Sabtu, November 23, 2024

Catatan Kuliah Aswaja II: "Menyikapi Perdebatan Bid’ah dalam Perspektif Ilmiah dan Hikmah di Baliknya"


Pada Sabtu, 23 November 2024, Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A., menyampaikan kuliah daring mata kuliah ASWAJA II (Ahlussunnah Wal Jamaah) yang sarat dengan refleksi mendalam tentang tradisi keislaman, prinsip-prinsip hidup, dan perbedaan pandangan dalam praktik beragama. Beberapa poin utama dari perkuliahan tersebut melibatkan pembahasan tentang metode hisab dan rukyat, isu bid’ah, keutamaan keyakinan terhadap rezeki Allah, serta kisah inspiratif dari tokoh Islam, seperti Imam Ghazali.

Keberagaman Metode dalam Penentuan Kalender Islam: Hisab dan Rukyat

Dalam kuliah ASWAJA, Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A., membahas secara mendalam bagaimana perbedaan metode hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan hilal) menjadi bagian dari kekayaan intelektual Islam. Metode ini, meskipun berbeda pendekatan, memiliki tujuan yang sama: memastikan ibadah umat Islam, khususnya penentuan awal bulan hijriah seperti Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, sesuai dengan tuntunan syariat.

Akar Tradisi Hisab dan Rukyat

Dalam tradisi Nahdlatul Ulama (NU), metode rukyat memiliki tempat yang sangat kuat. Rukyat adalah pengamatan langsung terhadap bulan sabit baru (hilal) yang disyariatkan oleh hadis Nabi SAW:

"Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah kalian karena melihat hilal." (HR. Bukhari dan Muslim).

Namun, NU juga tidak menutup kemungkinan penggunaan hisab sebagai alat bantu. Penggabungan antara hisab dan rukyat menjadi ciri khas pendekatan NU, yang mengutamakan kehati-hatian serta keabsahan syar’i dalam menentukan awal bulan.

Di sisi lain, Muhammadiyah cenderung menggunakan metode hisab murni, yang bersandar pada perhitungan astronomis. Pendekatan ini dianggap lebih modern dan memiliki keunggulan prediktif karena tidak tergantung pada kondisi cuaca atau hambatan teknis dalam pengamatan langsung. Muhammadiyah tetap merujuk pada kaidah fikih bahwa ilmu pengetahuan yang valid dapat digunakan dalam ibadah.

Pendekatan Ahmad Dahlan dan Mbah Hasyim Asy’ari

Dr. Shofa menggarisbawahi bahwa Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pada dasarnya juga tidak menafikan rukyat. Sebagaimana Mbah Hasyim Asy’ari, pendiri NU, Ahmad Dahlan menghormati tradisi rukyat namun memberikan penekanan pada penggunaan hisab sebagai bentuk inovasi yang tetap berpegang pada prinsip syariat.

Perbedaan pendekatan ini, menurut Dr. Shofa, merupakan salah satu upaya untuk memberikan identitas khusus bagi masing-masing organisasi. NU lebih menonjolkan tradisi yang bersifat empiris dan langsung (rukyat), sedangkan Muhammadiyah mengusung pendekatan yang berbasis pada akurasi ilmu pengetahuan modern.

Hikmah di Balik Perbedaan

Dr. Shofa menekankan bahwa perbedaan ini adalah bentuk rahmat dan refleksi keluasan syariat Islam. Islam memberikan ruang ijtihad dalam aspek teknis ibadah, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Dengan adanya metode yang berbeda, umat Islam diberi peluang untuk memahami bahwa syariat tidak bersifat kaku, tetapi adaptif terhadap perubahan zaman dan konteks ilmu pengetahuan.

Namun, perbedaan ini juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam menjaga ukhuwah Islamiyah. Perbedaan dalam penentuan awal bulan sering kali menjadi pemicu perdebatan di kalangan umat Islam. Dr. Shofa mengingatkan pentingnya semangat tasamuh (toleransi) dalam menyikapi perbedaan ini agar tidak menimbulkan konflik.

Pesan untuk Generasi Muda

Bagi generasi muda, keberagaman metode ini adalah pelajaran berharga tentang bagaimana Islam selalu mendorong keseimbangan antara tradisi dan inovasi. Generasi muda harus dididik untuk memahami hikmah di balik perbedaan ini, serta menjauhi sikap fanatik buta yang berpotensi memecah belah umat.

Dr. Shofa mengingatkan bahwa tugas para pendidik adalah membimbing murid-murid untuk tetap menjunjung tinggi syariat Islam dan menghormati keberagaman yang ada. Dengan pemahaman yang benar, perbedaan ini bukanlah ancaman, melainkan kekayaan yang harus disyukuri dan dikelola dengan bijak.

Kesimpulan: Keberagaman yang Menguatkan

Keberagaman metode hisab dan rukyat adalah wujud dinamika intelektual Islam yang harus dilihat sebagai rahmat. Ahmad Dahlan dan Mbah Hasyim Asy’ari, dengan caranya masing-masing, memberikan contoh bagaimana prinsip-prinsip syariat dapat diterapkan dengan pendekatan yang berbeda. Tugas umat Islam saat ini adalah menjaga keharmonisan di tengah perbedaan tersebut, sehingga ukhuwah tetap terjaga dan syariat tetap tegak sesuai dengan tuntunan Allah SWT.

Memahami Bid’ah dan Dalil yang Diperdebatkan

Pembahasan mengenai bid’ah selalu menjadi diskursus yang penting dalam memahami amaliah Islam, terutama ketika menyangkut praktik seperti perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam kuliah ASWAJA, Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A., menjelaskan isu ini secara rinci, membahas definisi bid’ah, dalil-dalil yang sering dikemukakan, dan bagaimana ulama menilai keabsahan dalil berdasarkan sanad dan matan.


Definisi dan Perspektif tentang Bid’ah

Secara etimologis, bid’ah berarti inovasi atau sesuatu yang baru. Namun, secara terminologis dalam konteks syariat, bid’ah merujuk pada hal-hal baru yang diada-adakan dalam agama tanpa landasan dari Al-Qur'an, Sunnah, atau ijma’ ulama. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap yang diada-adakan (bid’ah) adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka." (HR. Muslim).

Namun, para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan hadis ini. Sebagian memahami bid’ah sebagai segala inovasi dalam agama yang tidak dilakukan oleh Rasulullah SAW dan sahabatnya. Sebagian lain, seperti Imam Syafi’i, membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan bid’ah dhalalah (inovasi yang sesat), bergantung pada kesesuaian dengan prinsip-prinsip syariat.


Kritik Terhadap Perayaan Maulid Nabi

Salah satu praktik yang sering diperdebatkan adalah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang dianggap sebagai bid’ah oleh kelompok tertentu. Argumen utama mereka adalah bahwa perayaan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, atau generasi salaf. Mereka berpendapat bahwa jika hal ini adalah amalan yang baik, niscaya Rasulullah atau sahabat akan melakukannya.

Selain itu, kelompok yang menolak perayaan Maulid juga mengkritik dalil-dalil yang digunakan untuk membela praktik ini. Salah satu dalil yang sering dikutip adalah hadis:

"Barang siapa yang memuliakan hari kelahiranku, maka dia akan mendapatkan syafaatku di hari kiamat."

Namun, setelah diteliti, hadis ini termasuk hadis maudhu' (palsu) karena tidak memiliki sanad yang jelas atau matan yang kuat. Hal ini menjadi salah satu alasan penolakan terhadap Maulid oleh sebagian ulama.


Pembelaan terhadap Perayaan Maulid Nabi

Di sisi lain, banyak ulama membela perayaan Maulid Nabi sebagai bentuk ekspresi kecintaan terhadap Rasulullah. Mereka menganggap bahwa selama Maulid dirayakan dengan cara yang tidak bertentangan dengan syariat, seperti membaca sirah Nabi, bershalawat, dan berdakwah, maka hal tersebut masuk dalam kategori bid’ah hasanah.

Imam Jalaluddin As-Suyuthi, misalnya, membela perayaan Maulid dengan argumen bahwa kegiatan tersebut dapat memperkuat cinta kepada Rasulullah dan meningkatkan semangat beragama. Ia juga menyebutkan bahwa Maulid adalah kesempatan untuk mensyukuri nikmat terbesar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad SAW, sebagaimana Allah memerintahkan kita untuk bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya dalam Al-Qur'an:

"Katakanlah (Muhammad), dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira." (QS. Yunus: 58).


Aspek Penting dalam Penilaian Hadis: Sanad dan Matan

Dr. Shofa juga menyoroti pentingnya memahami keabsahan hadis dalam isu ini, khususnya dari dua aspek utama:

  1. Sanad (rantai perawi)
    Sanad merujuk pada silsilah perawi hadis yang menyampaikan riwayat hingga kepada Rasulullah SAW. Hadis yang tidak memiliki sanad atau sanadnya terputus dianggap sebagai dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu).

  2. Matan (isi hadis)
    Matan adalah teks atau isi hadis itu sendiri. Ulama memeriksa apakah matan tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an, sunnah yang lebih sahih, atau logika syar’i. Jika matan tidak memenuhi kriteria ini, maka hadis tersebut dianggap tidak dapat dijadikan dalil.

Contoh kasus adalah hadis tentang keutamaan memuliakan hari kelahiran Nabi. Hadis ini, meskipun populer, tidak memiliki sanad yang jelas dan matannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, sehingga dikategorikan sebagai hadis palsu.


Hikmah di Balik Perdebatan Bid’ah

Dr. Shofa menegaskan bahwa isu bid’ah, termasuk perdebatan tentang Maulid Nabi, harus disikapi dengan bijak. Islam memberikan ruang ijtihad, terutama dalam hal-hal yang bersifat teknis dan tidak secara langsung diatur oleh Al-Qur'an dan Sunnah. Perdebatan ini mengajarkan pentingnya pemahaman yang mendalam tentang dalil, sehingga umat Islam tidak mudah terpecah hanya karena perbedaan pandangan.

Yang terpenting, menurut beliau, adalah menjaga niat yang ikhlas dalam setiap amalan. Jika niat Maulid adalah untuk mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, maka hal tersebut dapat diterima selama tidak melanggar prinsip syariat.


Kesimpulan: Pentingnya Pemahaman Ilmiah dalam Amaliah

Perdebatan tentang bid’ah dan dalil yang diperdebatkan menunjukkan betapa pentingnya pemahaman ilmiah dalam amaliah agama. Ulama berbeda pendapat bukan untuk menciptakan perpecahan, tetapi untuk menunjukkan keluasan Islam dalam menyikapi berbagai masalah. Perayaan Maulid Nabi, meskipun tidak dilakukan oleh Rasulullah, dapat dianggap sebagai bentuk syukur dan ekspresi cinta kepada beliau jika dilakukan dengan cara yang benar.

Dengan memahami sanad dan matan hadis secara kritis, umat Islam dapat menyaring mana yang sahih dan mana yang tidak, sehingga tidak mudah terjebak dalam praktik yang menyimpang atau sikap yang terlalu kaku. Rahmat Allah ada pada keberagaman, selama umat menjaga adab dalam perbedaan.


Pelajaran dari Imam Ghazali tentang Keyakinan kepada Allah

Kisah Imam Ghazali memberikan inspirasi mendalam tentang keyakinan terhadap janji Allah SWT. Dalam presentasi ini, Dr. H. Shofa Robbani, Lc., M.A., menyoroti episode penting dalam hidup Imam Ghazali yang meninggalkan posisi terhormatnya sebagai kepala Madrasah Nizamiyah di Baghdad. Keputusan ini bukan sekadar perubahan profesi, melainkan langkah nyata untuk membuktikan kebenaran firman Allah dalam Al-Qur'an:

"Dan tidak ada satu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya." (QS. Hud: 6).


Latar Belakang Keputusan Imam Ghazali

Imam Ghazali, seorang ulama besar yang dikenal sebagai Hujjatul Islam, berada di puncak kariernya sebagai kepala Madrasah Nizamiyah, lembaga pendidikan Islam paling bergengsi di Baghdad pada masanya. Sebagai ulama terkemuka, beliau menikmati kehormatan, kekayaan, dan kedudukan tinggi di masyarakat. Namun, di tengah kesuksesan tersebut, Imam Ghazali merasa bahwa ilmu dan keyakinan yang ia miliki belum sepenuhnya menyatu dalam amalan dan kehidupannya.

Beliau ingin membuktikan bahwa janji Allah tentang rezeki adalah benar dan tidak akan pernah meleset. Keinginan ini membawa beliau pada keputusan besar: meninggalkan semua kenyamanan duniawi untuk menjalani kehidupan zuhud dan mendekatkan diri kepada Allah.


Perjalanan Spiritual: Ujian dan Keyakinan

Imam Ghazali memulai perjalanan spiritualnya dengan meninggalkan Baghdad hanya dengan membawa peralatan sederhana, seperti timba dan tali untuk menimba air. Beliau tidak membawa bekal makanan, bahkan tidak mempersiapkan sumber daya apa pun untuk bertahan hidup di tengah perjalanan panjang menuju padang pasir. Langkah ini bukanlah bentuk keputusasaan atau pencarian kematian, tetapi manifestasi dari keyakinan penuh bahwa Allah akan mencukupi segala kebutuhan makhluk-Nya.

Di tengah perjalanan, Imam Ghazali menghadapi ujian berat. Beliau merasa lapar, haus, dan kelelahan. Tidak ada seorang pun yang lewat atau memberikan bantuan. Namun, di tengah kesulitan itu, Imam Ghazali tetap teguh pada keyakinannya. Beliau yakin bahwa Allah-lah yang akan mencukupi rezekinya, sesuai firman-Nya:

"Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pemberi rezeki." (QS. Al-Jumu'ah: 11).

Hingga akhirnya, bantuan datang dengan cara yang tidak terduga. Imam Ghazali mendapatkan makanan dan air dari seseorang yang tidak dikenalnya, membuktikan bahwa janji Allah adalah pasti.


Hikmah dari Kisah Imam Ghazali

Kisah ini mengandung banyak pelajaran berharga, terutama dalam hal keyakinan terhadap Allah dan pemahaman tentang rezeki:

  1. Rezeki Dijamin oleh Allah
    Imam Ghazali ingin membuktikan bahwa Allah adalah satu-satunya pemberi rezeki. Kisah ini menegaskan bahwa manusia tidak perlu takut akan kelaparan atau kekurangan, selama mereka bertawakal kepada Allah. Seperti yang Allah firmankan:

    "Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (QS. At-Talaq: 2-3).

  2. Keutamaan Tawakal
    Tawakal adalah puncak keimanan, di mana seorang hamba menyerahkan segala urusannya kepada Allah setelah berusaha semampunya. Imam Ghazali menunjukkan bahwa tawakal bukan berarti pasif, tetapi melibatkan keyakinan penuh pada kekuasaan Allah.

  3. Menguji Keyakinan melalui Amal Nyata
    Ilmu yang tidak diiringi dengan praktik akan kehilangan maknanya. Imam Ghazali mencontohkan bagaimana seorang ulama besar sekalipun harus menguji dan memperkuat keyakinannya melalui amal nyata.

  4. Zuhud terhadap Kehidupan Dunia
    Imam Ghazali meninggalkan kedudukan dan kemewahan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini mengajarkan bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan yang terpenting adalah mencari ridha Allah.

  5. Ujian adalah Bagian dari Rencana Allah
    Kesulitan yang dihadapi Imam Ghazali di tengah perjalanan adalah bentuk ujian dari Allah untuk memperkokoh keimanannya. Setiap ujian memiliki hikmah, dan Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang bertawakal kepada-Nya.


Relevansi Kisah Imam Ghazali dengan Kehidupan Modern

Di zaman modern, kekhawatiran tentang rezeki sering kali menjadi alasan bagi manusia untuk melupakan prinsip-prinsip syariat. Banyak orang yang bekerja secara berlebihan, bahkan menghalalkan segala cara, karena takut akan kekurangan. Kisah Imam Ghazali menjadi pengingat bahwa rezeki adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya berkewajiban berusaha dengan cara yang halal dan bertawakal.

Selain itu, kisah ini mengajarkan pentingnya meninggalkan ketergantungan pada dunia dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Rezeki tidak selalu berupa materi, tetapi juga kesehatan, ketenangan jiwa, dan keberkahan dalam hidup.

Manusia Sebagai Makhluk yang Dimuliakan Allah

Pembahasan ini juga menyoroti bahwa manusia diberi keistimewaan dibanding makhluk lain. Namun, kemuliaan ini tidak sepenuhnya dirasakan jika seseorang kehilangan keyakinan terhadap janji Allah. Kekhawatiran terhadap rezeki sering kali memicu perilaku yang bertentangan dengan syariat, seperti menipu atau berutang tanpa tanggung jawab.

Pesan Penting untuk Generasi Muda

Dosen menutup presentasi dengan pesan moral kepada para pendidik dan generasi muda agar selalu menjaga amal ibadah sesuai syariat Islam. Penting bagi guru untuk menanamkan nilai-nilai akidah yang benar dan menjauhkan murid dari praktik yang merusak keyakinan.

Refleksi: Membumikan Spirit ASWAJA

Melalui kuliah ini, peserta diingatkan untuk meneladani tokoh-tokoh Islam yang memiliki keyakinan kokoh kepada Allah. Keberagaman metode dalam beragama harus dilihat sebagai rahmat, bukan pemicu konflik. Keyakinan kepada Allah, seperti yang dicontohkan Imam Ghazali, menjadi landasan kuat untuk menjalani hidup penuh keberkahan.

Artikel ini menjadi refleksi penting bagi umat Islam agar selalu berada dalam jalur yang lurus, sebagaimana prinsip Aswaja yang mengedepankan keseimbangan antara akidah, syariat, dan tasawuf.

0 Post a Comment: