Minggu, Juli 31, 2011

Pondok Pesantren Al Amien Prenduan


PDFCetak
Rabu, 15 April 2009
Image

Selayang Pandang
AL-AMIEN PRENDUAN merupakan salah satu Pondok Pesantren di pulau madura. Berpusat di desa Prenduan, Kecamatan Pragaan Kabupaten Sumenep. Desa Prenduan sendiri merupakan desa yang terletak di pinggiran jalan poros propinsi yang menguhubungkan Kabupaten Pamekasan dan Sumenep. Desa Prenduan merupakan desa di pesisir selatan pulau madura, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Sumenep dan 22 km sebelah timur kota Pamekasan.

Saat ini Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN menempati lahan seluas 25 ha yang menyebar di beberapa lokasi di Desa Pragaan Laok dan Desa Prenduan. Di masa-masa yang akan datang, besar harapan seluruh keluarga besar Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN akan berdiri cabang-cabang baru di daerah-daerah lain yang membutuhkan dan memungkinkan.

AL-AMIEN PRENDUAN sendiri merupakan lembaga yang berbentuk dan berjiwa pondok pesantren yang bergerak dalam lapangan pendidikan, dakwa, kaderisasi dan ekonomi sekaligus pula menjadi pusat studi Islam. Dengan mengembangkan sistem-sistem yang inovatif, tapi tetap berakar pada budaya as-Salaf as-Sholeh. Pondok Pesantren ini merupakan lembaga yang independen dan netral, tidak berafiliasi kepada salah satu golongan atau partai politik apapun. Seluruh aset dan kekeyaan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN telah diwakafkan kepada ummat Islam dan dikelola secara kolektif oleh sebuah Badan Wakaf yang disebut Majlis Kyai. Untuk melaksanakan tugas sehari-hari, Majlis Kyai mendirikan sebuah yayasan yang memiliki badan hukum dan telah terdaftar secara resmi di kantor Pengadilan Negeri Sumenep.

Sejarah Berdiri
Sejarah berdiirinya, pondok pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan agama Islam di Prenduan itu sendiri. Karena Kiai Chotib (kakek para pengasuh sekarang) yang memulai usaha pembangunan lembaga pendidikan Islam di Prenduan, juga merupakan Kiai mengembangkan Islam di Prenduan. Usaha Pembangunan lembaga ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari usaha adik ipar beliau, Kyai Syarqowi yang hijrah ke Guluk-guluk setelah kurang lebih 14 tahun membina masyrakat Prenduan dalam rangka memenuhi amanat sahabatnya, Kyai Gemma yang wafat di Mekkah.

Sebelum meninggalkan Prenduan untuk hijrah ke Guluk-guluk, Kiai Syarqowi meminta Kiai Chotib untuk menggantikannya membimbing masyarakat Prenduan, setelah sebelumnya menikahkan beliau dengan salah seorang putri asli Prenduan yang bernama Aisyah, atau yang lebih dikenal kemudian dengan Nyai Robbani. Dengan senang hati Kiai Chotib menerima amanah tersebut.

Beberapa tahun kemudian, sekitar awal abad ke-20, Kyai Chotib mulai merintis pesantren dengan mendirikan Langgar kecil yang dikenal dengan Congkop. Pesantren Congkop, begitulah masyarakat mengenal lembaga pendidikan ini, karena bangunan yang berdiri pertama kali di pesantren ini adalah bangunan berbentuk Congkop (bangunan persegi semacam Joglo). Bangunan ini berdiri di lahan gersang nan labil dan sempit yang dikelilingi oleh tanah pekuburan dan semak belukar, kurang lebih 200 meter dari langgar yang didirikan oleh Kyai Syarqowi.

Sejak saat itu, nama congkop sudah menjadi dendang lagu lama pemuda-pemuda prenduan dan sekitarnya yang haus akan ilmu pengetahuan. Ngaji di Congkop, mondok di Congkop, nyantri di Congkop, dan beberapa istilah lainnya. Dari congkop inilah sebenarnya cikal bakal Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang ada sekarang ini dan kyai Chotib sendiri ditetapkan sebagai perintisnya.

Tapi sayang sebelum congkop menjadi besar seperti yang beliau idam-idamkan, kiai Chotib harus meninggalkan pesantren dan para santri-santri yang beliau cintai untuk selama-lamanya. Pada hari sabtu, tanggal 7 Jumadil Akhir 1349/2 Agustus 1930 beliau berpulang ke haribaan-Nya. Sementara putra-putri beliau yang berjumlah 8 orang sebagian besar telah meninggalkan Congkop untuk ikut suami atau membina umat di desa lain. Dan sebagian lagi masih belajar di berbagai pesantren besar maupun di Mekkah. Sejak itulah cahaya Congkop semakin redup karena regenerasi yang terlambat. Walaupun begitu masih ada kegaitan pengajian yang dibina oleh Nyai Ramna selama beberapa tahun kemudian.

Periode Pembangunan Ulang
Setelah meredup dengan kepergian kyai Chotib, kegiatan pendidikan Islam di Prenduan kembali menggeliat dengan kembalinya kyai Djauhari (putra ke tujuh kyai Chotib) dari Mekkah setelah sekian tahun mengaji dan menuntut ilmu kepada Ulama-ulama Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Beliau kembali bersama istri tercinta Nyai Maryam yang merupakan putri salah seorang Syeikh di Makkah Al-Mukarromah.

Sekembali dari Mekkah, KH. Djauhari tidak langsung membuka kembali pesantren untuk melanjutkan rintisan almarhum ayah beliau. Beliau melihat masyarakat Prenduan yang pernah dibinanya sebelum berangkat ke Mekkah perlu ditangani dan dibina lebih dahulu karena terpecah belah akibat masalah-masalah khilafiyah yang timbul dan berkembang di tengah-tengah mereka.

Setelah masyarakat Prenduan bersatu kembali, barulah beliau membangun madrasah yang baru yang lebih teratur dan terorganisir. Madrasah baru tersebut diberi namaMathlabul Ulum atau Tempat Mencari Ilmu. Madrasah ini terus berkembang dari waktu-waktu termasuk ketika harus berjuang melawan penjajahan Jepang dan masa-masa mempertahankan kemerdekaan pada tahun 45-an. Bahkan ketika KH. Djuhari harus mendekam di dalam tahanan Belanda selama hampir 7 bulan madrasah ini terus berjalan dengan normal dikelola oleh teman-teman dan murid-murid beliau.

Hingga akhir tahun 1949 setelah peperangan kemerdekaan usai dan negeri tercinta telah kembali aman, madrasah Mathlabul Ulum pun semakin pesat berkembang. Murid-muridnya bertambah banyak, masyarakat semakin antusias sehingga dianggap perlu membuka cabang di beberapa desa sekitar. Tercatat ada 5 madrasah cabang yang dipimpin oleh tokoh masyarakat sekitar madrasah. Selain mendirikan Mathlabul Ulum beliau juga mendirikan Tarbiyatul Banat yang dikhususkan untuk kaum wanita. Selain membina madrasah, KH. Djauhari tak lupa mempersiapkan kader-kader penerus baik dari kalangan keluarga maupun pemuda-pemuda Prenduan. Tidak kurang dari 20 orang pemuda-pemudi Prenduan yang dididik khusus oleh beliau.

Hingga akhir tahun 1950-an Mathlabul Ulum dan Tarbiyatul Banat telah mencapai masa keemasannya. Dikenal hampir di seluruh Prenduan dan sekitarnya. Namun sayang kondisi umat Islam yang pada masa itu diterpa oleh badai politik dan perpecahan memberi dampak cukup besar di Prenduan dan Mathlabul Ulum. Memecah persatuan dan persaudaraan yang baru saja terbangun setelah melewati masa-masa penjajahan. Pimpinan, guru dan murid-murid Mathlabul Ulum terpecah belah.

Periode Pendirian Pesantren (1952 - 1971)
Menjelang akhir tahun 1951, di tengah keprihatinan memikirkan nasib Mathlabul Ulum yang terpecah KH. Djauhari teringat pada Pesantren Congkop dan almarhum ayahanda tercinta, teringat pada harapan masyrakat Prenduan saat pertama kali beliau tiba dari Mekkah. Beliaupun bertekad untuk membangkitkan kembali harapan yang terpendam, membangun Congkop Baru.

Langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun sebuah langgar atau mushalla yang menjadi pusat kegiatan santri dan para ikhwan Tidjaniyyin. Akhirnya setelah kurang lebih 1 tahun, walaupun dengan sangat sederhana Majlis Tidjani pun berdiri tegak. Maka tepat pada tanggal 10 November 1952 yang bertepatan dengan 09 Dzul Hijjah 1371 dengan upacara yang sengat sederhana disaksikan oleh beberapa santri dan Ikhwan Tidjaniyyin, KH. Djauhari meresmikan berdirinya sebuah Pesantren dengan nama Pondok Tegal. Pondok Tegal inilah yang kemudian berkembang tanpa putus hingga saat ini dan menjadi Pondok Pesantren Al-Amien seperti yang kita kenal sekarang ini. Karena itulah tanggal peresmian yang dipilih oleh KH. Djauhari disepakati oleh para penerus beliau sebagai tanggal berdirinya Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN.

Di Majlis Tidjani yang baru berdiri inilah, KH. Djauhari mulai mengasuh dan membimbing santri-santrinya. Semula hanya sebatas Ikhwan Tidjaniyyin yang datang dan pergi, kemudian datanglah santri-santri yang berhasrat untuk bermukim. Pada awal-awal tersebut pendidikan dan pengajaran lebih ditekankan pada penanaman akidah, akhlak dan tasawuf, selain juga diajarkan kitab-kitab dasar Nahwu dan Shorrof.

Pada tahun 1958 Departemen Agama membuka Madrasah Wajib Belajar (MWB) secara resmi dengan masa belajar 8 tahun. KH. Djauhari sangat tertarik dengan sistem madrasah ini, karena selain pelajaran agama dan umum juga diajarkan pelajaran keterampilan dan kerajinan tangan. Maka pada pertengahan tahun 1959 beliau membuka MWB di Pondok Tegal, sementara Mathlabul Ulum beliau jadikan Madrasah Diniyah dengan nama Mathlabul Ulum Diniyah (MUD) yang diselenggarakan pada sore hari hingga kini.

Selain mendirikan MWB beliau juga mendirikan TMI Majalis, diilhami oleh sistem pendidikan Kulliyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok Modern Gontor. Terutama setelah putra beliau Moh. Tidjani mondok di sana. Didorong oleh obsesinya untuk mendirikan sebuah pesantren besar yang representatif beliau merintis madrasah tingkat menengah di Pondok Tegal. Untuk madrasah yang baru ini beliau secara sengaja memilih nama Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau TMI, tafa’ulan terhadap KMI Gontor yang sangat beliau kagumi. Apalagi setelah melihat hasil yang dicapai oleh putranya, Moh. Tidjani setelah setahun mondok di sana.

Selain mendirikan TMI Majalis KH. Djauhari juga pernah mendirikan Sekolah Lanjutan Pertama Islam yang diprakarsai oleh beberapa orang pemuda Prenduan. Namun lembaga ini hanya bertahan selama 2 tahun karena kesalahan manajemen dan kesibukan para pengelolanya. Lalu muncul pula ide serupa beberapa tahun kemudian beliau mendirikan kembali Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) yang pada akhirnya kemudian disatukan dengan TMI Majalis dengan sistem terpadi yang kemudian menempati lokasi baru di desa Pragaan Laok.

Pada akhir era 70-an KH. Djauhari begitu kecewa dengan perkembangan umat Islam yang semakin terpecah belah oleh politik dan partai. Sementara, hasratnya yang begitu besar untuk mendirikan pesantren besar yang representatif bagi pengkaderan generasi muda muslim. Untuk itulah putra beliau, Muhammad Idris Jauhari yang baru menyelesaikan pendidikan di KMI Gontor tidak beliau perkenankan untuk melanjutkan studi keluar daerah. Bahkan beliau minta untuk membantu beliau dalam banyak kegiatan, mengajar santri, mengimami sholat, mengisi pengajian, mengurusi pondok dan lain-lainnya. Saat itu, seolah-olah beliau hendak berpamitan sekaligus meninggalkan amanat besar yang harus dilanjutkan oleh putra-putri beliau. Dan memang tidak lama kemudian, pada hari jumat 18 Rabiuts Tsani 1371/11 Juni 1971 beliau berpulang ke rahmatullah dengan tenang di dampingi oleh istri, anak dan keluarga beliau.

Periode Pengembangan Pertama (1971 - 1989)
Sepuluh hari sepeninggal KH. Djauhari, masyrakat Prenduan bermufakat untuk menjariyahkan sebidang tanah seluas 6 ha kepada putra almarhum, Moh. Tidjani Djauhari yang baru pulang dari Makkah untuk didirikan di atasnya pesantren yang representatif sesuai dengan cita-cinta almarhum semasa hayatnya. Tanah tersebut 2,5 ha berasal dari hasil pembelian yang harganya ditanggung oleh dermawan Prenduan, Kapedi dan Pekandangan sedangkan sisanya yang 3,5 ha berasal dari jariyah ahli waris almarhum Haji Syarbini yang disponsori oleh putranya Haji Fathurrahman Syarbini.

Di lokasi baru inilah kemudian yang dikembangkan ke arah selatan, barat dan utara sehingga saat ini luasnya kurang lebih 12 ha, yang kemudian dikenal dengan Pondok Al-Amien Komplek II yang sekarang menjadi pusat seluruh kegiatan AL-AMIEN PRENDUAN. Sebelum memulai pembangunan komplek II ini, Kiai Moh. Tidjani Djauhari bersama Kiai Muhammad Idris Juhari melakukan safari panjang ke beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur dalam rangka mohon izin dan doa restu untuk mendirikan sebuah pesantren baru sekaligus melakukan studi banding dalam rangka mencari format yang paling cocok untuk masyrakat Madura yang memang berciri khusus pula.

Namun, Kiai Moh. Tidjani sementara tidak bisa meneruskan proses pendirian pesantren baru ini karena beliau harus segera kembali ke Mekkah untuk menyelesaikan Magisternya yang hampir tuntas. Maka walau awalnya keberatan, beban tanggung jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum diterima oleh Kiyai Muhammad Idris Jauhari. Apalagi ada jaminan kebebasan untuk berkreasi dan berbuat. Lagi pula ini hanya sementara dan di belakang beliau ada banyak pihak yang siap mendukung seluruh kegiatan pondok.

Berdasarkan hasil safari panjang yang dilakukan sebelumnya itulah, konsep tentang Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN yang baru, yang mencerminkan cita-cita almarhum KH. Djauhari Mendirikan Pesantren Ala Gontor tapi tidak melupakan nilai-nilai tradisi ke Madura-an yang khas dirumuskan. Maka pada tanggal 10 Syawal 1371 atau 03 Desember 1971 dalam sebuah upacara yang sangat sederhana tapi khidmat, bertempat di serambi Bu Jemmar dan dihadiri oleh beberapa anggota panitia dan guru-guru, Kiyai Muhammad Idris Jauhari meresmikan berdirinya pesantren baru, dan beliau sebagai direkturnya.

Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah atau lebih dikenal dengan TMI, begitulah lembaga pendidikan di lingkungan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN tersebut dinamakan. Pemilihan nama ini sesuai dengan harapan dari almarhum yang menginginkan berdirinya sebuah lembaga pendidikan serupa dengan KMI Gontor. Di awal perjalanannya lembaga baru ini banyak mendapatkan tentangan dari beberapa pihak yang belum mengerti tentang dasar, acuan dan prinsip sistem pendidikannya yang menjadi acuannya.

Walaupun mendapatkan tantangan dari luar dan dalam, namun proses pendidikan tetap berjalan dengan baik. Wisuda pertama dilaksanakan pada tahun 1978 bersamaan dengan kedatangan KH. Moh. Tidjani Djauhari yang sedang pulang kampung. Bersamaan dengan wisuda tersebut dihelat pula peringatan tujuh tahun TMI yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan dan wali santri.

Untuk membantu tugas sehari-hari kiai dan guru-guru juga sebagai media latihan berorganisasi maka pada tahun 1975 dibentuklah Organisasi Santri yang bernama OP TMI dan Gudep Pramuka. Yang kemudian bermetamorfosa menjadi ISMI hingga saat ini.

Walaupun mengembangkan pesantren di lokasi baru, Pondok Tegal sebagai sebuah warisan dari almarhum tetap dipertahankan bahkan dikembangkan. Untuk itulah pengelolaan kegiatan pendidikan sehari-hari diserahkan kepada Kiai Musyhab yang merupakan keponakan KH. Djauhari sekaligus menantu beliau. Sedangkan KH. Muhammad Idris Jauhari fokus mengelola TMI di lokasi baru.

Selain mengembangkan Pondok Tegal pada tahun 1973 juga dibuka Pondok Putri I di atas tanah milik kiai Abdul Kafi dan istrinya Nyai Siddiqoh keponakan KH. Djauhari yang memang dikaderkan secara khusus oleh beliau. Pendirian Pondok Putri I ini sendiri diawali oleh datangnya beberapa remaja putri Prenduan kepada Nyai Siddiqoh untuk mondok dan belajar secara khusus kepada beliau. Kedatangan remaja putri lainnyapun berulang di beberapa waktu setelahnya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk membangun lokasi khusus untuk penginapan dan pemondokan mereka. Sehingga sejak tahun 1986 secara resmi Pondok Putri I berdiri dan sejak itu dikenal dengan Pondok Putri Al-Amien I atau Mitri I. Beberapa pengembanganpun dilakukan untuk memajukan Pondok Putri I sebagaimana halnya Pondok Tegal.

Pengembangan yang dilakukan tidak hanya di Pondok Putri I saja, sejak awal didirikannya telah ada hasrat yang besar untuk membangun Pondok Pesantren khusus putri yang bersistemkan TMI. Maka pada awal tahun 1975 dibangunlah SP Mu’allimat namun terpaksa diganti dengan MTs. Putri karena beberapa faktor. Namun pada tahun ajaran 1983/1984 beberapa wali santri datang untuk mengantarkan putrinya di lembaga pendidikan yang bersistem TMI bukan MTs. maupun MA. Obsesi lama tersebutpun muncul kembali ke permukaan. Maka setelah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, tepat pada tanggal 10 Syawal 1405 / 29 Juni 1985 dalam sebuah upacara yang sederhana di salah satu ruang belajar MTs. Pondok Putri I. Dra. Ny. Anisah Fatimah Zarkasyi yang saat itu sedang mudik dari Mekkah meresmikan berdirinya Tarbiyatul Mu’allimat Al-Islamiyah (TMaI) dan KH. Mahmad Aini ditunjuk sebagai direkturnya.

Hingga tahun 1983 TMaI masih menempati lokal MTs Pondok Putri I sampai akhirnya pindah ke lokasi baru, menempati tanah yang dijariyahkan oleh Hajjah Maryam. Di atas tanah seluas 1000 m2 yang terletak di sebelah barat rumah beliau tersebutlah kemudian dibangun lokal pertama milik TMaI. Dari lokal berbentuk L inilah TMaI mulai berkembang setapak demi setapak hingga seperti saat ini.

Alhamdulillah setelah enam tahun menjalankan program pendidikannya, pada tanggal 15 Ramadan 1411 / 31 Maret 1991 TMaI berhasil mewisuda alumni pertamanya sebanyak 11 orang. Kesebalas orang tersebut adalah mereka yang bertahan dari 25 orang saat pendaftaran awal pada tahun 1985.

Di lain sisi, sejak awal pembangunan TMI telah disadari pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi di lingkungan AL-AMIEN PRENDUAN. Utamanya adalah untuk menampung alumni TMI yang berhasrat untuk melanjutkan pendidikannya namun masih di dalam pondok. Maka disepakatilah untuk mendidikan pesantren tinggi dengan nama Pesantren Tinggi Al-Amien (PTA) Fakultas Dakwah dengan KH. Shidqi Mudzhar sebagai dekannya dan KH. Jamaluddin Kafie sebagai pembantu dekan sekaligus pelaksana harian.

Selanjutnya ketika Menteri Agama, Bapak Munawwir Syadzali, MA berkunjung ke Al-Amien pada tanggal 04 Dzulhijjah 1403 / 11 September 1983 beliau diminta untuk meresmikan Pesantren Tinggi Al-Amien. Dan sesuai dengan peraturan pada masa itu Pesantren Tinggi diubah namanya menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien (STIDA) yang pada 24 Rajab 1402 / 29 Januari 1992 melepas wisudawannya sebanyak 43 orang.

Periode Pengembangan Kedua (1989-sekarang)
Tanggal 27 Januari 1989, KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA kembali dari Mekkah Al-Mukarromah. Kemudian disusul oleh KH. Maktum Jauhari, MA pada tahun 1990 yang baru saja menyelesaikan Magisternya di Al-Azhar Cairo. Sejak saat itulah Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN memasuki masa pengembangan baru. Pengembangan-pengembangan semakin cepat berjalan karena sinergi yang semakin solid.

Pengembangan pertama yang dilakukan adalah Pendirian Ma’had Tahfidh Al-Qur’an (MTA). Pendirian MTA ini didasari pada obsesi lama untuk mencetak generasi Hafadzah Al-Qur’an yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat. Maka pada tahun 1990 pendirian MTA dimulai dengan membuka kembali program Jamaah Tahfidz di kalangan santri senior TMI. Lalu kemudian pada pertengahan bulan Sya’ban 1411 / Februari 1991 KH. Muhammad Idris Jauhari bersama KH. Ainul Had dan KH. Zainullah Rais berkeliling ke beberapa Ma’had Tahfidzil Qur’an di Jawa Timur, Jogjakarta hingga ke Jawa Tengah untuk studi banding dan mencari pola serta sistem yang paling representatif bagi Ma’had Tahfidzil Qur’an Al-Amien.

Dengan perantara Syekh Bakr Khumais, seorang dermawan Arab Saudi Syekh Ahmad Hasan Fatihy bersedia menyediakan dana yang cukup untuk membuka lembaga khusus bagi MTA yang terpisah dengan TMI. Maka pada dengan segala persiapan yang matang pada tanggal 12 Rb. Awal 1412 / 21 September 1991 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA meresmikan berdirinya MTA dengan jumlah murid pertama sebanyak 28 orang.

Pengembangan kedua adalah pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Hal ini telah terobsesi sejak lama, sejak beliau masih berada di Mekkah Al-Mukarromah. Beliau menginginkan di tengah-tengah kampus Al-Amien nantinya dibangun sebuah masjid yang besar, megah, indah dan multifungsi. Maka sepulang dari Mekkah beliau pun membentuk Panitia Pembangunan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN. Segera setelah panitia dibentuk pembangunan masjid tersebut dimulai. Segala daya dan upaya dilakukan untuk mensukseskan pembanguan masjid besar ini. Untuk teknis pembangunan PT. Adhi Karya dan Pondok Modern Gontor pun di gandeng.

Pembangunan masjid besar seluas 48 x 40 meter ini berjalan secara bertahap dari tahun ke tahun. Proses pembangunannya kadang berlari, merangkak bahkan merayap sesuai dengan kebutuhan dan dana yang ada. Hingga akhirnya seluruh bagian utama masjid tersebut selesai tepat bersamaan dengan perayaan kesyukuran 45 tahun berdirinya AL-AMIEN PRENDUAN. Pada perhelatan akbar itu pula Menteri Agama meresmikan Masjid Jami’ AL-AMIEN PRENDUAN.

Pengembangan selanjutnya adalah peningkatan status Sekolah Tinggi Dakwah Al-Amien (STIDA) menjadi Sekolah Tinggai Agama Islam Al-Amien (STAI) dengan dibukanya Jurusan Pendidikan Agama (Tarbiyah) pada tahun 1995. Lalu pada tahun 2001 status STAI ditingkat kembali menjadi Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien (IDIA) dengan dibukanya 3 jurusan baru, Pendidikan Bahasa Arab (Tarbiyah), Jurusan Tafsir Hadis (Ushuluddin) dan Jurusan Akidah Filsafat (Ushuluddin).

Memasuki tahun 2002, AL-AMIEN PRENDUAN memasuki usianya yang ke 50. Untuk menyambut usia emas ini digelar peringatan Kesyukuran Setengah Abad Al-Amien dengan aneka kegiatan yang berlangsung selama 20 hari lamanya. Pada peringatan ini pula diresmikan MI Ponteg sebagai MI percontohan oleh Mendiknas RI. Beberapa pengembangan terus dilakukan, diantaranya adalah pendirian MTA Putri pada tahun 2006.

Setelah 18 tahun berjuang mengembangkan AL-AMIEN PRENDUAN, pada tanggal 15 Ramadhan 1428 KH. Moh. Tidjani Djauhari, MA wafat dan meninggalkan amanah pengembangan AL-AMIEN PRENDUAN kepada KH. Muhammad Idris Jauhari dan kiai-kiai dan guru-guru yang lain. Patah tumbuh, hilang berganti. Demikian pepatah menggambarkan bagaimana perkembangan Pondok Pesantren AL-AMIEN PRENDUAN sejak didirikannya hingga saat ini.[dari berbagai sumber]

0 Post a Comment: