Abu Hanifah dan Aliran-aliran Kalam Sebelumnya
Sekilas Riwayat Abu Hanifah
NAMA aslinya adalah Nu’m?n bin Tsabit, lahir di Kufah. Tapi para sejarawan berbeda pendapat mengenai tahun kelahirannya. Sebagian sejarawan mengatakan, imam madhzab ini lahir pada tahun 61 H. sementara sejarawan lainnya sepakat bahwa ia lahir pada tahun 80 H (4699 M). Menurut pendapat pertama, jika ia dilahirkan pada tahun 61 H, berarti ia tengah berusia 90 tahun ketika al-Mansh?r menawarkan jabatan sebagai qadhi kepadanya. Siapa pun orangnya pasti tidak akan menolak jabatan itu, maka penolakan itu lebih di karanakan faktor usia yang cukup tua.
Menurut Zahrah, pandangan sejarawan di atas tidak memiliki dasar pijakan yang kuat karena tidak sesuai dengan tahun kematiannya. Para sejarawan sepakat bahwa Abu Hanifah tidak meninggal sebalum tahun 150 H, yaitu setelah Khalifah al-Mansh?r melakukan mihna terhadap dirinya. Atas dasar inilah Zahra tidak saja menolak tahun 61 H sebagai tahun kelahiran Abu Hanifah, tetapi juga menolak faktor usia sebagai alasan penolakannya terhadap jabatan qadhi, karena tidak ada sedikit pun informasi sejarah yang menyebutkan tentang hal itu. Karenanya Zahrah akhirnya berkesimpulan, bardasarkan kesepakatan sebagian besar sejarawan, Abu hanifah lahir pada tahun 81 H.
Pandangan Zahrah di atas tampaknya kurang begitu kuat karena ia mendasarkan pendapatnya hanya pada kesepakatan sejarawan lainnya, tanpa menyartakan bukti-bukti lain berupa peristiwa-peristiwa penting sebagai pendukung. Mestinya ia menyertakan beberapa peristiwa penting sebagai penguat pendapatnya baik yang terajadi pada saat sebalum dan sesudah kelahiran Abu Hanifah.
Barangkali pendapat yang cukup kuat mengenai tahun kelahiran Abu Hanifah adalah pendapat dari al-Kusairy. Sebagaimana dikutip Ayyub Ali, Kusariy mengatakan bahwa pendiri Madhab Hanafi ini lahir pada tahun 70 H. pandangan al-Kausariy ini diperkuat beberapa argumen sebagai berikut, pertama, disebutkan bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Mukhlid al-Aththar (w. 331 H) menulis dalam kitabnya bahwa Hammad, putra Abu Hanifah, lahir sebelum kelahiran Malik. Malik sendiri lahir tahun 94 H. Jika demikian, berarti Abu Hanifah lahir sebelum tahun 80 H, atau kira-kira sepuluh tahun sebelumnya agar sesuai dengan tahun kelahiran putranya, yang lahir sebelum Malik itu. Kedua, al-‘Aqily, sebagaiman dikutib Muhammad Ayyub menyebutkan, ketika Ibrahim bin Yazid al-Nakha’iy (w. 95 H) meninggal dunia, lima orang tokoh masyarakat Kufah, termasuk di dalamnya Abu Hanifah, berkumpul untuk menentukan pengganti al-Nakha’iy. Jika Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H berarti ia tengah berusia 15 tahun ketika ia bersama tokoh masyarakat lainnya dilibatkan dalam menentukan pengganti al-Nukha’iy. Jika dilihat dari usia Abu Hanifah yang relatif muda ini, tentu tiudak mungkin dilibatkan dalam menetukan pengganti al-Nukh’iy. Sudah pasti yang terlibat dalam persoalan suksesi ini adalah murid-murid al-Nukha’iy yang sudah berumur dewasa sebagaimana tokoh masyarakat Kufah lainnya. Atas dasar inilah, bisa dipastikan bahwa usia Abu Hanifah saat itu lebih dari 15 tahun. Hal ini berarti ia lahir jauh sebelum tahun 80 H.
Ketiga, banyak riwayat menyebutkan, sebelum beralih menekuni bidang ilmu fikih, Abu Hanifah banyak berkecimpung dalam ilmu kalam. Bahkan sebagaimana disebutkan Maududi, ia dikenal sangat menguasai bidang ilmu ini sehingga hampir sebagian besar waktunya ia gunakan untuk berdebat dengan beberapa sekte-sekte yang ada di Basrah seperti, Khawarij, Ibadiyah, Sufriyah dan Hashwiyah. Untuk tujuan ini, ia bahkan pernah melakukan perjalanan ke Basrah hampir 20 kali. Biasanya ia menetap disana selama enam bulan atau lebih. Pada masa al-Hajjaj, Abu Hanifah pernah berdebat dengan suatu kelompok tertentu, al-Hajjaj sendiri meninggal tahun 95 H. Jika Abu Hanifah lahir tahun 80 H, berarti saat itu ia tengah menginjak usia 15 tahun. Pada usia yang relatif muda ini tidak mungkin baginya mampu berdebat melawan pemuka-pemuka aliran tersebut. Jadi hampir bisa dipastikan saat itu usianya lebih dari 15 tahun dan lahir sebelum tahun 80 H.
Berdasarkan pada bukti-bukti historis di atas, penulis cenderung mengatakan bahwa Abu Hanifah lahir pada tahun 70 H, dimana pada saat itu, Kufah berada pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-82 H/685-705 M), khalifah kelima dari Dinasti Umayyah. Sebagai gubernur Irak saat itu adalah Hajjaj bin Yusuf. Kira-kira selama 63 tahun ia hidup dibawah kekuasaan dinasti Umayyah ini. Ketika Hajjaj meninggal, ia tengah berusia 15 tahun dan menginjak usia sebagai pemuda ketika Umar bin Abd al-Aziz menjabat sebagai khalifah. Jadi selama 62 tahun itu, ia tidak saja menyaksikan maju mundurnya pemerintahan dinasti Umayyah ini, tetapi juga menyaksikan orang-orang yang menguasai Irak dan pergolakan-pergolakan kekuasaan di antara mereka. Ia juga merasakan hidup selama 18 tahun dibawah pemerintahan dinasti Abasiyah.
PERSOALAN Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh aksentuasi yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.Beberapa persoalan aqidah yang menjadi tema pembicaraan al-Qur’an, pada saat itu antara lain, iman kepada Allah dan mengesakan-Nya, bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sangat sempurna, iman kepada kerasulan Muhammad, dan rasul-rasul sebelumnya, iman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, hari akhir, kebangkitan, perhitungan, beserta bukti-buktinya baik akli maupun kauni.
Semua persoalan aqidah yang terdapat dalam al-Qur’an itu mengharuskan para sahabat untuk berusaha secara sungguh-sungguh memahami dan memikirkannya. Mereka tidak merasa kesulitan, memahami persoalan-persoalan aqidah pada saat itu, karena mereka masih bisa menanyakan penjelasannya secara langsung kepada Rasululullah. Bagaimana sikap sahabat terhadap penjelasan Nabi, tentu saja mereka dengan bekal keimanan yang kuat, menerima penjelasan itu tanpa harus mempertanyakannya secara filosofis, apa dan bagaimana penjelasan-penjelasan itu. Dari penjelasan yang diberikan Rasululllah itu mereka juga tidak saling berselisih pendapat dan berbantahan dalam persoalan keimanan sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka berpendapat, bahwa perdebatan dalam masalah aqidah yang sudah jelas dalil qat’inya, bukan menjadikan seseorang semakin beriman tetapi sebaliknya justru menjadi seseorang itu semakin tercerabut dari akar agamanya.
Untuk dapat mengetahui gambaran persoalan akidah yang sesungguhnya pada masa Rasulullah dan sikap para sahabat beliau dapat dilihat dari bagaimna cara padang mereka terhadap persoalan-persoalan akidah yang berkembang itu. Setidaknya ada beberapa tema persoalan akidah, yang dapat dijadikan parameter dalam melihat akidah umat Islam pada masa itu, yaitu persoalan –persolan yang berkaitan dengan zat Allah, sifat Allah, ru’yatullah, qadha dam Qadar, iman dan amal serta iman dan Islam.
Persoalan zat Allah dan sifat Allh merupakan bagian dari persoalan akidah yang menjadi obyek kajian para sahabat semasa Nabi masih hidup. Agaknya misteri tentang zat Allah ini menarik perhatian mereka untuk membahas dan memahami persoalan zat Allah. Akan tetapi Rasululah memperingatkan mereka untuk tidak memperturutkan rasa intelektual mereka mendalami dan berdebat dalam persoalan zat terlalu jauh. Karena dalam pandangan Rasulullah, meskipun kemampuan intelektual seseorang telah sampai pada tingkat yang cukup tinggi, mereka tetap tidak mampu menyingkap tabir misteri zat Allah. Justru jika mereka tetap memperturutkan rasa intelektual mereka untuk mengetahui wujud zat Allah akibatnya dapat membahayakan keimanan mereka sendiri. Sikap tegas Rasulullah dalam persoalan ini tampak jelas dalam beberapa hadis yang disabdakan, “berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah, karena kamu tidak akan mengetahui kadar-Nya. Sementara dalam kesempatan lain Nabi menganggap munculnya pertanyaan dalam benak seseorang tentang siapa pencipta segala sesuatu yang terus berlanjut sampai kepada pertanyaan-pertanyaan siapa Allah sebagai suatu bisikan setan yang mengganggu aqidah, karena itu dia harus segera memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk.
Larangan keras Rasulullah untuk tidak berfikir tentang zat Tuhan itu tidak harus dipahami bahwa Rasulullah mengebiri kebebasan manusia. Tetapi larangan itu hendaknya dipahami dalam pengertian bahwa beliau hanya menjelaskan tentang beberapa obyek pemikiran yang jauh lebih bermamfaat dari pada berfikir tentang zat Tuhan. Lebih dari itu beliau bahkan mendorong agar manusia mendayagunakan akal dan fikiran dalam persoalan-persoalan yang memungkinkan akal sampai pada persoalan itu. Berfikir tentang kosmos sebagai ciptaan Allah, misalnya, merupakan aktivitas yang sejalan dengan anjuran Nabi., karena dengan berfikir secara mendalam tentang tanda-tanda kosmos, tidak saja akan membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, tetapi juga membawa kepada keyakinan yang kuat tentang adanya Tuhan pencipta alam dan hukum alam yang mengatur perjalanan alam.
Menurut Zahrah, pandangan sejarawan di atas tidak memiliki dasar pijakan yang kuat karena tidak sesuai dengan tahun kematiannya. Para sejarawan sepakat bahwa Abu Hanifah tidak meninggal sebalum tahun 150 H, yaitu setelah Khalifah al-Mansh?r melakukan mihna terhadap dirinya. Atas dasar inilah Zahra tidak saja menolak tahun 61 H sebagai tahun kelahiran Abu Hanifah, tetapi juga menolak faktor usia sebagai alasan penolakannya terhadap jabatan qadhi, karena tidak ada sedikit pun informasi sejarah yang menyebutkan tentang hal itu. Karenanya Zahrah akhirnya berkesimpulan, bardasarkan kesepakatan sebagian besar sejarawan, Abu hanifah lahir pada tahun 81 H.
Pandangan Zahrah di atas tampaknya kurang begitu kuat karena ia mendasarkan pendapatnya hanya pada kesepakatan sejarawan lainnya, tanpa menyartakan bukti-bukti lain berupa peristiwa-peristiwa penting sebagai pendukung. Mestinya ia menyertakan beberapa peristiwa penting sebagai penguat pendapatnya baik yang terajadi pada saat sebalum dan sesudah kelahiran Abu Hanifah.
Barangkali pendapat yang cukup kuat mengenai tahun kelahiran Abu Hanifah adalah pendapat dari al-Kusairy. Sebagaimana dikutip Ayyub Ali, Kusariy mengatakan bahwa pendiri Madhab Hanafi ini lahir pada tahun 70 H. pandangan al-Kausariy ini diperkuat beberapa argumen sebagai berikut, pertama, disebutkan bahwa Abu Abdullah Muhammad bin Mukhlid al-Aththar (w. 331 H) menulis dalam kitabnya bahwa Hammad, putra Abu Hanifah, lahir sebelum kelahiran Malik. Malik sendiri lahir tahun 94 H. Jika demikian, berarti Abu Hanifah lahir sebelum tahun 80 H, atau kira-kira sepuluh tahun sebelumnya agar sesuai dengan tahun kelahiran putranya, yang lahir sebelum Malik itu. Kedua, al-‘Aqily, sebagaiman dikutib Muhammad Ayyub menyebutkan, ketika Ibrahim bin Yazid al-Nakha’iy (w. 95 H) meninggal dunia, lima orang tokoh masyarakat Kufah, termasuk di dalamnya Abu Hanifah, berkumpul untuk menentukan pengganti al-Nakha’iy. Jika Abu Hanifah lahir pada tahun 80 H berarti ia tengah berusia 15 tahun ketika ia bersama tokoh masyarakat lainnya dilibatkan dalam menentukan pengganti al-Nukha’iy. Jika dilihat dari usia Abu Hanifah yang relatif muda ini, tentu tiudak mungkin dilibatkan dalam menetukan pengganti al-Nukh’iy. Sudah pasti yang terlibat dalam persoalan suksesi ini adalah murid-murid al-Nukha’iy yang sudah berumur dewasa sebagaimana tokoh masyarakat Kufah lainnya. Atas dasar inilah, bisa dipastikan bahwa usia Abu Hanifah saat itu lebih dari 15 tahun. Hal ini berarti ia lahir jauh sebelum tahun 80 H.
Ketiga, banyak riwayat menyebutkan, sebelum beralih menekuni bidang ilmu fikih, Abu Hanifah banyak berkecimpung dalam ilmu kalam. Bahkan sebagaimana disebutkan Maududi, ia dikenal sangat menguasai bidang ilmu ini sehingga hampir sebagian besar waktunya ia gunakan untuk berdebat dengan beberapa sekte-sekte yang ada di Basrah seperti, Khawarij, Ibadiyah, Sufriyah dan Hashwiyah. Untuk tujuan ini, ia bahkan pernah melakukan perjalanan ke Basrah hampir 20 kali. Biasanya ia menetap disana selama enam bulan atau lebih. Pada masa al-Hajjaj, Abu Hanifah pernah berdebat dengan suatu kelompok tertentu, al-Hajjaj sendiri meninggal tahun 95 H. Jika Abu Hanifah lahir tahun 80 H, berarti saat itu ia tengah menginjak usia 15 tahun. Pada usia yang relatif muda ini tidak mungkin baginya mampu berdebat melawan pemuka-pemuka aliran tersebut. Jadi hampir bisa dipastikan saat itu usianya lebih dari 15 tahun dan lahir sebelum tahun 80 H.
Berdasarkan pada bukti-bukti historis di atas, penulis cenderung mengatakan bahwa Abu Hanifah lahir pada tahun 70 H, dimana pada saat itu, Kufah berada pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-82 H/685-705 M), khalifah kelima dari Dinasti Umayyah. Sebagai gubernur Irak saat itu adalah Hajjaj bin Yusuf. Kira-kira selama 63 tahun ia hidup dibawah kekuasaan dinasti Umayyah ini. Ketika Hajjaj meninggal, ia tengah berusia 15 tahun dan menginjak usia sebagai pemuda ketika Umar bin Abd al-Aziz menjabat sebagai khalifah. Jadi selama 62 tahun itu, ia tidak saja menyaksikan maju mundurnya pemerintahan dinasti Umayyah ini, tetapi juga menyaksikan orang-orang yang menguasai Irak dan pergolakan-pergolakan kekuasaan di antara mereka. Ia juga merasakan hidup selama 18 tahun dibawah pemerintahan dinasti Abasiyah.
PERSOALAN Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh aksentuasi yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah keimanan.Beberapa persoalan aqidah yang menjadi tema pembicaraan al-Qur’an, pada saat itu antara lain, iman kepada Allah dan mengesakan-Nya, bahwa Allah mempunyai sifat-sifat yang sangat sempurna, iman kepada kerasulan Muhammad, dan rasul-rasul sebelumnya, iman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, hari akhir, kebangkitan, perhitungan, beserta bukti-buktinya baik akli maupun kauni.
Semua persoalan aqidah yang terdapat dalam al-Qur’an itu mengharuskan para sahabat untuk berusaha secara sungguh-sungguh memahami dan memikirkannya. Mereka tidak merasa kesulitan, memahami persoalan-persoalan aqidah pada saat itu, karena mereka masih bisa menanyakan penjelasannya secara langsung kepada Rasululullah. Bagaimana sikap sahabat terhadap penjelasan Nabi, tentu saja mereka dengan bekal keimanan yang kuat, menerima penjelasan itu tanpa harus mempertanyakannya secara filosofis, apa dan bagaimana penjelasan-penjelasan itu. Dari penjelasan yang diberikan Rasululllah itu mereka juga tidak saling berselisih pendapat dan berbantahan dalam persoalan keimanan sepanjang hidup mereka. Bahkan mereka berpendapat, bahwa perdebatan dalam masalah aqidah yang sudah jelas dalil qat’inya, bukan menjadikan seseorang semakin beriman tetapi sebaliknya justru menjadi seseorang itu semakin tercerabut dari akar agamanya.
Untuk dapat mengetahui gambaran persoalan akidah yang sesungguhnya pada masa Rasulullah dan sikap para sahabat beliau dapat dilihat dari bagaimna cara padang mereka terhadap persoalan-persoalan akidah yang berkembang itu. Setidaknya ada beberapa tema persoalan akidah, yang dapat dijadikan parameter dalam melihat akidah umat Islam pada masa itu, yaitu persoalan –persolan yang berkaitan dengan zat Allah, sifat Allah, ru’yatullah, qadha dam Qadar, iman dan amal serta iman dan Islam.
Persoalan zat Allah dan sifat Allh merupakan bagian dari persoalan akidah yang menjadi obyek kajian para sahabat semasa Nabi masih hidup. Agaknya misteri tentang zat Allah ini menarik perhatian mereka untuk membahas dan memahami persoalan zat Allah. Akan tetapi Rasululah memperingatkan mereka untuk tidak memperturutkan rasa intelektual mereka mendalami dan berdebat dalam persoalan zat terlalu jauh. Karena dalam pandangan Rasulullah, meskipun kemampuan intelektual seseorang telah sampai pada tingkat yang cukup tinggi, mereka tetap tidak mampu menyingkap tabir misteri zat Allah. Justru jika mereka tetap memperturutkan rasa intelektual mereka untuk mengetahui wujud zat Allah akibatnya dapat membahayakan keimanan mereka sendiri. Sikap tegas Rasulullah dalam persoalan ini tampak jelas dalam beberapa hadis yang disabdakan, “berfikirlah kamu tentang ciptaan Allah dan jangan berfikir tentang zat Allah, karena kamu tidak akan mengetahui kadar-Nya. Sementara dalam kesempatan lain Nabi menganggap munculnya pertanyaan dalam benak seseorang tentang siapa pencipta segala sesuatu yang terus berlanjut sampai kepada pertanyaan-pertanyaan siapa Allah sebagai suatu bisikan setan yang mengganggu aqidah, karena itu dia harus segera memohon perlindungan Allah dari gangguan setan yang terkutuk.
Larangan keras Rasulullah untuk tidak berfikir tentang zat Tuhan itu tidak harus dipahami bahwa Rasulullah mengebiri kebebasan manusia. Tetapi larangan itu hendaknya dipahami dalam pengertian bahwa beliau hanya menjelaskan tentang beberapa obyek pemikiran yang jauh lebih bermamfaat dari pada berfikir tentang zat Tuhan. Lebih dari itu beliau bahkan mendorong agar manusia mendayagunakan akal dan fikiran dalam persoalan-persoalan yang memungkinkan akal sampai pada persoalan itu. Berfikir tentang kosmos sebagai ciptaan Allah, misalnya, merupakan aktivitas yang sejalan dengan anjuran Nabi., karena dengan berfikir secara mendalam tentang tanda-tanda kosmos, tidak saja akan membawa kepada pemahaman tentang fenomena-fenomena alam yang bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia, tetapi juga membawa kepada keyakinan yang kuat tentang adanya Tuhan pencipta alam dan hukum alam yang mengatur perjalanan alam.
0 Post a Comment:
Posting Komentar