Selasa, Mei 21, 2024

Kau yang Ambisi, Aku yang Dihabisi

(Ilustrasi)

Dalam lorong politik kehidupan yang penuh intrik,

Terhampar kisah perseteruan tak berkesudahan,

Seorang atasan, penggiat ambisi yang kuasa menggoda,

Menyusahkan bawahan, tanpa belas kasihan.


Saat mentari merayap di ufuk timur,

Kau hadir, oh atasan penuh keangkuhan,

Dengan senyum palsu, sikapmu mengejek,

Bawahan tak berdaya, dalam siksaan yang terus berlanjut.


Kau berlenggang dengan ambisi yang tak terbendung,

Menjaga posisimu, menghancurkan integritas,

Demimu mengejar kekuasaan, tanpa memandang korban,

Adab budi di kesampingkan, tumpul sudah pedasnya kata.


Bawahan yang setia, seperti burung terkurung dalam sangkar,

Dikurung oleh ketidakadilan dan ketidakpuasan,

Karya menjadi persembahan yang sia-sia,

Terhempas oleh nafsu ambisi yang tak terbendung.


Namun, oh atasan, ingatkah engkau?

Kekuasaan yang kau genggam adalah titipan yang fana,

Kehidupan ini bukanlah belaka ajang pertempuran,

Tapi panggung untuk bersama-sama membangun negeri.


Bawahan yang kau siksa dengan kekuatanmu,

Bukanlah hantu yang tak berdaya,

Mereka adalah pemilik suara yang tak terdengar,

Yang takkan pernah luntur oleh tirani dan kezaliman.


Hari berganti, waktu tak terelakkan berlalu,

Kau yang ambisi, aku yang dihabisi,

Namun dalam kegelapan yang kau ciptakan,

Berkembang benih perlawanan yang tak akan pernah mati.


Karena pada akhirnya, kebenaran akan terungkap,

Ambisi yang busuk akan terlerai oleh cahaya keadilan,

Dan bawahan yang pernah terzalimi,

Akan bangkit menjadi pahlawan yang tak tergoyahkan.


Kau yang ambisi, aku yang dihabisi,

Puisi ini tercipta sebagai pengingat akan keadilan,

Bahwa politik kehidupan tak semata tentang kekuasaan,

Tapi tentang kebersamaan membangun negeri yang adil dan sejahtera.

(debadruns, Jipangulu 21 Mei 2024)