Oleh: Nasrulloh Afandi
Jarang dikaji. Aktivitas "membeli
surga" adalah diantara fenomena cukup "ngetrend" mewabah
frekuensi gelombang kemajemukan "simbolis religius" bangsa kita
dasawarsa ini. Identiknya, ironisme berasumsi bisa "menyuap Malaikat
Rokib" sang pencacat amal ibadah, sekalian(berasumsi bisa)
"mengelabuhi Malaikat Atid" sang pencatat segala macam kemaksiatan
seluruh makhluk itu.
Hemat saya(pribadi). Hal itu, adalah geliat
"pragmatisme ibadah", konsekuensi dari dilematis(beragama) bagi
Muslimin dalam menghadapi kompleksnya fenomena tantangan globalisasi.
Esensinya, sebagai pelarian akibat semakin terpuruknya
kualitas istiqomah(kontinuitas) beribadah, sedangkan aktivitas hidupannya over
dosis memuja harta(hedonisme). Mereka(pelaku) panik, dan sedikit menyadari telah
"terpolusinya keimanannya". Maka maraklah aktivitas "membeli
surga", dianggap jalur pintas untuk menjauhi neraka.
"Makelar Surga" Para artis dan para
koruptor, yang mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya
"cinta agama", mayoritas –-untuk dimaksud tidak semuanya– mereka
itulah "Makelar surga" paling berpengaruh. Mempromosikan kepada
publik, bahwa surga adalah "komoditas" bisa diraih dengan bermodal
materi. Kalaulah hal itu dianggap "ibadah
sampingan", tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensialitas
ibadah kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut
atas dosa-dosanya(?). Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana
duniawi eksis lebih kuat mengalahkan keimanannya.
Kroposnya akar-akar Islam "di lapangan
Ibadah", baik vertikal(kepada Allah) maupun horisontal(sesama ummat
beragama), adalah resiko dominan dari "komoditas surga".
Faktor utamanya, mereka(pelaku) berpikir pragmatis, bahwa dalam konteks
ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa
memperdulikan uang halal atau haram. Menggelikannya, banyak orang berceletuk :
"Berbuat demikian itu lebih baik, daripada sama sekali tidak 'beramal'
".
Marak
para koruptor-pecandu mengeruk duit rakyat itu, atau artis(tak terkecuali artis
bintang porno), mempublikasikan diri melalui berbagai media massa(yang
dikontraknya), mereka berebut membangun megah masjid-masjid atau menyantuni
para yatim piatu.
Seolah-olah mereka adalah "teladan
beribadah" bagi segenap Muslimin. Padahal selain unsur "membeli
surga", juga sering adanya faktor politis(bagi para koruptor) dan
komersialis(mencari penggemar) bagi para artis. Jelaslah fenomena-fenoma tidak
prosedural atau jauh dari autentisitas ibadah. "
Kaveling Surga"
Perspektif Tauhid(ilmu ketuhanan) adalah hak
perogratif Allah SWT untuk membagi kebijakan sifat Rakhman dan
Rakhim-Nya. Siapa yang akan dimasukkan ke surga atau neraka? Sesuai dengan
keagungan Qudroth dan Irodath-Nya.
Entah ahli ibadah atau pecandu berbuat dosa,
bahkan Muslim atau Kafir sekalipun? Menentukan masuk surga atau neraka adalah
hak otoritas Tuhan yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun!
"Dia(Allah) mengampuni bagi siapa yang
dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah
kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu"
(QS 5:18).
Sekali lagi, biarlah Allah SWT menentukan otoritas
Rakhman-Rakhim-Nya kepada segenap makhlukNya. Adalah kesalahan fatal,
bila ada manusia bermaksud "mengaveling surga", apalagi hanya
dengan mengandalkan seonggok harta. Dan sedikitpun manusia tidak ada kelayakan
ber-action jadi "agen surga".
Esensi Ibadah
Saya tidak bermaksud menjadi "sales
surga". Tetapi, esensialitas persoalannya, perspektif hukum fiqih, empat
madzahib fuqoha ahlissunnah waljama'ah(Hambali, Maliki Hanafi, Syafi'i)
konsesus(ittifaq) bahwa generalitas dalam beribadah : Selain ada rukun yang
dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus memperhatikan
terhadap syarat-syaratnya.
Selain ada syarat diwajibankannya(beribadah),
utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur (ibadah)nya menjadi
syah.
Apakan sesuai prosedur, mencuci lantai masjid
dengan air kencing? Menyantuni para anak yatim dengan uang hasil korupsi? Atau
membangun pesantren dengan uang hasil memamerkan aurat badan di berbagai media
massa? Jelas tidak, bukan? Sesuai Qowa'id al-Fiqh :
"al-Ashlu baqou ma kana a'la makana"(hukum sesuatu hal, itu sesuai
dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram dijariahkan ke masjid, maka
tetap haramlah hukum menyalurkan duit(haram) itu.
Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan
harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun,
sedangkan menafikan syarat(ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.
Dan memang, harta itu, hisabnya(pertanggung
jawaban di hadapan Allah) dua hal ; dari mana(dengan cara apa, pen) diperoleh,
dan untuk apa dipergunakan. (HR. at-Tirmidzi dari Abu Barzah R.A.).
Maka, tidak tepat, menjadikan hal haram atau subhat itu,
sebagai argumentasi "untuk mencari modal" beribadah. Bukankah sangat
banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa mencampakkan
konstitusi(syariat) Ilahi?
Pun autentisitas total ibadah(bertakwa) bukanlah
berorientasi meraih surga atau menjauhi neraka. Tapi Li-Allahi Ta'ala(karena
Allah Ta'ala) murni menjalankan kewajiban hamba atas perintah Kholiq(Sang
Pencipta).
Bila beribadah orientasinya masuk
surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas
ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghor(bagian
dari penyekutuan kepada Allah SWT).
Efek Samping
Kompfleksnya sistem media informasi, berperan
aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke
plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit
virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin
terpinggirkannya implementasi kualitas ibadah. Fenomenanya,
mereka mau menyumbangkan materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk
melangkahkan kaki sholat berjamaah ke masjid. Atau marak pula(orang-orang
daerah) gemar menyumbangkan duit untuk acara-acara pengajian/majlis ta'lim,
namun enggan mengikuti pengajian di majlis yang didonasinya itu.
Lebih parahnya, untuk golongan(orang daerah) semacam ini, sering
berasumsi :"bahwa pendidikan bukanlah(lagi) hal terpenting dalam kehidupan
manusia.
Utamanya memandang negatif kepada komunitas pelajar
jurusan agama(Islam) karena dianggap tidak prospektif menghasilkan
bongkahan-bongkahan materi". Meskipun realitasnya, terdapat jutaan
orang-orang bergelar "sarjana ekonomi plus" berstatus pengangguran.
Namun belum juga terbuka mata hati kaum hedonis itu.
Bagi mereka, yang terpenting adalah :
"Bagaimana putra-putrinya secepat mungkin bisa meraup materi, misalnya
berdagang, dengan tanpa membutuhkan pendidikan tinggi, toh ijazah pun(utamanya
ijazah pendidikan agama) tidak menjamin masa depan". Itulah yang ada
dibenak mereka. Sungguh naif! Ironisme mewabah adalah,
dengan "berprinsip" demikian itu, mereka pun sering ditemukan
meninggalkan fardu a'in(kewajiban personal) seperti sholat lima waktu dan atau
puasa Ramadan. Dominan sibuk dengan aktivitas duniawi.
Inilah, diantara imbas hedonisme(pemuja harta). Terkesan
"berprinsip": "Boleh berpuas-puas berbuat dosa dengan kemewahan
harta, termasuk cara(haram) memperoleh hartanya. Toh, dengan harta itu, akan
mampu 'menyuap malaikat sekaligus membeli surga!' ". Sungguh memilukan!
Firman Allah Ta'ala, (QS. Asy-Syu'araa': 88-89), akan
datang suatu hari: "Yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta
dan anak-anak. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang
bersih."
Insya Allah Ta'ala, dengan ketakwaan. Manusia
akan diberi rahmat dijauhkan dari neraka dan dimasukkan surga oleh Dzat Maha
Segalanya, yang "staffNya"(para malaikat) itu tidak bisa dikelabuhi
dengan rekayasa fatamorgana materi. Dan memang, surga tidak bisa
"dibeli"(dengan materi).
Ilmiahnya. Melaksanakan segala perintah dan menjauhi
larangan Allah SWT sesuai orisinilitas syariatNya, itulah esensi dari kehidupan
manusia berperadaban untuk estafet meraih honoris causa takwa. Sekaligus upaya
prosedural "menyuap Malaikat-Membeli Surga!"
0 Post a Comment:
Posting Komentar