih bisa menanyakan penjelasannya secara langsung kepada Rasululullah. Bagaimana sikap sahabat terhadap penjelasan Nabi, tentu saja mereka dengan bekal keimanan yang kuat, menerima penjelasan itu tanpa harus mempertanyakannya secara filosofis, apa dan bagaimana penjelasan-penjelasan itu. Dari penjelasan yang diberikan Rasululllah itu mereka juga tidak saling berselisih pendapat dan berbantahan dalam persoalan keimanan sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka berpendapat, bahwa perdebatan dalam masalah aqidah yang sudah jelas dalil qat’inya, bukan menjadikan seseorang semakin beriman tetapi sebaliknya justru menjadi seseorang itu semakin tercerabut dari akar agamanya.
Untuk dapat mengetahui gambaran persoalan akidah yang sesungguhnya pada masa Rasulullah dan sikap para sahabat beliau dapat dilihat dari bagaimna cara padang mereka terhadap persoalan-persoalan akidah yang berkembang itu. Setidaknya ada beberapa tema persoalan akidah, yang dapat dijadikan parameter dalam melihat akidah umat Islam pada masa itu, yaitu persoalan –persolan yang berkaitan dengan zat Allah, sifat Allah, ru’yatullah, qadha dam Qadar, iman dan amal serta iman dan Islam.
Persoalan zat Allah dan sifat Allh merupakan bagian dari persoalan akidah yang menjadi obyek kajian para sahabat semasa Nabi masih hidup. Agaknya misteri tentang zat Allah ini menarik perhatian mereka untuk membahas dan memahami persoalan zat Allah. Akan tetapi Rasululah memperingatkan mereka untuk tidak memperturutkan rasa intelektual mereka mendalami dan berdebat dalam persoalan zat terlalu jauh. Karena dalam pandangan Rasulullah, meskipun kemampuan intelektual seseorang telah sampai pada tingkat yang cukup tinggi, mereka tetap tidak mampu menyingkap tabir misteri zat Allah. Justru jika mereka tetap memperturutkan rasa intelektual mereka untuk mengetahui wujud zat Allah akibatnya dapat membahayakan keimanan mereka sendiri. Sikap tegas Rasulullah dalam persoalan ini tampak jelas dalam beberapa hadis yang disabdakan, “berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah, karena kamu tidak akan mengetahui kadar-Nya. Sementara dalam kesempatan lain Nabi menganggap munculnya pertanyaan dalam benak seseorang tentang siapa pencipta segala sesuatu yang terus berlanjut sampai kepada pertanyaan-pertanyaan siapa Allah sebagai suatu bisikan setan yang mengganggu aqidah, karena itu dia harus segera memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk.
Larangan keras Rasulullah untuk tidak berfikir tentang zat Tuhan itu tidak harus dipahami bahwa Rasulullah mengebiri kebebasan manusia. Tetapi larangan itu hendaknya dipahami dalam pengertian bahwa beliau hanya menjelaskan tentang beberapa obyek pemikiran yang jauh lebih bermamfaat dari pada berfikir tentang zat Tuhan. Lebih dari itu beliau bahkan mendorong agar manusia mendayagunakan akal dan fikiran dalam persoalan-persoalan yang memungkinkan akal sampai pada persoalan itu. Berfikir tentang kosmos sebagai ciptaan Allah, misalnya, merupakan aktivitas yang sejalan dengan anjuran Nabi., karena dengan berfikir secara mendalam tentang tanda-tanda kosmos, tidak saja akan membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, tetapi juga membawa kepada keyakinan yang kuat tentang adanya Tuhan pencipta alam dan hukum alam yang mengatur perjalanan alam.

Cara mendeteksi Usia seseorang

1) Tulislah nomor rumah anda
2) Kalikan nomor rumah anda dengan angka 2
3) Hasilnya tambah dengan angka 5
4) Kemudian kalikan hasilnya dengan angka 50
5) Tambahlah dengan angka 366
6) Tambahlah dengan usia anda .....
7) Hasilnya kurangi dengan angka 616
8) Hasilnya (Yang depan nomor rumah yang belakang usia anda)