MAKALAH MASAILUL FIQHIYAH
Oleh : Kang Badruns7
BAB I
PEMBUKAAN
PEMBUKAAN
Mengapa peran kaum perempuan dalam Islam, terutama dalam wacana publik seperti kepemimpinan dalam suatu bentuk lembaga seringkali memunculkan perdebatan pro dan kontra?. Agaknya, persoalan ini berhubungan erat dengan fiqh (Yurisprudensi) Islam. Fiqh, kata Syu’bah Asa (1997), memang tidak punya gambaran tentang perempuan dalam wacana public. Tidak adanya gambaran tertentu tentang perempuan yang bekerja diluar rumah, memerankan profesi-profesi tertentu, jadi pemimpin dan seterusnya. Bahkan dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban suami-istri dalam rumah tangga sebagai sendi utama dalam kehidupan masyarakatpun, posisi perempuan menunjukkan sangat tergantung pada kaum Adam (Suami). Dikatakan oleh Fatima Mernissi (1997), Kini banyak kaum hawa keluar rumah mereka dan menuju ke Pabrik, Kantor, Universitas, dan seterusnya. Dari ungkapan ini, kiranya wacana-wacana perempuan mutakhir jadi tidak relevan lagi. Sebab, dari gambaran ini tentang perempuan yang serba kalah dari kaum lelaki untuk konteks saat ini saja sudah jauh dari realitas peran-peran kaum perempuan yang sebenarnya.
Sementara itu tentang aspek-aspek ajaran Islam yang menawarkan prinsip-prinsip moral kesetaraan, keadilan, dan demokrasi tersebut antara lain bisa disimak melalui perintah-perintah (ajaran) yang mengharuskan semua umat Islam untuk : berbuat adil (‘adalah). Memandang kedudukan antara perempuan dan laki-laki sejajar (musawah), memperlakukan istri dengan baik ( mu’asyarah bil ma’ruf), serta mengutamakan musyawarah dalam segala urusan (syuro).
Islam memandang wanita dari sudut pandang keimanan sebagai individu anggota umat yang dikaitkan dengan individu yang lain dengan ikatan aqidah. Yang dimaksud ikatan aqidah ini adalah sebuah ikatan yang membentuk gerakan politik yang berperan sebagai motor penggerak aktivitas umat dengan tujuan mewujudkan syariat yang menjadi hukum umat. Dan dalam makalah ini akan dibahas tentang batasan-batasan perempuan sebagai aktivis dalam area umat, kompetensi perempuan, serta hadist-hadist yang mengharamkan ataupun yang menghalalkan perempuan sebagai pemimpin.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Dasar-dasar tentang kepemimpinan perempuan.
Adanya anggapan bahwa dalam literature Islam klasik, dasar hukum tentang larangan itu berasal dari ayat Al Qur’an, Hadist, maupun ijma’ (konsensus) ulama. Yang pertama dan yang utama adalah Al Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya begini: laki-laki adalah Qawwam bagi perempuan, karena Allah SWT telah memberikan kelebihan di antara mereka diatas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Dan dalam terjemahan Departemen Agama, Qowwam di artikan “pemimpin” sedangkan dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali adalah “pelindung” (protektor).
Sebagaian Ulama menegaskan ayat ini sebagai dasar bagi pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sementara Ulama lain, menolak keras pandangan tersebut, beberapa alasan yang dinyatakan oleh kelompok terakhir. Pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua, bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepemimpinan perempuan, Seperti dalam surat At-Taubah 71
Artinya: “(Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakannya), yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Memberikan hak wilayah kepada perempuan atas laki-laki. Kata wilayah bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama dan saling tolong menolong. Keempat, Rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dengan keempat alasan ini, pernyataan bahwa Al Qur’an melarang kepemimpinan perempuan tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Di dalam Al Qur,an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada Kepala Negara, QS An Nisa 59:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu”.
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz Ulil Amri, berdasarkan kaidah bahasa arab maka bisa dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin perempuan maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan perempuan, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala negara maupun perangkat-perangkatnya.
Surat An Nisa 34:
Artinya : “Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum perempuan”
Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam sebuah rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan, maka terlebih lagi masalah Negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada kaum Adam.
Kemudian ada pula hadist yang mendasari pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam, yaitu:
1.Pernyataan Nabi saw yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Bakarah r.a, bahwa, “ketika sampai kepada Nabi saw tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi saw bersabda : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
Penjelasan:
a.Hadist ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab sahihnya (vol VII, halaman 732, no hadist 4425). Karena yang meriwayatkan adalah Imam Bukhari, maka sebagian besar Ulama menerima bulat-bulat hadist ini. Tetapi tidak berarti tidak ada Ulama yang mengkritisi kasahihan hadist ini. Sebagian Ulama melihat kejanggalan dalam periwayatan hadist ini, yaitu bahwa periwayatnya sahabat Abi Bakarah r.a, tokoh ini pada zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a, pernah dicambuk delapan puluh kali, karena menuduh sahabat Syu’ban bin Mughirah r.a. berbuat zina tanpa ada bukti cukup pada saat pengadilan. Dalam surat An Nur dinyatakan orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti, tidak bisa diterima kesaksiannya sepanjang masa, sekalipun (seperti pendapat Madzab Hanafi) ia bertaubat. Karena kesaksiannya tidak diterima, selayaknya periwayatannya juga tidak bisa diterima.
b.Menurut Hibah, hadist ini sahih, tetapi tidak bisa dimaknai sebagai pelarangan terhadap kepemimpinan politik/publik perempuan. Yang tepat adalah mengelompokkannya dengan hadist-hadist lain (yang juga sahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari) yang berbicara tentang kerajaan Persia (Kisra) dan interaksi mereka dengan komunitas Nabi Muhammad saw pulang ke Madinah. Setelah pengabaran itu Nabi saw meramalkan kehancuran kerajaan kisra. Kedua pengabaran Nabi saw bahwa Kaisar Romawi tunduk pada jalan Allah SWT. Kedua, hadist ini hanya mengawali pernyataan Nabi saw tentang kehancuran kepemimpinan perempuan di Kisra Persia, yaitu Bawran binti Syayruyah bin Kisra.
c. Pernyataan Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqallani juga memperkuat pandangan terakhir. Menurut Ibnu Hajar hadist ini merupakan salah satu hadist yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia itu sendiri. Raja Persia pernah menyobek surat Nabi saw, kemudian ia dibunuh anaknya sendiri. Sang anak kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meniggal karena diracuni. Kerajaan kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia.
2.Dalam suatu riwayat, Nabi saw bersabda; “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak. Para perempuan bertanya: Mengapa wahai Rasul?. Nabi saw menjawab: “kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu. Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama wahai Rasul?, Nabi saw menjawab: “Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah kesaksian laki-laki?,”Ya, jawab mereka. Itulah yang dimaksud dengan sempit akal, bukankah ketika haid wanita tidak mengerjakan shalat dan menunaikan puasa?, “Ya”. Jawab mereka. “itulah yang dimaksud kurang agama”.
Dari hadis atas tadi dapat dijelaskan:
a. Banyak orang berkesimpulan sederhana tentang hadist ini. Menurut mereka, perempuan dilarang jadi pemimpin Negara, karena Islam menganggap perempuan bersempit akal dan kurang agama. Kesempitan akal yang dimaksud hanyalah “setengah kesaksian” perempuan, seperti diungkapkan oleh Nabi saw. Artinya Ia hanya merupakan label untuk suatu kasus, bukan label untuk realitas ciptaan secara menyeluruh. “kurang agama” berarti dalam hadist hanya untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid. Artinya, ungkapan itu hanya menerangkan suatu kondisi. Perempuan memang diperkenankan untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid, bahkan hal itu merupakan perintah yang jelas harus dilakukan. Bagaimana bisa agama yang memerintahkan suatu bentuk perbuatan kemudian memberikan label “kurang agama” bagi yang mengikutinya ???.
b. Konsep fiqh tentang kelayakan seseorang (al-ahliyah), baik berkaitan akal maupun agama, tidak beda antara laki-laki dan perempuan. Yang ada adalah pembedaan antara yang baligh dengan yang belum baligh, atau antara orang gila dan orang waras. Ketika sudah dewasa dan waras, laki-laki dan perempuan dianggap memiliki kelayakan penuh (al-ahliyah al-tammah) untuk mengemban tanggung jawab dalam segala bidang. Keringanan-keringanan yang dianugerahkan pada perempuan dalam beragama, bukan berangkat dari kesempitan akal mereka, atau label “kurang agama” yang melekat pada mereka secara inheren, ciptaan atau bawaan. Tetapi merupakan pengaruh kondisi dan bersifat kasuistik, yang bisa berubah sesuai dinamika kehidupan masyarakat tersebut. Jadi hadist ini sama sekali tidak bisa dijadikan dasar pelarangan kepemimpinan perempuan dalam suatu lembaga tertentu terlebih pada bidang politik.
3. Banyak orang melarang kepemimpinan perempuan dengan alasan Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan politik kepada perempuan begitu juga para sahabat dan tabi’in. Padahal, saat itu banyak perempuan yang cerdas, pandai dan bijak. Fakta (hadist) ini dianggap bukti kuat untuk mendukung pelarangan kepemimpinan pihak perempuan.
Penjelasan no 3 adalah:
a. Banyak Ayat Al Qur’an dan teks-teks hadist yang menyatakan kelayakan penuh (al-ahliyah al-tannah) perempuan seperti laki-laki. Ketika ini menjadi dasar, maka tidak menjadi sebegitu penting apakah ada fakta atau tidak di masa lalu. Karena tidak semua kebaikan ada dan wujud pada masa lalu. Dalam metodologi Ushul Fiqh ada pernyataan “Sesuatu yang ditinggalkan bukan merupakan dasar untuk menyatakan negatif atau positif terhadapnya (al-tarku laysa bi-hujjah). Jika Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan lain kepada suku quraisy, demikian juga dilakukan para sahabat dan tabi’in, tidak menjadikan hal itu sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa Islam hanya memperkenankan kepemimpinan perempuan. Perempuan tak bisa dilarang menjadi pemimpin jika hal itu tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.
b. Ada pernyataan yang cukup baik dari seorang Ulama klasik Ibnu al-Qayyim al-Jawzi, untuk mengakhiri analisa hadist ini. Kata Ibnu al-Qayyim: “Ukuran untuk mendukung atau menolak kepemimpinan seseorang, bukan karena jenis kelamin, laki-laki atau perempuan”. Tetapi atas dasar kemampuannya, sejauh mana ia bisa mendatangkan kemaslatan, atau kerusakan kepada masyarakat.
Kemudian dari kalangan muslimin Indonesia sendiri ada juga yang menyatakan tentang ketidak setujuannya atas kepemimpinan perempuan. Beliau adalah KH Ibrahim Hosein, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, mengatakan: “Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa”. Dalam Islam, Khalifah juga berkewajiban mengembangkan da’wah Islam, membantu dan menolong perkembangan umat Islam serta menjadi Imam Masjid. Dengan demikian, Islam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan terbentur pada tugas sebagai Imam Masjid. Kepala Negara yang dipegang perempuan dimana penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra.
Adapun contoh Kepemimpinan Perempuan di zaman Rasulullah saw:
1. Siti khadijah sebagai penopang ekonomi keluraga yang merelakan hartanya untuk perjuangan Nabi saw.
2. Siti Aisyah menjadi pemimpin dalam waqiatul jamal (perang unta)
B. Kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujtahid empat madzab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jami’ liahkamil Qur’an mengatakan:
“Khalifah (kepala Negara) haruslah seorang laki-laki dan fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah)”.
C. Batas-batas kegiatan wanita sebagai aktivis politik.
Sebagian orang mengatakan bahwa kegiatan politik diharamkan bagi perempuan demi menjaga agar masyarakat tidak turun martabatnya kemudian jatuh karena banyak kekurangan perempuan dilihat dari kodratnya. Sehingga sebagian besar tanggung jawab diberikan kepada kaum laki-laki. Adapun keterlibatan wanita dalam masyarakat Rasulullah saw di dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik dilihat oleh sebagian orang sebagai sekedar kasus individual seraya menegaskan: “Sesungguhnya orang yang beranggapan bahwa hal ini menunjuk wanita muslim boleh menyibukkan diri dalam kegiatan politik, maka berarti dia telah melampaui sesuatu yang sangat jauh dan membuat beban sejarah yang tidak tertanggungkan”. Inilah agaknya cenderung mengapa persoalan yang selalu diperbincangkan sebelum perempuan terjun ke dalam dunia politik atau hal yang menjadi titik tolak adanya pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan.
D. Kompetensi Kepemipinan Wanita.
Kompetensi (ahliyah) adalah kesesuaian (shalahiyah). Syarat sahnya pemberian beban kewajiban agama, termasuk aktivitas politik adalah keadaan Mukallaf (yang menaggung beban kewajiban). Kompetensi ini dibagi menjadi 2 yaitu: Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) dan kompetensi pelaksanaan (ahliyah Al-ada’). Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) adalah kesesuaian manusia terhadap wajibnya menerima hak baginya dan kewajiban yang harus dilakukannya. Kompetensi ini dibagi dua, yakni kompetensi kewajiban yang kurang dan kompetensi yang sempurna. Kompetensi kewajiban yang kurang (ahliyah al wujub al naqishah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya saja, seperti hak janin untuk memperoleh warisan. Sedangkan kompetensi kewajiban yang sempurna (ahliyah al wujub al kamilah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya dan atas dirinya. Hak dan kewajiban ini tetap berlaku bagi dirinya sejak dia dilahirkan hingga meninggal dunia.
Adapun kompetensi untuk melakukannya (ahliyah ada’) adalah kesesuaian manusia untuk melakukan tindakan yang dianggap benar menurut agama. Kompetensi ini dibagi dua, yaitu: kurang dan sempurna. Kompetensi yang kurang (ahliyal al ada’ al naqishah) adalah kesesuaian untuk melakukan sebagian tindakan yang lain. Dengan kata lain tindakan ini bergantung pada pertimbangan siapakah yang paling sempurna akalnya dan paling mengetahui berbagai bentuk manfaat dan kerugian yang akan di alami. Sedangkan kompetensi pelaksanaan yang sempurna (ahliyah al ada’ al kamilah) adalah kesesuaian untuk melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan agama dengan tidak melihat pendapat yang lainnya.
Jika para fuqaha telah menetapkan kompetensi perempuan yang sempurna di dalam dirinya juga terhadap harta bendanya, serta diluar kekuasaan di luar dirinya, seperti pemeliharaan anak (al hidhanah) dan wasiat (al wishayah), atau perkara kultural, sesungguhnya sebagian besar diantara mereka telah berhati-hati terhadap kompetensi perempuan dalam melakukan kegiatan politik pada berbagai tingkatnya. Seakan-akan mereka melihat bahwa perempuan dalam bidang ini kurang berkompeten. Umumnya mereka bersandar pada hadist Rasulullah saw. Dimana pada hadist seputar masalah penghuni neraka paling banyak tersebut terdapat kesaksiannya. Adapun kesaksian yang lainnya, ada berbagai macam tingkatannya. Misalnya, kesaksian fardhu kifayah yang mensyaratkan keadilan. Kalau wanita memenuhi syarat tersebut, kesaksiannya sama dengan laki-laki, seperti kesaksian dalam hal wasiat. Begitu pula kesaksian fardhu ain yang lazim, seperti kesaksian dalam hudud. Di dalam hal ini, perempuan harus memberikan kesaksianya dan pada umumnya dia dianggap memiliki kompetensi untuk itu. Oleh sebab itu, dipergunakan frasa dari kamu sekalian yang sifatnya sangat umum.
Kemudian sebagian Ulama berbicara tentang tabiat perempuan yang kurang dan bengkok moralitasnya, serta cenderung untuk mengikuti hawa nafsunya. Sebalikya, lalaki memiliki tabiat yang unggul dari segi kesiapan mereka untuk bangkit mengemban tugas-tugas kemasyarakatan. Mereka menganggap bahwa kekurangan itu merupakan sifat yang berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan. Suatu persoalan yang menimbulkan pandangan mereka bahwa syariat agama ini meringankan beban kewajiban yang banyak dibebankan di pundak laki-laki, seperti shalat berjamaah, shalat jum’at, perang, dan membayar pajak.
Ada beberapa catatan di sini bahwa sesungguhnya pendapat-pendapat tersebut tidak membuat perbedaan antara berbagai tingkat kompetensi politik.
· Ada kompetensi yang sifatnya berlaku umum bagi semua kaum Muslim dalam wajib ain, seperti baiat yang umum, dan prisip syara’ yang umum.
· Ada kompetensi yang sifatnya umum, tetapi khusus berkaitan dengan fardhu kifayah yang karena suatu kondisi tertentu berubah menjadi fardhu ain, seperti perang. Walaupun kompetensi ini bersifat umum, hal ini memerlukan persiapan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manusia secara umum.
· Ada kompetensi yang bersifat khusus dan berkaitan dengan fardhu kifayah, seperti kekuasaan, yang memerlukan kemampuan alamiyah, di samping perlu di asah dengan sisi-sisi yang harus diupayakan oleh manusia itu sendiri.
Sehubungan dengan hal ini, kita juga tidak menemukan pembeda antara bebagai tingkat kekurangan akal. Ada kekurangan fitriah alamiah dan ada kekurangan dari segi jenis kelamin. Kekurangan yang bersifat alamiah (naqsh fitriy) adalah kuarang akal atau kecerdasan dengan berbagai macam tingkatnya, yang dimulai tingkat idiot hingga gila, dan ini termasuk salah satu penghalang kompetensi tersebut. Namun, perempuan tidak termasuk di dalamnya karena dia mampu diberi beban kewajiban agama dan tangguang jawab kriminal dan kultural, serta tanggung jawab mengemban berbagai jenis kekuasaan umum.
Adapun kekurangan dari segi jenis kelamin adalah kekurangan yang bersifat insidental (naqsh ‘aradhiy) yang muncul secara insidental, seperti munculnya haid secara periodik, nifas, atau sebagian masa kehamilan yang sama sekali tidak mengurangi arti kompetensi.
Dengan demikian, “kekurangan” yang dimaksud dalam hadist Nabi saw yang mulia bukanlah kekurangan fitriah yang lazim, melainkan berupa sebagian kewajiban yang berkaitan dengan kompetensi yang bersifat umum dan khusus. Sama sekali hal ini tidak mengurangi arti keberadaan perempuan dengan berbagai kodratnya yang tinggi yang diberi oleh Allah SWT dalam bidang-bidang yang boleh jadi pada umumnya perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki kekurangan. Bahkan, perempuan kadang-kadang lebih utama daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalan menngikat kepada keahlian yang mengandung unsur-unsur capaian (al khasbiyyah) dan kompetensi yang bersifat khusus.
Adanya anggapan bahwa dalam literature Islam klasik, dasar hukum tentang larangan itu berasal dari ayat Al Qur’an, Hadist, maupun ijma’ (konsensus) ulama. Yang pertama dan yang utama adalah Al Qur’an, surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya begini: laki-laki adalah Qawwam bagi perempuan, karena Allah SWT telah memberikan kelebihan di antara mereka diatas yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. Dan dalam terjemahan Departemen Agama, Qowwam di artikan “pemimpin” sedangkan dalam terjemahan Abdullah Yusuf Ali adalah “pelindung” (protektor).
Sebagaian Ulama menegaskan ayat ini sebagai dasar bagi pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam. Sementara Ulama lain, menolak keras pandangan tersebut, beberapa alasan yang dinyatakan oleh kelompok terakhir. Pertama, bahwa ayat ini berbicara tentang wilayah domestik, sehingga tidak bisa menjadi dasar bagi kepemimpinan yang berada di wilayah publik. Kedua, bahwa ayat ini tidak bersifat normatif tetapi bersifat informatif tentang situasi dan kondisi masyarakat Arab (dunia) saat itu, sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum. Ketiga, karena ada sejumlah ayat lain yang mengindikasikan kebolehan kepemimpinan perempuan, Seperti dalam surat At-Taubah 71
Artinya: “(Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakannya), yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya”.
Memberikan hak wilayah kepada perempuan atas laki-laki. Kata wilayah bisa berarti penguasaan, kepemimpinan, kerja sama dan saling tolong menolong. Keempat, Rijal dalam ayat ini tidak berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi sifat-sifat maskulinitas yang bisa dimiliki oleh laki-laki dan perempuan. Dengan keempat alasan ini, pernyataan bahwa Al Qur’an melarang kepemimpinan perempuan tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Di dalam Al Qur,an terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada Kepala Negara, QS An Nisa 59:
Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil amri diantara kamu”.
Dalam ayat ini terdapat perintah untuk taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz Ulil Amri, berdasarkan kaidah bahasa arab maka bisa dipahami bahwa perintah untuk taat kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat ini adalah pemimpin laki-laki. Sebab apabila pemimpin perempuan maka seharusnya menggunakan lafadz Uulatul amri.
Inilah tinjauan syara’ terhadap kepemimpinan perempuan, yang secara tegas Islam mengharamkan wanita untuk menjadi waliyul amri (pemegang tampuk pemerintahan) baik ditingkat kepala negara maupun perangkat-perangkatnya.
Surat An Nisa 34:
Artinya : “Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum perempuan”
Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam sebuah rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas perempuan, maka terlebih lagi masalah Negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada kaum Adam.
Kemudian ada pula hadist yang mendasari pelarangan kepemimpinan perempuan dalam Islam, yaitu:
1.Pernyataan Nabi saw yang diriwayatkan oleh sahabat Abi Bakarah r.a, bahwa, “ketika sampai kepada Nabi saw tentang bangsa Persia yang mengangkat anak perempuan Kisra sebagai ratu mereka, Nabi saw bersabda : Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan.
Penjelasan:
a.Hadist ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab sahihnya (vol VII, halaman 732, no hadist 4425). Karena yang meriwayatkan adalah Imam Bukhari, maka sebagian besar Ulama menerima bulat-bulat hadist ini. Tetapi tidak berarti tidak ada Ulama yang mengkritisi kasahihan hadist ini. Sebagian Ulama melihat kejanggalan dalam periwayatan hadist ini, yaitu bahwa periwayatnya sahabat Abi Bakarah r.a, tokoh ini pada zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a, pernah dicambuk delapan puluh kali, karena menuduh sahabat Syu’ban bin Mughirah r.a. berbuat zina tanpa ada bukti cukup pada saat pengadilan. Dalam surat An Nur dinyatakan orang yang menuduh orang lain berzina tanpa bukti, tidak bisa diterima kesaksiannya sepanjang masa, sekalipun (seperti pendapat Madzab Hanafi) ia bertaubat. Karena kesaksiannya tidak diterima, selayaknya periwayatannya juga tidak bisa diterima.
b.Menurut Hibah, hadist ini sahih, tetapi tidak bisa dimaknai sebagai pelarangan terhadap kepemimpinan politik/publik perempuan. Yang tepat adalah mengelompokkannya dengan hadist-hadist lain (yang juga sahih dan diriwayatkan oleh Imam Bukhari) yang berbicara tentang kerajaan Persia (Kisra) dan interaksi mereka dengan komunitas Nabi Muhammad saw pulang ke Madinah. Setelah pengabaran itu Nabi saw meramalkan kehancuran kerajaan kisra. Kedua pengabaran Nabi saw bahwa Kaisar Romawi tunduk pada jalan Allah SWT. Kedua, hadist ini hanya mengawali pernyataan Nabi saw tentang kehancuran kepemimpinan perempuan di Kisra Persia, yaitu Bawran binti Syayruyah bin Kisra.
c. Pernyataan Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqallani juga memperkuat pandangan terakhir. Menurut Ibnu Hajar hadist ini merupakan salah satu hadist yang berkaitan dengan kisah kerajaan Persia itu sendiri. Raja Persia pernah menyobek surat Nabi saw, kemudian ia dibunuh anaknya sendiri. Sang anak kemudian menjadi raja, tetapi kemudian meniggal karena diracuni. Kerajaan kemudian diserahkan kepada anak perempuannya, yang kemudian membawa kehancuran kerajaan Persia.
2.Dalam suatu riwayat, Nabi saw bersabda; “Wahai kaum perempuan, bersedekahlah, karena aku melihat kamu sekalian sebagai penghuni neraka paling banyak. Para perempuan bertanya: Mengapa wahai Rasul?. Nabi saw menjawab: “kamu sering mengumpat dan melupakan kebaikan orang, aku sekali-kali tidak melihat orang yang (dikatakan) sempit akal dan kurang agama, tetapi bisa meruntuhkan keteguhan seorang lelaki, selain kamu. Mengapa kami (dianggap) sempit akal dan kurang agama wahai Rasul?, Nabi saw menjawab: “Bukankah kesaksian perempuan dianggap setengah kesaksian laki-laki?,”Ya, jawab mereka. Itulah yang dimaksud dengan sempit akal, bukankah ketika haid wanita tidak mengerjakan shalat dan menunaikan puasa?, “Ya”. Jawab mereka. “itulah yang dimaksud kurang agama”.
Dari hadis atas tadi dapat dijelaskan:
a. Banyak orang berkesimpulan sederhana tentang hadist ini. Menurut mereka, perempuan dilarang jadi pemimpin Negara, karena Islam menganggap perempuan bersempit akal dan kurang agama. Kesempitan akal yang dimaksud hanyalah “setengah kesaksian” perempuan, seperti diungkapkan oleh Nabi saw. Artinya Ia hanya merupakan label untuk suatu kasus, bukan label untuk realitas ciptaan secara menyeluruh. “kurang agama” berarti dalam hadist hanya untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid. Artinya, ungkapan itu hanya menerangkan suatu kondisi. Perempuan memang diperkenankan untuk tidak shalat dan tidak puasa karena haid, bahkan hal itu merupakan perintah yang jelas harus dilakukan. Bagaimana bisa agama yang memerintahkan suatu bentuk perbuatan kemudian memberikan label “kurang agama” bagi yang mengikutinya ???.
b. Konsep fiqh tentang kelayakan seseorang (al-ahliyah), baik berkaitan akal maupun agama, tidak beda antara laki-laki dan perempuan. Yang ada adalah pembedaan antara yang baligh dengan yang belum baligh, atau antara orang gila dan orang waras. Ketika sudah dewasa dan waras, laki-laki dan perempuan dianggap memiliki kelayakan penuh (al-ahliyah al-tammah) untuk mengemban tanggung jawab dalam segala bidang. Keringanan-keringanan yang dianugerahkan pada perempuan dalam beragama, bukan berangkat dari kesempitan akal mereka, atau label “kurang agama” yang melekat pada mereka secara inheren, ciptaan atau bawaan. Tetapi merupakan pengaruh kondisi dan bersifat kasuistik, yang bisa berubah sesuai dinamika kehidupan masyarakat tersebut. Jadi hadist ini sama sekali tidak bisa dijadikan dasar pelarangan kepemimpinan perempuan dalam suatu lembaga tertentu terlebih pada bidang politik.
3. Banyak orang melarang kepemimpinan perempuan dengan alasan Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan politik kepada perempuan begitu juga para sahabat dan tabi’in. Padahal, saat itu banyak perempuan yang cerdas, pandai dan bijak. Fakta (hadist) ini dianggap bukti kuat untuk mendukung pelarangan kepemimpinan pihak perempuan.
Penjelasan no 3 adalah:
a. Banyak Ayat Al Qur’an dan teks-teks hadist yang menyatakan kelayakan penuh (al-ahliyah al-tannah) perempuan seperti laki-laki. Ketika ini menjadi dasar, maka tidak menjadi sebegitu penting apakah ada fakta atau tidak di masa lalu. Karena tidak semua kebaikan ada dan wujud pada masa lalu. Dalam metodologi Ushul Fiqh ada pernyataan “Sesuatu yang ditinggalkan bukan merupakan dasar untuk menyatakan negatif atau positif terhadapnya (al-tarku laysa bi-hujjah). Jika Nabi saw tidak pernah menyerahkan kepemimpinan lain kepada suku quraisy, demikian juga dilakukan para sahabat dan tabi’in, tidak menjadikan hal itu sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa Islam hanya memperkenankan kepemimpinan perempuan. Perempuan tak bisa dilarang menjadi pemimpin jika hal itu tidak terjadi pada zaman Rasulullah saw.
b. Ada pernyataan yang cukup baik dari seorang Ulama klasik Ibnu al-Qayyim al-Jawzi, untuk mengakhiri analisa hadist ini. Kata Ibnu al-Qayyim: “Ukuran untuk mendukung atau menolak kepemimpinan seseorang, bukan karena jenis kelamin, laki-laki atau perempuan”. Tetapi atas dasar kemampuannya, sejauh mana ia bisa mendatangkan kemaslatan, atau kerusakan kepada masyarakat.
Kemudian dari kalangan muslimin Indonesia sendiri ada juga yang menyatakan tentang ketidak setujuannya atas kepemimpinan perempuan. Beliau adalah KH Ibrahim Hosein, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, mengatakan: “Islam melarang perempuan menjadi khalifah atau pemimpin bangsa”. Dalam Islam, Khalifah juga berkewajiban mengembangkan da’wah Islam, membantu dan menolong perkembangan umat Islam serta menjadi Imam Masjid. Dengan demikian, Islam mengharamkan perempuan menjadi khalifah, sebab akan terbentur pada tugas sebagai Imam Masjid. Kepala Negara yang dipegang perempuan dimana penduduknya mayoritas muslim akan menimbulkan pro dan kontra.
Adapun contoh Kepemimpinan Perempuan di zaman Rasulullah saw:
1. Siti khadijah sebagai penopang ekonomi keluraga yang merelakan hartanya untuk perjuangan Nabi saw.
2. Siti Aisyah menjadi pemimpin dalam waqiatul jamal (perang unta)
B. Kepemimpinan perempuan dalam pandangan Islam.
Sebagai seorang muslim sudah selayaknya menjadikan Islam sebagai cara pandangnya dalam memandang, menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan. Dimana cara pandang Islam mengharuskan untuk menjadikan dalil-dalil syara’ sebagai sandaran atau acuan dalam menyelesaikan persoalan termasuk persoalan kepemimpinan wanita. Pengkajian yang mendalam terhadap khasanah Islam, akan ditemukan bahwa para ulama mujtahid empat madzab telah bersepakat bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam Al Qurthubi dalam tafsir Al Jami’ liahkamil Qur’an mengatakan:
“Khalifah (kepala Negara) haruslah seorang laki-laki dan fuqoha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah)”.
C. Batas-batas kegiatan wanita sebagai aktivis politik.
Sebagian orang mengatakan bahwa kegiatan politik diharamkan bagi perempuan demi menjaga agar masyarakat tidak turun martabatnya kemudian jatuh karena banyak kekurangan perempuan dilihat dari kodratnya. Sehingga sebagian besar tanggung jawab diberikan kepada kaum laki-laki. Adapun keterlibatan wanita dalam masyarakat Rasulullah saw di dalam berbagai kegiatan sosial, ekonomi, dan politik dilihat oleh sebagian orang sebagai sekedar kasus individual seraya menegaskan: “Sesungguhnya orang yang beranggapan bahwa hal ini menunjuk wanita muslim boleh menyibukkan diri dalam kegiatan politik, maka berarti dia telah melampaui sesuatu yang sangat jauh dan membuat beban sejarah yang tidak tertanggungkan”. Inilah agaknya cenderung mengapa persoalan yang selalu diperbincangkan sebelum perempuan terjun ke dalam dunia politik atau hal yang menjadi titik tolak adanya pro dan kontra tentang kepemimpinan perempuan.
D. Kompetensi Kepemipinan Wanita.
Kompetensi (ahliyah) adalah kesesuaian (shalahiyah). Syarat sahnya pemberian beban kewajiban agama, termasuk aktivitas politik adalah keadaan Mukallaf (yang menaggung beban kewajiban). Kompetensi ini dibagi menjadi 2 yaitu: Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) dan kompetensi pelaksanaan (ahliyah Al-ada’). Kompetensi kewajiban (ahliyah wujub) adalah kesesuaian manusia terhadap wajibnya menerima hak baginya dan kewajiban yang harus dilakukannya. Kompetensi ini dibagi dua, yakni kompetensi kewajiban yang kurang dan kompetensi yang sempurna. Kompetensi kewajiban yang kurang (ahliyah al wujub al naqishah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya saja, seperti hak janin untuk memperoleh warisan. Sedangkan kompetensi kewajiban yang sempurna (ahliyah al wujub al kamilah) adalah kesesuaian manusia untuk menerima hak baginya dan atas dirinya. Hak dan kewajiban ini tetap berlaku bagi dirinya sejak dia dilahirkan hingga meninggal dunia.
Adapun kompetensi untuk melakukannya (ahliyah ada’) adalah kesesuaian manusia untuk melakukan tindakan yang dianggap benar menurut agama. Kompetensi ini dibagi dua, yaitu: kurang dan sempurna. Kompetensi yang kurang (ahliyal al ada’ al naqishah) adalah kesesuaian untuk melakukan sebagian tindakan yang lain. Dengan kata lain tindakan ini bergantung pada pertimbangan siapakah yang paling sempurna akalnya dan paling mengetahui berbagai bentuk manfaat dan kerugian yang akan di alami. Sedangkan kompetensi pelaksanaan yang sempurna (ahliyah al ada’ al kamilah) adalah kesesuaian untuk melakukan tindakan berdasarkan pertimbangan agama dengan tidak melihat pendapat yang lainnya.
Jika para fuqaha telah menetapkan kompetensi perempuan yang sempurna di dalam dirinya juga terhadap harta bendanya, serta diluar kekuasaan di luar dirinya, seperti pemeliharaan anak (al hidhanah) dan wasiat (al wishayah), atau perkara kultural, sesungguhnya sebagian besar diantara mereka telah berhati-hati terhadap kompetensi perempuan dalam melakukan kegiatan politik pada berbagai tingkatnya. Seakan-akan mereka melihat bahwa perempuan dalam bidang ini kurang berkompeten. Umumnya mereka bersandar pada hadist Rasulullah saw. Dimana pada hadist seputar masalah penghuni neraka paling banyak tersebut terdapat kesaksiannya. Adapun kesaksian yang lainnya, ada berbagai macam tingkatannya. Misalnya, kesaksian fardhu kifayah yang mensyaratkan keadilan. Kalau wanita memenuhi syarat tersebut, kesaksiannya sama dengan laki-laki, seperti kesaksian dalam hal wasiat. Begitu pula kesaksian fardhu ain yang lazim, seperti kesaksian dalam hudud. Di dalam hal ini, perempuan harus memberikan kesaksianya dan pada umumnya dia dianggap memiliki kompetensi untuk itu. Oleh sebab itu, dipergunakan frasa dari kamu sekalian yang sifatnya sangat umum.
Kemudian sebagian Ulama berbicara tentang tabiat perempuan yang kurang dan bengkok moralitasnya, serta cenderung untuk mengikuti hawa nafsunya. Sebalikya, lalaki memiliki tabiat yang unggul dari segi kesiapan mereka untuk bangkit mengemban tugas-tugas kemasyarakatan. Mereka menganggap bahwa kekurangan itu merupakan sifat yang berkaitan dengan kodratnya sebagai perempuan. Suatu persoalan yang menimbulkan pandangan mereka bahwa syariat agama ini meringankan beban kewajiban yang banyak dibebankan di pundak laki-laki, seperti shalat berjamaah, shalat jum’at, perang, dan membayar pajak.
Ada beberapa catatan di sini bahwa sesungguhnya pendapat-pendapat tersebut tidak membuat perbedaan antara berbagai tingkat kompetensi politik.
· Ada kompetensi yang sifatnya berlaku umum bagi semua kaum Muslim dalam wajib ain, seperti baiat yang umum, dan prisip syara’ yang umum.
· Ada kompetensi yang sifatnya umum, tetapi khusus berkaitan dengan fardhu kifayah yang karena suatu kondisi tertentu berubah menjadi fardhu ain, seperti perang. Walaupun kompetensi ini bersifat umum, hal ini memerlukan persiapan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan manusia secara umum.
· Ada kompetensi yang bersifat khusus dan berkaitan dengan fardhu kifayah, seperti kekuasaan, yang memerlukan kemampuan alamiyah, di samping perlu di asah dengan sisi-sisi yang harus diupayakan oleh manusia itu sendiri.
Sehubungan dengan hal ini, kita juga tidak menemukan pembeda antara bebagai tingkat kekurangan akal. Ada kekurangan fitriah alamiah dan ada kekurangan dari segi jenis kelamin. Kekurangan yang bersifat alamiah (naqsh fitriy) adalah kuarang akal atau kecerdasan dengan berbagai macam tingkatnya, yang dimulai tingkat idiot hingga gila, dan ini termasuk salah satu penghalang kompetensi tersebut. Namun, perempuan tidak termasuk di dalamnya karena dia mampu diberi beban kewajiban agama dan tangguang jawab kriminal dan kultural, serta tanggung jawab mengemban berbagai jenis kekuasaan umum.
Adapun kekurangan dari segi jenis kelamin adalah kekurangan yang bersifat insidental (naqsh ‘aradhiy) yang muncul secara insidental, seperti munculnya haid secara periodik, nifas, atau sebagian masa kehamilan yang sama sekali tidak mengurangi arti kompetensi.
Dengan demikian, “kekurangan” yang dimaksud dalam hadist Nabi saw yang mulia bukanlah kekurangan fitriah yang lazim, melainkan berupa sebagian kewajiban yang berkaitan dengan kompetensi yang bersifat umum dan khusus. Sama sekali hal ini tidak mengurangi arti keberadaan perempuan dengan berbagai kodratnya yang tinggi yang diberi oleh Allah SWT dalam bidang-bidang yang boleh jadi pada umumnya perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki kekurangan. Bahkan, perempuan kadang-kadang lebih utama daripada laki-laki karena sesungguhnya persoalan menngikat kepada keahlian yang mengandung unsur-unsur capaian (al khasbiyyah) dan kompetensi yang bersifat khusus.
BAB III
Kesimpulan
Kesimpulan
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kedudukan perempuan sebagai pemimpin banyak terjadi pro dan kontra di dalamnya. Hadist-hadist yang ada, ada yang mendukung ada pula yang melarang. Para Ulama memiliki perbedaan satu sama lain mengenai hal ini. Hal ini terjadi karena mereka memiliki cara dan sudut pandang yang berbeda dalam mengartikannya. Sehingga masalah ini masih simpang siur tentang kebenarannya. Namun pendapat itu tidak murni salah maupun benar. Kita melakukannya sesuai keyakinan kita saja dengan bepegang teguh pada Al Qur’an.
Pada kesempatan kali ini saya sebagai penulis mencoba memberikan pendapat dengan merujuk pada hadist-hadist di atas. Salah satu hadist menyatakan perempuan mempunyai kekurangan akal dan kekurangan agama. Menurut saya, perempuan menjadi tidak sepenuhnya dilarang menjadi seorang pemimpin maupun ikut serta dalam bidang politik. Alasan pelarangan karena tanggung jawab keduanya sangat berat jika dilihat dari kemampuan perempuan itu sendiri. Dimana perempuan diberikan kodratnya untuk haid, nifas dan hamil. Hal itu untuk meringankan beban perempuan itu sendiri. Apalagi perempuan memegang peranan penting dalam keluarga yaitu mengurus suami, anak-anaknya, harta benda, serta melayani kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika kaum permpuan menjadi pemimpin dan ikut serta penuh dalam bidang politik dikhawatirkan mereka akan meninggalkan kewajibannya, sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak-anaknya. Karena seorang pemimpin tanggung jawabnya besar dan sering keluar rumah untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan jabatannya. Jika perempuan melakukannya maka berarti telah melanggar ketentuan Agama Islam. Perempuan bisa juga menjadi pemimpin bila memang dia mampu yaitu memenuhi syarat keadilan, seperti istri Rasulullah saw yakni Siti Khadijah dan Siti Aisyah. Dan yang menjadi idaman bagi penulis adalah dengan mengetahui bahwa “surga itu ditelapak kaki Ibu”. Bukankah sosok Ibu juga perempuan??.aku sayang Ibu.karena bagi penulis itulah awal cara mengenal sosok perempuan dan mempelajari bagaimana cara berhadapan dengan perempuan.Jazakumullah Khairan Kastira.Wassalamualaikum Wr.Wb.
Pada kesempatan kali ini saya sebagai penulis mencoba memberikan pendapat dengan merujuk pada hadist-hadist di atas. Salah satu hadist menyatakan perempuan mempunyai kekurangan akal dan kekurangan agama. Menurut saya, perempuan menjadi tidak sepenuhnya dilarang menjadi seorang pemimpin maupun ikut serta dalam bidang politik. Alasan pelarangan karena tanggung jawab keduanya sangat berat jika dilihat dari kemampuan perempuan itu sendiri. Dimana perempuan diberikan kodratnya untuk haid, nifas dan hamil. Hal itu untuk meringankan beban perempuan itu sendiri. Apalagi perempuan memegang peranan penting dalam keluarga yaitu mengurus suami, anak-anaknya, harta benda, serta melayani kebutuhan rumah tangga lainnya. Jika kaum permpuan menjadi pemimpin dan ikut serta penuh dalam bidang politik dikhawatirkan mereka akan meninggalkan kewajibannya, sebagai ibu rumah tangga dan mengurus anak-anaknya. Karena seorang pemimpin tanggung jawabnya besar dan sering keluar rumah untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan jabatannya. Jika perempuan melakukannya maka berarti telah melanggar ketentuan Agama Islam. Perempuan bisa juga menjadi pemimpin bila memang dia mampu yaitu memenuhi syarat keadilan, seperti istri Rasulullah saw yakni Siti Khadijah dan Siti Aisyah. Dan yang menjadi idaman bagi penulis adalah dengan mengetahui bahwa “surga itu ditelapak kaki Ibu”. Bukankah sosok Ibu juga perempuan??.aku sayang Ibu.karena bagi penulis itulah awal cara mengenal sosok perempuan dan mempelajari bagaimana cara berhadapan dengan perempuan.Jazakumullah Khairan Kastira.Wassalamualaikum Wr.Wb.
DAFTAR RUJUKAN
1) NUGROHO, ANJAR “KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM”, Posted by: Anjar Nugroho Agustus 20, 2007, di ambil dari ANJAR NIGROHO SITE, pada 12-2008
2) Kesetaraan Gender dalam Persepektif Islam
3) Katjasungkana, Nursyahbani “PEREMPUAN DAN SYARIAH ISLAM DALAM KONTEKS (SISTEM HUKUM) INDONESIA”
4) Sudrajad, Ahmad “Kepemimpinan Perempuan” Di terbitkan 25 Mei 2008, di ambil dari http//: Ahmad Sudrajad.Wordpres.com pada 12-2008
2) Kesetaraan Gender dalam Persepektif Islam
3) Katjasungkana, Nursyahbani “PEREMPUAN DAN SYARIAH ISLAM DALAM KONTEKS (SISTEM HUKUM) INDONESIA”
4) Sudrajad, Ahmad “Kepemimpinan Perempuan” Di terbitkan 25 Mei 2008, di ambil dari http//: Ahmad Sudrajad.Wordpres.com pada 12-2008
0 Post a Comment:
Posting Komentar