Pondok Tremas adalah salah satu pondok yang cukup tua umurnya,
yang kalau ditinjau dari letak geografisnya berada di desa Tremas, Kecamatan
Arjosari, kabupaten Pacitan. Sedangkan Pacitan adalah sebuah kota di tepi
pantai selatan yang terletak pada garis lintang selatan : 8' 3 – 8' 17 bujur
timur 11' 2 – 11' 28.
Dilihat dari segi jaraknya, yakni 135 Km dari kota Solo dan 70
Km dari kota Ponorogo, maka wajarlah kalau santri-santri yang berdatangan
dari daerah lain harus berjalan kaki karena belum adanya sarana transportasi.
Sedangkan desa Tremas terletak
pada 11 kilometer dari kota Pacitan ke utara dan1 kilometer dari kecamatan
Arjosari. Desa Tremas dipagari oleh bukit-bukit kecil yang melingkar dimana
sebelah utara dan sebelah timur desa Tremas mengalir sungai Grindulu yang
selalu membawa lumpur banjir di waktu musim penghujan. Oleh karenanya pondasi
rumah penduduk desa tersebut rata-rata sangat tinggi bila dibandingkan dengan
pondasi rumah penduduk di daerah yang bebas banjir.
Desa Tremas dibatasi oleh beberapa desa yaitu, sebelah utara
dibatasi oleh desa Gayuhan, sebelah timur dibatasi oleh desa Jatimalang,
sebelah selatan dibatasi oleh desa Arjosari dan di sebelah barat dibatasi
oleh desa Sedayu.Mata pencaharian penduduknya adalah bertani, yakni bercocok
tanam padi, kacang tanah, kelapa, pisang, sayur mayur dan sebagainya. Karena
Pacitan merupakan daerah yang minus dan tandus maka tidaklah aneh jika
masyarakatnya sedikit ketinggalan jika dibandingkan dengan masyarakat daerah
lain, khususnya dalam bidang ekonomi.Dengan uraian tersebut kita dapat
menggambarkan kehidupan rakyat di daerah itu, yang sedikit banyak dapat
mempengaruhi keadaan Pondok Tremas
Tremas berasal
dari dua kata yaitu Trem berasal
dari kata Patrem yang
berarti senjata atau keris kecil dan mas berasal dari kata emas yang berarti logam mulia yang biasa dipakai
untuk perhiasan kaum wanita.
Kata ini berkaitan erat dengan cerita tentang dibukanya sebuah
hutan yang akhirnya dinamakan Tremas, adapun yang pertama kali membuka hutan
tersebut adalah seorang punggawa keraton Surakarta yang bernama Ketok
Jenggot, atas perintah raja keraton Surakarta sebagai hadiah atas jasanya
yang telah berhasil mengamankan keraton dari mara bahaya.
Dikisahkan pada suatu hari, Raja Keraton Surakarta memerintahkan
kepada punggawanya yang bernama Ketok Jenggot untuk menjaga ketat
kerajaannya, karena raja bermimpi bahwa hari yang akan datang mau ada bencana
yang disebabkan datangnya seorang pencuri yang akan memasuki dan mengambil
senjata pusaka yang ada di tempat penyimpanan, maka disuruhnya Ketok Jenggot menjaga dan
mempertahankan dengan sebaik-baiknya.
Namun pada suatu hari datang seorang penyusup yang dengan
kecerdikannya dapat masuk dalam keraton, akan tetapi usaha penyusup tersebut
terlihat oleh Ketok Jenggot hingga terjadilah suatu perkelahian, setelah
menghabiskan berpuluh-puluh jurus, maka dengan kesaktiannya, Ketok Jenggot
berhasil memenangkan perkelaihan tersebut. Siapakah pencuri tersebut? tak
lain adalah sang raja sendiri dengan maksud ingin menguji sampai dimana
keperwiraan dan kesaktian Ketok Jengot.
Setelah kejadian itu, maka sang raja pun mengakui bahwa
punggawanya tersebut benar-benar patuh dan sakti. Sebagai tanda atas
kepatuhan dan kepahlawanannya itu maka sang raja memberikan hadiah kepada
Ketok Jenggot berupa senjata Patrem Emas dan memberi tugas untuk membuka
hutan di sebelah timur daerah Surakarta.
Demikianlah akhirnya setelah melalui perjuangan yang tidak
ringan, Ketok Jenggot berhasil membuka hutan di sebelah timur daerah
Surakarta, yang kemudian daerah tersebut bernama Tremas.
Perlu diketahui, bahwa sebelum Ketok Jenggot membuka hutan
Tremas, di daerah tersebut sudah ada sekelompok orang yang lebih dahulu
datang dan bermukim, yaitu R. Ngabehi Honggowijoyo (ayah Nyai Abdul Manan).
Maka dari itu setelah meminta ijin dan memberi keterangan tentang tugasnya,
barulah Ketok Jenggot mulai melaksanakan tugasnya dengan membuka sebagian
besar hutan di daerah tersebut. Setelah tugasnya selesai, senjata Patrem Emas
yang dibawanya itu ditanam ditempat beliau pertama kali membuka hutan tersebut,
dan akhirnya daerah yang baru dibukanya tersebut diberi nama “Tremas“.
Demikianlah sekilas cerita tentang asal mula nama Tremas yang
dikemudian hari digunakan untuk menyebut sebuah pesantren yang berdiri di
daerah tersebut, sedangkan Ketok Jenggot sendiri akhirnya bermukim disitu
sampai akhirhaya dan dimakamkan di daerah tersebut.
Babad Tremas – asal
muasal Berdiri Pesantren
Pada abad ke XV M. bumi nusantara ini di bawah naungan kerajaan
Majapahit, dan seluruh masyarakatnya masih memeluk agama Hindu atau Budha.
Begitu juga daerah Wengker selatan atau di sebut juga Pesisir selatan
(Pacitan) yang pada waktu itu daerah tersebut masih di kuasai seorang sakti
beragama Hindu yang bernama Ki Ageng Buwana Keling, yang di kenal sebagai
cikal bakal daerah Pacitan.
Menurut silsilah, asal usul Ki Ageng Buwana Keling adalah putra
Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama
putri Togati. Setelah menjadi menantu Majapahit maka KI Ageng Buwana Keling
mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan di haruskan tunduk di bawah
kekuasaan Majapahit. KI Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden
Purbengkoro yang setelah tua bernama Ki Ageng Bana Keling. Kegoncangan
masyarakat Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah
datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki
Ageng Petung (R. Jaka Deleg/Kyai Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring
Mas/KI Ampok Boyo) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta Ki
Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di wengker selatan untuk mengikuti
atau memeluk ajaran Islam.
Namun setelah Ki Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan
tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat
dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan
antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan
penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan
Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama, karena kedua belah
pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan
dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat
dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh
prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro
Katong (Putra Brawijaya V).
Dari saat itulah maka daerah Wengker selatan atau Pacitan dapat
dikuasai oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi,
sehingga dengan mudah dapat menyiarkan agama Islam secara menyeluruh kepada
rakyat hingga wafatnya, dan dimakamkan di daerah Pacitan.
Demikianlah dari tahun ke tahun sampai Bupati Jagakarya I
berkuasa (tahun 1826), perkembangan agama Islam di Pacitan maju dengan
pesatnya, bahkan tiga tahun kemudian putra dari Demang Semanten yang bernama
Bagus Darso kembali dari perantauannya mencari dan mendalami ilmu agama Islam
di pondok pesantren Tegalsari Ponorogo di bawah asuhan Kyai Hasan Besari.
Sekembalinya beliau dari pondok tersebut di bawah bimbingan ayahnya R.
Ngabehi Dipomenggolo mulai mendirikan pondok di desa Semanten (2 Km arah
utara kota Pacitan). setelah kurang lebih satu tahun kemudian pindah ke
daerah Tremas, maka dari saat itulah mulai berdiri Pondok Tremas.
Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa KH. Abdul Manan pada masa
kecilnya bernama Bagus Darso. Sejak kecil beliau sudah terkenal cerdas dan
sangat tertarik terhadap masalah-masalah keagamaan. Dalam masa remajanya
beliau dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tegalsari Ponorogo untuk
mempelajari dan memperdalam pengetahua agama Islam di bawah bimbingan Kyai
Hasan Besari. Selama disana Bagus Darso selalu belajar dengan rajin dan
tekun. Karena ketekunannya, kerajinannya serta kecerdasan yang dibawanya
semenjak kecil itulah maka kepandaian Bagus Darso didalam menguasai dan
memahami ilmu yang dipelajarinya melebihi kawan-kawan sebayanya, sehingga
tersebutlah sampai sekarang kisah-kisah tentang kelebihan beliau. Diantara
kisah tersebut adalah sebagai berikut :
Pada suatu malam yang dingin dimana waktu itu para santri Pondok
Tegalsari sedang tidur pulas, sebagaimana biasasnya Kyai Hasasn Besari keluar
untuk sekedar menjenguk anak-anak didiknya yang sedang tidur di asrama maupun
di serambi masjid. Pada waktu beliau memeriksa serambi masjid yang penuh
ditiduri oleh para santri itu, tiba-tiba pandangan kyai tertumbuk pada suatu
pemandangan aneh berupa cahaya yang bersinar, dalam hati beliau bertanya,
apakah gerangan cahaya aneh itu. Kalau cahaya kunang tentu tidak demikian,
apalagi cahaya api tentu tidak mungkin, sebab cahaya ini mempunyai kelainan.
kemudian dengan hati-hati, agar tidak sampai para santri yang sedang tidur, kyai
mendekati cahaya aneh itu. Makin dekat dengan cahaya aneh tersebut keheranan
kyai bertambah, sebab cahaya itu semakin menunjukkan tanda-tanda yang aneh.
Dan kemudian apa yang disaksikan kyai adalah suatu pemandangan yang sungguh
luar biasa, sebab cahaya itu keluar dari ubun-ubun salah satu santrinya.
Kemudian diperiksanya siapakah sesungguhnya santri yang mendapat anugerah
itu.Tetapi kegelapan malam dan pandangan mata yang sudah kabur terbawa usia
lanjut menyebabkan usaha beliau gagal. Namun Kyai Hasan Ali tidak kehilangan
akal, dengan hati-hati sekali ujung ikat kepala santri itu diikat sebagai
tanda untuk mengetahui besok pagi kalau hari sudah mulai terang. Esoknya
sehabis sembahyang Subuh, para santri yang tidur di serambi masjid disuruh
menghadap beliau. Setelah mereka menghadap, dipandangnya satu demi satu
santri tersebut dengan tidak lupa memperhatikan ikat kepala masing-masing.
Disinilah beliau mengetahui bahwa sinar aneh yang semalam keluar dari
ubun-ubun salah satu santrinya berasal dari salah satu santri muda pantai
selatan (Pacitan) yang tidak lain adalah Bagus Darso. Dan semenjak itu
perhatian Kyai Hasan Ali dalam mendidik Bagus Darso semakin bertambah, sebab
beliau merasa mendapat amanat untuk mendidik seorang anak yang kelak kemudian
hari akan menjadi pemuka dan pemimpin umat.
Demikianlah salah satu kisah KH. Abdul Manan pada waktu mudanya
di Pondok Tegalsari dalam cerita. Dan setelah Bagus Darso dianggap cukup ilmu
yang diperolehnya di Pondok Pesantren Tegalsari, beliau kembali pulang ke Semanten.
Di desa inilah beliau kemudian menyelenggarakan pengajian yang sudah barang
tentu bermula dengan sangat sederhana. Dan karena semenjak di Pondok
Tegalsari beliau sudah terkenal sebagai seorang santri yang tinggi ilmunya,
maka banyaklah orang Pacitan yang mengaji pada beliau. Dari sinilah kemudian
di sekitar masjid didirikan pondok untuk para santri yang datang dari jauh.
Namun beberapa waktu kemudian pondok tersebut pindah ke daerah Tremas setelah
oleh ayahnya beliau dikawinkan dengan Putri Demang Tremas R. Ngabehi
Hongggowijoyo. Sedang R. Ngabehi Honggowijoyo itu sendiri adalah kakak
kandung R. Ngabehi Dipomenggolo.
Diantara faktor yang menjadi penyebab perpindahan Kyai Abdul
Manan dari daerah Semanten ke desa Tremas, yang paling pokok adalah pertimbangan
kekeluargaan yang dianggap lebih baik beliu pindah ke daerah Tremas.
Pertimbangan tersebut antara adalah, karena mertua dan istri beliau
menyediakan daerah yang jauh dari keramaian atau pusat pemerintahan, sehingga
merupakan daerah yang sangat cocok bagi para santri yang ingin belajar dan
memperdalam ilmu agama.
Berdasarkan pertimbangan itulah maka beliau kemudian memutuskan
pindah dari Semanten ke daerah Tremas, dan mendirikan pondok pesantren yang
kemudian disebut “Pondok Tremas“. Demikianlah sedikit sejarah berdirinya
Pondok Tremas yang dipelopori oleh beliau KH. Abdul Manan pada tahun 1830 M
A. Babad Tremas - Periode
KH. Abdul Manan 1830-1862
Setelah Bagus Darso (nama kecil KH. Abdul Manan) menyelesaikan
pelajarannya di Pondok Tegalsari Ponorogo, beliau lantas mendirikan pondok di
daerah Semanten [2km arah utara kota Pacitan], Namun dikemudian hari pondok
tersebut akhirnya dipindah ke Tremas.
Usaha pertama kali yang dilakukan untuk membangun tempat
pengajian sudah barang tentu mendirikan sebuah masjid (terletak agak ke
sebelah timur dari masjid yang sekarang). Dan setelah santri-santri dari jauh
yang sebagian berasal dari bekas santri-santrinya di Semanten mulai
berdatangan, maka dibangunlah sebuah asrama pondok di sebelah selatan masjid.
Sudah barang tentu keadaan masjid dan asrama pondok pada waktu itu masih
sangat sederhana sekali, atapnya masih menggunakan daun ilalang dan kerangka
lainnya masih banyak yang menggunakan bahan dari bambu.
Perkembangan Pondok Tremas pada masa itu sumber dananya
diperoleh dari mertuanya, yaitu Demang Tremas Raden Ngabehi Honggowijoyo,
karena membangun pondok adalah memang merupakan tujuan utama dari Raden Ngabehi
Honggowijoyo untuk mengambil Bagus Darso sebagai menantu.
Adapun pengajian-pengajian pada awal berdirinya masih belum
banyak berbeda dengan pengajian pada masa pondok masih terletak di Semanten,
yang antara lain :
> Pasholatan
> Ilmu Taukhid
> Fiqh, Tafsir dan lain-lain
Jadi karena Pondok Tremas pada waktu itu masih dalam taraf
permulaan dan santrinya juga belum sebanyak pada periode sesudahnya, maka
kitab-kitab yang dipakainya juga masih dalam tingkatan dasar.
Demikianlah keadaan pembangunan Pondok Tremas pada masa periode
KH. Abdul Manan, hingga wafatnya pada hari Jum’at (minggu pertama) bulan
Syawal 1282 H. dan dimakamkan di desa Semanten. Beliau meninggalkan tujuh
orang putra, yang antara lain adalah KH. Abdulloh
B. Periode KH. Abdulloh 1862-1894
Sepeninggal KH. Abdul Manan, maka pengasuh atau pimpinan
digantikan oleh putranya yang bernama KH. Abdulloh. Pada masa kecilnya beliau
mendapatkan pelajaran dasar dari ayahnya sendiri di Pondok Tremas.
Setelah cukup dewasa KH. Abdullloh diajak oleh ayahnya pergi ke
Makkah Al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji, dan menetap di Makkah
untuk menuntut ilmu. Setelah beberapa tahun di Makkah beliau kembali ke
Tremas lagi, dan membantu ayahnya mengajar di Pondok Tremas.
Setelah Pondok Tremas mulai dikenal di daerah-daerah lain, dan
kealiman serta keluasan ilmu yang dimiliki beliau, maka mulailah terlihat
tanda-tanda bahwa Pondok Tremas yang dimulai dari ilalang dan bambu itu
dikemudian hari akan membesar menjadi sebuah pondok yang sangat membahagiakan
setiap orang yang mencintainya.
Demikianlah, dalam periode ini mulai berdatangan beberapa santri
yang berasal dari daerah lain, seperti Salatiga, Purworejo, Kediri dan
lain-lain. Pada waktu itu baik jalan Pacitan-Ponorogo maupun Pacitan-Solo
belum ada kendaraan, sehingga orang yang ingin memperdalam ilmu pengetahuan
agama Islam (mengaji) ke Pondok Tremas harus berjalan kaki dengan melewati
gunung-gunung dan hutan yang pada waktu itu masih cukup lebat.
Dapat dibayangkan betapa sukar dan beratnya perjalanan mereka
waktu itu. Namun demikian, karena didorong oleh suatu keyakinan yang membaja
bahwa perjalanan dalam rangka menuntut ilmu agama Islam adalah perjalanan
suci, dimana kematian pada jalan ini mempunyai nilai yang sama dengan
kematian jihad fisabilillah, maka keadaan alam Pacitan yang sangat berat itu
tidak akan pernah melemahkan tekad mereka untuk sampai ke tempat tujuan.
Seperti yang disebutkan dalam sebuah hadist yang artinya :
Abu Darda’ dan Abu Hurairah RA. Berkata, Rosululloh SAW.
Bersabda : “Sungguh satu bab (ilmu) yang dipelajari oleh seseorang itu lebih
kucintai daripada menjalankan sholat sunat seribu rakaat “. Kata mereka
selanjutnya : Rosululloh SAW. Bersabda : “ Apabila kematian merenggut seorang
pelajar yang sedang dalam keadaan menuntut ilmu, maka ia adalah mati syahid
“. (Riwayat Al-Bazaar dan Thabrani)
Demikianlah serentak dengan semakin bertambahnya santri-santri
dari daerah lain, maka kebutuhan akan tempatpun semakin mendesak dan terasa
sangat perlu dibangun asrama baru untuk tempat tinggal mereka. Untuk memenuhi
keperluan tersebut maka dibangunlah sebuah asrama di sebelah selatan jalan,
yang di masa KH. Dimyathi terkenal dengan nama “Pondok Wetan“. Demikan juga
dalam bidang pendidikan, pada masa KH. Abdulloh ini juga mengalami
perkembangan, hal itu disebabkan karena santri lama yang sudah menamatkan kitab-kitab
dasar perlu juga dilanjutkan, dan untuk itu harus dibacakan beberapa kitab
yang lebih tinggi. Sedang santri lama yang sudah cukup pandai dapat diserahi
membaca kitab-kitab dasar bagi santri baru, sementara kyai meneruskan membaca
kitab lanjutan untuk santri lama. Begitulah perkembangan Pondok Tremas baik
segi fisik maupun pendidikannya. Meskipun perkembangan pada masa KH. Abdulloh
ini tidak begitu menyolok bila dibandingkan dengan keadaan Pondok Tremas pada
masa KH. Abdul Manan, namun sepanjang KH. Abdulloh memimpin Pondok Tremas
telah berhasil meletakkan suatau batu landasan sebagai pangkal berpijak
kearah kemajuan dan kebesaran serta keharuman Pondok Tremas dikalangan pondok
pesantren khususnya dan pendidikan Islam umumnya.
Keberhasilan KH. Abdulloh dalam meletakkan batu landasan
tersebut adalah keberhasilan beliau dalam mendidik putra-putranya sehingga
menjadi ulama-ulama yang tidak saja menguasai kitab-kitab yang dibaca, tapi
lebih daripada itu juga telah berhasil menyusun berbagai macam kitab yang
bernilai dalam ilmu pengetahuan agama Islam, sehingga kemudian muncullah
sebutan “Attarmasie“ yang memperoleh tempat tersendiri dalam dunia ilmu
pengetahuan agama Islam di negara Arab.Barangkali karena pengalaman KH.
Abdulloh dalam menuntut ilmu di Makkah, sehingga kemudian putra laki-lakinya
semua dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu disana. Putra pertama yang
dikirim ke Makkah bersamaan musin haji adalah Muhammad Mahfudz. Setelah mukim
disana beliau menuntut ilmu dengan tekun dibawah asuhan guru utamanya yaitu
Syeikh Abu Bakar Syatha sehingga menjadi ulama besar yang mampu mendudukkan
dirinya sebagai salah seorang pengajar di Masjidil Haram.
Setelah beberapa tahun Syeikh Mahfudz dikirim ke Makkah, KH.
Abdulloh menunaikan ibadah Haji yang ketiga kalinya dengan mengikut sertakan
beberapa putranya yang lain, yaitu K. Dimyathi, K. Dahlan, K. Abdur Rozaq
dengan maksud agar setelah selesai ibadah Haji mereka akan ditinggalkan di
Makkah untuk menuntut ilmu dibawah bimbingan Syeikh Mahfudz dan beliau sendiri
akan kembali ke Tremas untuk mengajar santri-santrinya yang selama menunaikan
ibadah Haji ke Makkah, Pondok Tremas untuk sementara diserahkan kepada
menantunya yang bernama Kyai Muhammad Zaed (Suami Nyai Tirib/Nyai khotijah).
Namun apa boleh buat, rupanya Allah Swt. Menghendaki KH. Abdulloh kembali
kehadirat-Nya di tanah suci Makkah Almukarromah. Hingga wafatlah pada hari
senin malam selasa, 29 Sya’ban 1314 H.
Sepeninggal KH. Abdulloh, untuk beberapa lama Pondok Tremas
masih dipimpin oleh Kyai Muhammad Zaed, sementara menanti kedatangan KH.
Dimyathi yang kemudian akan meneruskan karya ayah dan kakeknya dalam mengabdi
kepada agamanya.
Sementara itu KH. Dahlan setelah kembali dari Makkah kemudian
dikawinkan dan diambil menantu oleh Kyai Shaleh Darat Semarang. Kemudian
mukim disana hingga wafatnya pada hari Ahad, 7 syawal 1329 H. Dan kemudian
dimakamkan di Bergota Semarang, dimana pusaranya berjejer dengan pusara Kyai
Saleh Darat Semarang.
Adapun putra-putra KH. Abdulloh lainnya, sebagaimana saudara-saudaranya
yang lain, mereka juga memiliki keistimewaan-keistimewaan tersendiri. Kalau
KH. Dimyathi termashur karena kesuksesannya dalam membina dan mememajukan
pondok, Maka KH. Muhammad Bakri teristemewa dangan Al-Qur’annya, dan KH.
Abdurrozaq mempunyai kekhususan dalam bidang thoriqoh, dimana beliau menjadi
seorang Mursyid yang mempunyai murid dimana-mana. Beliau wafat pada tanggal 3
April 1958, dan dimakamkan di Tremas
C. Periode KH. Dimyathie 1894-1834
Setelah kita ikuti perkembangan Pondok Tremas pada masa KH.
Abdulloh dan bagaimana beliau berhasil mendidik putra-putranya menjadi
ulama-ulama yang tangguh baik dalam ilmu maupun dalam amalnya, maka tibalah
kini pada masa dimana Pondok tremas dipimpin oleh beliau Hadrotus Syeikh KH.
Dimyathi. Suatu masa dimana Pondok Tremas telah mencatat perkembangan yang
pesat, baik perkembangan fisiknya maupun perkembangan pendidikannya. Dan pada
masa inilah Pondok Tremas berhasil melahirkan kader-kader ulama yang kemudian
mempunyai peranan besar dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Semenjak masa KH. Abdulloh Pondok Tremas sudah mulai dikenal di
daerah-daerah lain. Sehingga tahun kepopuleran dan kemashuran Pondok Tremas
semakin bertambah, lebih-lebih setelah kitab Syeikh Mahfudz seperti yang kami
sebutkan diatas mulai beredar di pulau Jawa dan di tanah Melayu dengan
istilah “Attarmasie“, maka makin banyaklah orang-orang dari daerah lain yang
berkeinginan kuat untuk untuk menuntut ilmu agama Islam di Pondok Tremas.
Dengan datangnya para santri yang semakin banyak maka timbullah
kebutuhan tentang dibangunnnya asrama-asrama baru. Tetapi kali ini masalahnya
tidak akan selesai begitu saja dengan dibangunnya asrama tersebut, sebab
masalah lain yang berhubungan dengan suasana tata bangunan pondok harus
dipikirkan pula, sehingga pembangunan asrama tersebut tidak akan mengganggu
dan membawa akibat ketidakteraturan suasana. Berdasarkan pertimbangan inilah
maka KH. Dimyathi kemudian mengambil kebijaksanaan untuk memindahkan masjid
yang sejak masa KH. Abdul Manan terletak disebelah timur dari masjid sekarang
ketengah-tengah pekarangan.
Demikianlah perkembangan pembangunan pondok yang disebabkan
makin bertambahnya santri, hingga pada waktu itu jumlah santri hampir
mendekati 2000 orang. Seluruh tanah milik kyai hampir semuanya sudah
didirikan bangunan-bangunan untuk asrama, baik disebelah selatan jalan,
maupun disebelah utara jalan. Masing-masing asrama didirikan dan ditempati
oleh santri-santri yang berasal dari satu daerah, oleh karenanya nama-nama
pondok atau asrama pada masa itu tergantung dari santri yang bertempat di
asrama tersebut, misalnya pondok Cirebon, pondok Pasuruan, pondok Tegal,
pondok Solo, pondok Ngawi, pondok Malaysia, pondok Singapura dan sebagainya.
Disamping itu karena perkembangan pendidikan ilmiah juga semakin
pesat, maka pada masa kepemimpinan KH. Dimyathi ini pula didirikan sebuah
gedung yang digunakan untuk madrasah. Hingga perkembangan ilmiah pada masa
KH. Dimyathi ini sangat menyolok bila dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Pada tahun-tahun permulaan pengajian-pengajian masih ditangani langsung oleh
kyai sendiri, tetapi setelah usia kyai bertambah lanjut maka ada beberapa
kitab yang diserahkan kepada beberapa orang santri yang oleh KH. Dimyathi
dianggap sudah mampu untuk membaca kitab dan menerangkan atau menjelaskan
kepada santri yang lain.
Diantara kitab-kitab yang dibaca pada waktu itu banyak mengalami
penambahan-penambahan, diantaranya adalah;
فتح المعين
تعليم المتعلم
احياء علوم الدين
تفسير الجلالين
الفية ابن مالك
منهاج القويم
صحيح البخارى
صحيح مسلم
Semua kitab-kitab itu diajarkan menurut sistem pengajian yang
biasa berlaku di pondok pesantren pada umumnya, misalnya dipakai sebagai
kitab pengajian wetonan dan juga sebagai kitab sorogan.
Kemudian pada tahun 1928 M. beberapa santri yang mempunyai
pengalaman belajar dibeberapa daerah mengajukan gagasan untuk mengadakan
sistem pendidikan madrasah (klasikal), disamping pengajian-pengajian yang
sudah berjalan. Rupanya terhadap gagasan tersebut kyai tidak menaruh
keberatan apa-apa bahkan merestui, maka dalam tahun itu pula didirikanlah
sebuah madrasah yang bernama madrasah Ibtidaiyyah. Murid pertama madrasah ini
sebanyak 30 ( tiga puluh ) anak. Namun jika dibandingkan jumlah para santri
yang hampir mencapai 2000 orang maka jumlah 30 orang siswa ini menunjukkan
bahwa minat para santri terhadap sistem pengajaran semacam ini masih sangat
kurang sekali. Dan memang demikianlah kenyataanya, sebab bagi mereka yang
sudah terbiasa mengaji dengan tidak pernah terkena kewajiban menghafal,
tamrinan dan lain sebagainya, maka sistem madrasah ini tidak menarik sama
sekali. Oleh karena itu tidak mengherankan bila madrasah Ibtidaiyah itu
kemudian hanya berumur beberapa bulan saja.
Namun demikian usaha-usaha untuk mengadakan perkembangan
pendidikan dengan sistem madrasah itu tidak pernah berhenti. Sehingga
akhirnya pada tahun 1932 M. dengan dipelopori oleh beliau Kyai Hamid Dimyathi
didirikanlah sebuah madrasah yang bernama madrasah Salafiyah. Pada mulanya
madrasah tersebut hanya diperuntukkan bagi anak-anak desa sekitar (
masyarakat ), tetapi setelah Kyai Hamid Dimyathi menggantikan ayahnya menjadi
kyai, maka madrasah tersebut dibuka pula untuk anak-anak pondok.
Demikianlah perkembangan fisik maupun perkembangan ilmiyah
Pondok Tremas di masa KH. Dimyathi, sehingga dapat dikatakan bahwa pada masa
itulah kejayaan Pondok Tremas. Dan karena kemajuan, kebesaran serta
keharumannya, maka tidak mengherankan bila para alumni dari periode ini
banyak yang menjadi tokoh-tokoh yang dapat diandalkan dalam bidangnya
masing-masing.
Namun sebelum kita menginjak pada periode selanjutnya, terlebih
dahulu akan penyusun sampaikan tentang beberapa hal sekitar kepribadian
beliau Hadrotus Syeikh KH. Dimyathi.
Beliau dikenal oleh santri-santrinya sebagai orang yang sangat
alim dan tinggi ilmunya, sholeh dan tawadlu’ dalam tingkah lakunya, sabar
dalam sikapnya dan sederhana dalam segala-galanya. Beberapa pihak yang dekat
dengan kehidupan pribadi beliau menerangkan bahwa KH. Dimyathi tidak pernah
menunjukkan kemarahan pada wajah lahiriyahnya, sampai-sampai terhadap seorang
santri yang berbuat kesalahan besar dan diputuskan dipulangkan umpamanya,
maka dengan nada datar beliau berkata penuh tawadlu’. “ Barangkali yang
paling maslahat bagi saudara seyogyanya pulang terlebih dahulu “. dan
pulanglah sang santri dengan penyesalan yang dalam. Namun demikian, sikap
beliau yang agung tersebut tidak pernah mengurangi ketaatan dan keseganan
para santri terhadap pribadi beliau. Dan kebesaran pribadi serta wibawa
beliau makin tampak apabila beliau sedang mengajar.
Di tengah-tengah para santri yang memenuhi serambi masjid, dalam
suasana yang hening, dengan nada yang pasti dan meyakinkan beliau membaca
kitab yang diajarkan baris demi baris, yang kadang-kadang disana-sini
diselingi dengan humor yang cukup segar, sementara para santri mendengarkan
dengan penuh perhatian. Sehingga sering diceritakan bahwa santri yang paling
bodoh sekalipun akan dapat memahami dengan baik, sedang para santri yang
cerdas akan dapat menghafalkan dengan mudah sesudah pengajian selesai
D. Periode KH. Hamid
1834-1848
Pada masa kecilnya beliau belajar pengetahuan agama Islam di
Pondok Tremas, dan kemudian setelah usia remaja melanjutkan pendidikan di
Pondok Lasem dibawah bimbingan Al-Mukarrom KH. Ali Ma’sum. Kemudian setelah
beberapa tahun di Lasem beliau kembali ke Tremas serta , membantu ayahnya KH.
Dimyathi dalam membangun dan membina Pondok Tremas.
Dalam masa kepemimpinan Kyai Hamid Dimyathi ini, apa yang
terjadi di Pondok Tremas terbagi menjadi dua fase, yaitu
:: Fase Kemajuan
Tahun-tahun pertama dari masa Kyai Hamid Dimyathi adalah tahun
paling jaya, yang merupakan jaman keemasan bagi Pondok Tremas baik dari segi
fisik maupun perkembangan pendidikan dan pengajarannya. Jadi disamping
dasar-dasar kemajuan yang memang sudah dilakukan pada masa KH. Dimyathi
dilakukan juga beberapa usaha yang merupakan penyempurnaan dari usaha usaha
sebelumnya
Usaha-usaha tersebut antara lain :
1. Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan
di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai
sebagai tempat pengajian
2. Organisasi pondok diadakan penyempurnaan, baik dalam usaha
keuangan, tata usaha administrasi maupun personalianya
3. Penertiban pengajian, yaitu pengajian-pengajian yang diadakan
di kamar-kamar ditiadakan, dan sebagai gantinya beberapa asrama dipakai
sebagai tempat pengajian
4. Penambahan macam-macam pengajian, yakni pengajian-pengajian
yang sudah ada sebelumnya, ditambah dengan beberapa macam pengajian dengan
memakai kitab-kitab yang ada pada masa KH.Dimyathi belum pernah dibaca,
antara lain :
اتمام الدراية
الحكمة فى مخلوقات الله
الحكمة فى مخلوقات الله
ميزان العمل
كلمة السعادة
5. Pembukaan madrasah Salafiyah untuk para santri yang bertempat
tinggal di asrama atau di pondok. Dan memasukkan beberapa mata pelajaraan
umum pada madrasah salafiyah tersebut, yaitu :
Bahasa Indonesia
Sejarah Bumi
Ilmu Bumi
Berhitung, dll
6. Membuka perpustakaan, yang bertujuan untuk memenuhi minat
baca dan sebagai pendukung belajar para santri. Jadi bagi suatu lembaga
pendidikan seperti Pondok Tremas, perpustakaan yang didirikan oleh Kyai Hamid
Dimyathi pada tahun 1935 M. tersebut termasuk cukup lengkap. Didalamnya terdapat
berbagai macam kitab yang meliputi fiqih, adab, tarikh, hadits dan
sebagainya. Kemudian disamping kitab-kitab tersebut, dilengkapi juga dengan
majalah-majalah baik yang terbitan dalam negeri juga yang terbitan luar
negeri, misalnya:
> Majalah Penyebar Semangat dari Surabaya
> Majalah Anshor dari Mesir
> Majalah Al-Fata dari Mesir, dsb
E. Fase Kemunduran
Kemunduran disini disebabkan karena pecahnya perang dunia II,
tentara Dai Nippon (Jepang) mendarat di pulau Jawa dalam rangka ekspansinya
untuk menguasai Asia Timur Raya.
Dalam keadaan yang tidak menentu itu sangat berpengaruh terhadap
kegiatan belajar serta keamanan para santri yang bertempat di Pondok Tremas.
Sehingga akibatnya banyak santri Pondok Tremas yang pulang ke kampung
halamannya masing-masing, dan keadaan tersebut mengakibatkan juga berhentinya
kegiatan belajar mengajar para santri, akhirnya pondok menjadi sepi.
Namun demikian terdapat juga sebagian kecil santri yang tidak
meninggalkan pondok karena disebabkan oleh beberapa hal, misalnya belum dapat
biaya pulang padahal rumahnya sangat jauh dan menyeberangi lautan, dan
sebagainya.
Untuk lebih jelasnya, mengenai fase kemunduran tersebut akan
kami bagi dalam beberapa sebab, yaitu :
:: Jepang mendarat di
pulau Jawa
Kedatangan Jepang ke jawa benar-benar telah membawa penderitaan
bagi rakyat Indonesia. Penderitaan fisik, mental keyakinan, politik,
kebudaayaan, ekonomi, pendidikan dan keselamatan setiap orang. Mereka telah
merampok kekayaan tanah air, menghancurkan kebudayaan serta adat-istiadat,
dan menyebarkan rasa takut serta gelisah dikalangan penduduk. Oleh sebab itu
orang tidak sempat berfikir, apalagi berangan-angan tentang politik dan nasib
hari depan, karena masing-masing orang telah menghadapi kemungkinan yang
paling mendesak.
Akibat buruk yang ditimbulkan oleh tentara Dai Nippon itu juga
menimpa terhadap para santri maupun pengasuh Pondok Tremas itu sendiri. Oleh
sebab itu maka banyaklah para santri yang pulang ke kampungnya masing-masing
kecuali bagi mereka yang tidak dapat pulang karena sesuatu hal. Dan sejak
itulah Pondok Tremas mengalami masa kemunduruan.
Kemunduran Pondok Tremas tersebut belum sempat dibenahi sudah
disusul oleh peristiwa meletusnya pemberontakan PKI-Muso di Madiun. Sebuah
kasus yang lebih dikenal dengan nama “ Affair Madiun “ pada tahun 1948. Suatu
peristiwa dimana kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis jadi korban.
Dan peristiwa tersebut sangat merugikan terhadap perkembangan Pondok Tremas,
bahkan sampai pada masa fakumnya
:: Pembrontakan PKI di
Madiun
Dalam suasana perjuangan yang semakin memuncak pada tahun 1945,
Kyai Hamid Dimyathi ikut menerjunkan diri dalam kancah perjuangan. Beliau
masuk menjadi anggota KNIP ( Komite Nasional Indonesia Pusat ), dan kemudian
beliau masuk menjadi aktifis partai politik Islam Masyumi, ( satu-satunya
partai Islam pada waktu itu ). Dalam kedudukannya itu maka akibatnya beliau
jarang berada di pondok, sampai akhirnya meletus pemberontakan PKI di Madiun
pada tahun 1948.
Pemberontakan diawali dari kota Madiun dan kota Solo, maka kota
Pacitan yang juga termasuk wilayah karesidenan Madiun juga bergolak. Maka
kaum agama yang menjadi lawan utama kaum atheis menjadi korban. Dan dalam
pemberontakan PKI di Madiun (Affair Madiun) itu korban yang paling banyak
jatuh adalah dari pihak Islam, yang memang bahu-membahu dengan TNI menumpas
pemberontakan itu.
Akibat pemberontakan PKI di Madiun tersebut bagi Pondok Tremas
tercatat sebagai hari berkabung. Karena pada waktu itu Pondok Tremas juga
termasuk salah satu sasaran tentara tentara PKI-Muso yang mengganas, membabi
buta dan menghancurkan apa saja yang mereka kehendaki, sehinga keamanan
Pondok Tremas menjadi semakin terancam. Dan situasi yang tidak menentu
tersebut menyebabkan para santri banyak yang pulang ke rumah masing-masing.
Bahkan pernah suatu waktu Kyai Hamid Dimyathi di panggil
langsung oleh Bung Tomo ke Surabaya dalam rangka mengobarkan semangat
perjuangan para ulama dan kyai. Tapi karena kesibukan Kyai Hamid Dimyathi di
daerah Pacitan sendiri sebagai pimpinan partai Masyumi dan sebagai Kepala
Penghulu, maka beliau berhalangan hadir, dan disuruhlah Bapak Mursyid (kakak
ipar beliau) sebagai penggantinya berangkat ke Surabaya. Sebagai pimpinan
partai Masyumi dan sebagai Kepala Penghulu beliau merasa bahwa keadaan dan
keamanan di Pacitan sudah sangat kritis, maka beliau kemudian berusaha
mengadakan hubungan ke Yogyakarta untuk memberi laporan kepada pemerintah
pusat. Namun dalam penyamarannya melakukan perjalanan ke Yogyakarta
bersama-sama dengan Pak Joko, Pak Abu Naim, Pak Yusuf, Pak Qosyim (kakak dan
adik ipar) dan Pak Soimun (pendereknya) serta pengikut-pengikutnya yang semua
berjumlah 15 orang, di tengah perjalanan sewaktu beristirahat di sebuah
warung di daerah Pracimantoro, beliau dan rombongannya dicurigai dan
ditangkap oleh gerombolan PKI yang memang sudah menguasai daerah itu.
Setelah beberapa waktu ditahan di Baturetno maka dibawalah Kyai
Hamid Dimyathi beserta rombongannya itu ke daerah Tirtomoyo dan dibunuhlah
disana dengan dimasukkan begitu saja dalam suatu lobang bersama-sama dengan
13 syuhada’ lainnya (kecuali Pak Soimun pendereknya yang tidak dibunuh). Inna
lillaahi wainna ilai roji’un.
Menurut persaksian Pak Soimun, diceritakan bahwa setelah
beberapa bulan kemudian ( setelah keadaan aman ), diadakan penggalian
terhadap para syuhada’ dan pejuang termasuk diantaranya penggalian terhadap
jenazah rombongan Kyai Hamid Dimyathi yang berjumlah 14 orang tersebut. Namun
setelah lobang itu digali kembali maka jumlah jenazah yang sudah mulai rusak
tersebut tinggal 13 orang, dan karena keadaannya sudah rusak maka tidak dapat
dikenali lagi satu persatu dan yang manakah jenazah Kyai Hamid Dimyathi. Dan
akhirnya ke 13 jenazah tersebut dibawa ke makam pahlawan di Jurug Surakarta,
dan sampai sekarang belum diketahui dimana makam beliau. Wallaahu A’lam.
Sejak meningalnya Kyai Hamid Dimyathi (tahun 1948), maka Pondok
Tremas tersebut mengalami masa kevakuman sampai tahun 1952. Bangunan pondok
yang beberapa tahun sebelumnya masih ramai dihuni oleh para santri kini
menjadi kosong, serta banyak yang sudah mulai rusak. Dan para santrinya
banyak yang kembali kembali ke kampungnya masing-masing. Alasan pulangnya
para santri tersebut disamping adanya suasana politik yang kurang
memungkinkan untuk tinggal di pondok duga disebabkan oleh karena kekosongan
pemimpin (kyai), karena pengaruh kyai terhadap para santri sangat besar sehingga
kyai dianggap sebagai sumber pemberi ilmu dunia dan akherat, dan juga sebagai
seseorang yang paling harus ditaati.
Kemunduran yang sedemikian parahnya itu belum sempat dibenahi
sudah disusul dengan bencana yang lain, yaitu datangnya kembali Belanda ke
Indonesia (Agresi Belanda II) pada tahun 1948
:: Datangnya kembali
Belanda ke Indonesia
Seperti diuraikan diatas, bahwa penyebab ketiga kemunduran
Pondok Tremas tersebut disebabkan oleh kedatangan kembali Belanda ke
Indonesia (Agresi Belanda II). Agresi militer tersebut ialah aksi Belanda
menyerbu wilayah Republik Indonesia yang kedua kalinya, setelah wakil tinggi
mahkota Belanda (Dr. Beel) menyatakan tidak terikat lagi oleh persetujuan
Renville pada tanggal 18 Desember 1948.
Tanggal 19 Desember 1948 Lapangan Maguwo Yogyakarta diserang
oleh Belanda dan berhasil diduduki. Penyerbuan juga terjadi di kota-kota
lain. Panglima Besar Jendral Sudirman bersama-sama para pemuda menyusun
kekuatan dan melaksanakan strategi perang gerilya dimana-mana.
Oleh karena Pacitan termasuk salah satu kota yang menjadi
sasaran serbuan tentara Belanda pada waktu itu, maka ketika diketahui bahwa
kota Pacitan akan diserbu oleh tentara Belanda dari laut maka Pacitan dalam
keadaan darurat, dan kabupaten Pacitan dipindah ke Arjosari, (sekarang
kecamatan). Dan atas ijin sesepuh pondok, maka bupati Pacitan memutuskan untuk
memindahkan sebagian lembaga pemasyarakatan ke Pondok Tremas yang sudah
hampir tidak ada penghuninya, jadi selain digunakan sebagai lembaga
pemasyarakatan Pondok Tremas juga digunakan untuk menampung orang-orang yang
terlantar akibat penjajahan Jepang.
Kiranya tidaklah mengherankan apabila dalam keadaan yang tidak
memungkinkan itu para santrinya pulang ke kampung masing-masing. Jadi sejak
itulah maka Pondok Tremas sudah hampir tidak ada santrinya lagi kecuali hanya
beberapa orang santri daari daerah sekitar dasn para santri yang tidak pulang
karena hal lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa mulai tahun itu Pondok Tremas
dalam keadaan vakum sama sekali, sampai akhirnya pada tahun 1952 Kyai Habib
Dimyathi (adik Kyai Hamid Dimyathi) kembali dari Pondok Pesantren Krapyak
Yogyakarta mengganti kakaknya membina dan membangkitkan kembali Pondok Tremas
yang sudah hampir lima tahun dalam keadaan tidak aktif lagi
F. Masa Kebangkitan
Seperti telah diuraikan pada bab terdahulu bahwa Pondok Tremas
telah berdiri sejak tahun 1830. Dalam perkembangannya pondok tersebut banyak
mengalami kemajuan, dan puncak kemajuan itu terlihat pada masa kepemimpinan
KH. Dimyathi dan Kyai Hamid Dimyathi. Mendekati berakhirnya masa kepemimpinan
Kyai Hamid Dimyathi Pondok Tremas berangsur-angsur mengalami kemunduran.
Adapun puncak kemunduran tersebut mulai nampak sejak meninggalnya Kyai Hamid
Dimyathi, hingga Pondok Tremas mengalami masa vakum
Sedangkah tokoh-tokoh kebangkitan kembaki Pondok Tremas adalah:
:: KH. Habib Dimyathie
Beliau dilahirkan pada tahun 1923 M. Pada masa kecilnya beliau
belajar dasar-dasar pengetahuan agama Islam di Pondok Tremas sendiri. Dan
kemudian melanjutkan ke Pondok Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum.
Setelah satu tahun lebih sedikit beliau belajar di pondok tersebut, kemudian
kembali lagi ke Tremas. Pada tahun 1937 beliau melanjutkan belajarnya ke
Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta selama dua tahun lebih sedikit dibawah
asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim. Dan dari madrasah Salafiyah tersebut beliau
kembali lagi pulang ke Tremas. Setelah beberapa waktu di Tremas kemudian
melanjutkan belajarnya ke Pondok Popongan dibawah asuhan KH. Mansyur, lantas
melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan KH.
Hasyim Asy’ari sampai kemerdekaan tahun 1945. Sepulangnya dari Tebuireng lalu
melanjutkan lagi ke Pondok Pesasntren Krapyak Yogyakarta, dan seterusnya ke
Pondok Pesantren Sumolangu Kebumen dibawah asuhan KH. Thoifur Abdurrohman.
Selama di Yogyakarta beliau masuk menjadi anggota tentara pejuang Hizbulloh
dan menjadi anggota BPRI (Barisan Pemberontak Republik Indonesia) pimpinan
Bung Tomo, berjuang melawan penjajah di Ambarawa dan bermarkas di Magelang.
Pada awal tahun 1948 beliau pulang ke Tremas, tetapi karena pada
waktu itu masih dalam situasi yang serba kacau akibat pemberontakan PKI (Affair Madiun), maka beliau bersama
pamannya, KH. Abdurrozaq dan kawan-kawannya ditahan oleh PKI di Pacitan.Namun
berkat datangnya bantuan tentara Siliwangi ke daerah Pacitan akhirnya
beliau-beliau dapat diselamatkan dari rencana pembunuhan oleh PKI.
Setelah beberapa bulan di Tremas beliau meneruskan lagi ke
Pondok Pesantren Krapyak, sampai akhir tahun 1952 beliau dipanggil pulang ke
Tremas untuk menggantikan kakaknya, Kyai Hamid Dimyathi yang terbunuh akibat
terjadinya affair Madiun 1948
:: KH. Haris Dimyathie
Beliau lahir pada tahun 1932 M. Pada masa kecilnya beliau
belajar di Pondok Tremas dibawah asuhan para sesepuh pondok. Kemudian pada
tahun 1939 melanjutkan belajarnya ke Madrasah Salafiyah Kauman Surakarta
dibawah asuhan KH. Dimyathi Abdul Karim sampai kurang lebih tahun 1942 M. Dan
semasa pemerintahan penjajah Jepang beliau kembali ke Tremas sampai tahun
1945. Dan kemudian melanjutkan lagi ke Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak
Yogyakarta dibawah asuhan KH. Ali Ma’sum.
Tetapi karena situasi kritis yang meliputi Yogyakarta pada waktu
itu beliau ikut mengungsi ke daerah Kedung Banteng (masih termasuk wilayah
Yogyakarta ) bersama-sama dengan Bapak Mukti Ali (eks menteri agama RI),
Burhanuddin Harahap dan tokoh-tokoh pejuang lain. Di tempat pengungsian yang
cukup lama itu Bapak Mukti Ali dan lainnya berhasil mendirikan sebuah
madrasah, dimana untuk beberapa lama KH. Haris Dimyathi ikut menjadi murid,
dan kemudian menjadi ustadz sampai kurang lebih tahun 1952. Hingga beberapa
waktu kemudian beliau mengikuti jejak kakaknya kembali ke Tremas untuk
membina dan membangun kembali Pondok Tremas.
Pada tahun 1945 Bapak Darul Khoiri bin Abdurrozaq ( nama
panggilan pak Ndari ) yang selama kevakuman Pondok tremas menjadi pimpinan
Madrasah Salafiyah menyerahkan kepemimpinannya kepada KH. Haris Dimyathi
Perlu diketahui bahwa KH Haris Dimyathi ini pernah menjadi
menantunya pendiri organisasi Nahdlatul 'Ulama, saat meningkah dengan Nyai
Fatimah binti KH. Hasyim Asy'ari dari Tebuireng, namun sayang pernikahan itu
tidak berlangsung lama
:: KH. Hasyim Ikhsan
Beliau dilahirkan pada bulan Juli 1912 M. Semasa kecilnya
belajar di Tremas sendiri dibawah asuhan para sesepuh, antara lain mBah Nyai
Abdulloh serta pada KH. Dimyathi. Pada tahun 1928 meneruskan belajarnya di
Pondok Pesantren Al Hidayah Lasem dibawah asuhan KH. Ma’sum bersama-sama
dengan Kyai Hamid Dimyathi.
Setelah beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Tremas dan
diminta membantu mengajar di Pondok Tremas, tetapi satu tahun kemudian beliau
meneruskan belajarnya ke Pondok Lasem lagi dibawah asuhan Kyai Kholil, hingga
pada tahun 1934 kembali ke Tremas dan mengajar bersama-sama ustadz lain.
Pada tahun 1948 sampai 1950 beliau menjadi penerangan Agama
Islam di Tegalombo, selanjutnya dipindah ke daerah Arjosari. Dan akhirnya
mengajar kembali di Pondok Tremas
G. Keadaan Kini
Setelah KH. Habib Dimyathi wafat pada tahun 1998, model
kepemimpinan Perguruan Islam Pondok Tremas masih seperti periode-periode
sebelumnya, yaitu membagi tugas dengan beberapa putra masyayih yaitu KH. Fuad
Habib Dimyathi "Gus Fuad" (putra KH. Habib Dimyathi) sebagai Ketua
Umum Perguruan Islam Pondok Tremas, KH. Luqman Hakim "Gus Luqman"
(putra KH. Haris Dimyathi) sebagai Ketua Majelis Ma'arif dan KH. Mahrus
Hasyim "Gus Mahrus" (putra KH. Hasyim Ihsan) yang menangani bidang
sosial kemasyarakatan.
Gus Fuad dan Gus Luqman yang relatif masih muda punya semangat
dan keberanian dalam menggunakan prinsip "al Muhafadloh alal Qodimis sholih wal Akhdzu bil Jadidil Ashlah".
Pertama yang dibenahi adalah sarana fisik berupa renovasi Masjid Pondok
Tremas yang juga milik masyarakat desa Tremas. Masjid ini direncanakan
terdiri dari dua lantai dan terbagi dalam beberapa ruang, antara lain ruang
Utama, ruang Sekretariat Pondok Putra, Perpustakaan, Bahtsul Masail,
Tahfidzul Qur'an dan ruang Pengajian. masjid ini sengaja dibangun
multifungsi, karena masjid merupakan sentral dari semua kegiatan yang ada di
Pondok Tremas. Dibangunnya Madrasah Depan Masjid, Asrama Putri V (Astri Lima)
dan pavingisasi adalah proyek renovasi lainnya yang diselelnggarakan bersama
pembangunan masjid.
Selain pembangunan fisik, pembenahan kurikulum dan peningkatan
kualitas santri dalam memahami hukum Islam juga mendapat prioritas dalam
periode ini guna mewujudkan motto Pondok Tremas, yaitu : ”Mencetak Insan Benar Yang Pintar"
|
0 Post a Comment:
Posting Komentar