Sabtu, Desember 04, 2021

Ada Pelajaran dibalik Setiap Kejadian

Gambar hanya Ilustrasi
Pagi itu, matahari seakan ikut tersenyum, memberikan semangat pada Kang Qomar yang penuh gairah berangkat mengisi kajian di dusun Bandung Kalangan. Pagi yang cerah membawa langkahnya menempuh jalan berbatu hutan menuju tempat yang sudah menanti kedatangan ilmunya.

Sebagaimana biasa, Kang Qomar mempersiapkan segalanya dengan teliti: materi kajian, laptop, tripod, hingga HP sebagai kamera. Setelah semua siap, ia pun melangkah, melewati perjalanan panjang hingga akhirnya tiba di Masjid Baitul Khikmah, tempat kajian itu diadakan. Di sana, anak-anak muda IPNU dan IPPNU Kalangan, serta beberapa perwakilan dari desa tetangga, telah berkumpul, menyambutnya hangat dengan jabat tangan penuh penghormatan.

Waktu berlalu dalam canda tawa, keakraban, dan obrolan ringan yang terasa kental. Hingga akhirnya, tibalah saatnya Kang Qomar menyampaikan materi. Suasana pun menjadi khidmat, para peserta menyimak meski ada yang mencuri pandang ke ponsel mereka, atau beberapa tampak berkutat dengan kantuk yang berat.

Sekitar satu jam berlalu, materi tersampaikan dengan sempurna, dan acara pun diakhiri. Seperti biasa, sesi ramah tamah dengan para tokoh setempat menutup pertemuan mereka. Saat langit mulai meredup, Kang Qomar berpamitan untuk pulang, merasa hari itu telah menorehkan manfaat besar.

Namun, beberapa minggu setelahnya, pagi yang tenang itu tiba-tiba berubah menjadi momen tak terduga. Kang Qomar, yang tengah bersantai di aulanya, mendengar dering HP. Di ujung telepon, suara saudaranya mengabarkan, “Kang, kapan terakhir kontak dengan Bang Tegor?” Kang Qomar, yang tak merasa ada apa-apa, menjawab, “Sekitar dua minggu yang lalu.”

Sejenak hening. Lalu terdengar suara menggelegar di telinganya, “Bang Tegor positif Covid-19, Kang. Mohon Kang Qomar untuk istirahat dari kegiatan kajian dulu ya.” Berita itu membuatnya terdiam, kata-kata seolah tersangkut di tenggorokan. "Iya dek, matur suwun," jawabnya pelan, menerima kenyataan.

Hari-hari berikutnya semakin sunyi, mencekam. Berita demi berita duka mengiringi, hingga hampir setiap hari ada kabar kematian yang datang. Suasana kampung seakan berubah menjadi horor tak kasat mata, mengoyak ketenangan yang pernah ada.

Di tengah tekanan itu, Kang Qomar menyadari bahwa kini ia dan warga harus beradaptasi dengan sebuah kehidupan baru yang penuh pembatasan. Cuci tangan, masker, larangan berkerumun, semua harus dijalani. Sebagai seorang aktivis dakwah, ada perasaan berontak dalam dirinya; rasanya perjuangannya baru separuh jalan. Masih banyak yang membutuhkan ilmunya, namun jalan terasa dibendung oleh pandemi ini.

Lambat laun, perasaan memberontak itu sirna berganti kesadaran mendalam. Pandemi ini, ia sadari, bukan hanya bencana bagi kampungnya, tapi ujian yang menimpa dunia. Sebuah pesan dari Allah yang menuntut direnungi, dipahami, dan ditaati.

Kang Qomar melihat makna di balik semua aturan baru ini. Mungkin Allah ingin kita diam sejenak, meresapi kekurangan diri, belajar dari alam yang kini menyampaikan pesannya lebih jelas daripada para ulama. 

Saat ini, kita dipaksa menutup mulut dengan masker, mungkin agar kita berhenti mencaci, berhenti berkata sia-sia yang hanya menyakitkan hati saudara. Kita dilarang berkerumun, mungkin karena Allah melihat di dalam kerumunan kita, lebih banyak terjadi gunjingan daripada ibadah. Kita dipaksa menjaga jarak, mungkin sebagai tanda bahwa niat silaturahim kita selama ini perlu diperiksa ulang—apakah tulus atau sekadar misi mengungkit-ungkit harta warisan.

Dalam diamnya, Kang Qomar sadar: pandemi ini adalah kajian alami yang Allah berikan, sebagai pengingat, sebagai teguran, sebagai ruang untuk muhasabah diri. Tak ada yang lebih tepat selain mengucap syukur dan mengambil i’tibar, pelajaran yang telah Allah hamparkan di depan mata kita semua.

Kang Qomar terpekur di sudut aulanya, merenungi makna yang ia temukan di balik cobaan yang tengah melanda. Dalam hening, ia merasa Allah tengah berbicara melalui segala peristiwa yang terjadi, mengingatkan manusia yang sering kali lupa di tengah hiruk pikuk dunia. 

Seiring berjalannya waktu, Kang Qomar mulai melihat perubahan pada dirinya dan masyarakat sekitarnya. Mereka semakin disiplin dalam menjaga kesehatan, semakin peduli pada satu sama lain, bahkan semakin sadar akan pentingnya doa dan introspeksi dalam setiap langkah. Walau hati kecilnya merindukan suasana kajian dan tatap muka bersama para santri, ia menyadari bahwa tugasnya kali ini bukanlah mengajar, tapi menunjukkan keteladanan dalam menjalani ujian dengan sabar dan tawakal.

Di suatu pagi, ketika ia sedang menyusun catatan kajiannya di aula, datang beberapa santri yang merindukan bimbingan dan arahan darinya. Dengan hati-hati dan menjaga jarak, Kang Qomar berbicara kepada mereka, "Pandemi ini adalah ujian kesabaran kita. Allah menguji sejauh mana kita mampu menjaga amanah kesehatan yang telah Ia berikan."

Santri-santri itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk memahami pesan yang ingin disampaikan Kang Qomar. “Ingatlah, perjuangan kita tidak hanya terbatas dalam kajian dan pertemuan, tetapi juga dalam disiplin menjaga diri dan lingkungan sekitar. Kita bisa tetap berdakwah dengan cara menjaga kesehatan kita, mengedukasi yang lain, dan selalu memohon kepada Allah agar kita diberi keteguhan.”

Seiring berjalannya waktu, Kang Qomar semakin memahami bahwa ujian ini membawa pesan besar yang lebih dalam dari sekadar cobaan kesehatan. Ia merasa bahwa pandemi ini seolah memurnikan niat dan tujuan dakwahnya—bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga mempraktikkan sikap peduli dan sabar yang menjadi esensi dakwah itu sendiri. 

Ia pun berdoa dalam hatinya, "Ya Allah, jadikan kami hamba-Mu yang tabah dan mampu membaca setiap hikmah yang Engkau turunkan. Semoga kami bisa melewati ujian ini dengan tetap berada dalam petunjuk-Mu." 

Hari demi hari berlalu, dan perlahan masyarakat mulai beradaptasi dengan kebiasaan baru yang mereka anggap berat pada awalnya. Kang Qomar menjadi panutan bagi masyarakat sekitar, tidak hanya karena ilmunya, tetapi karena keteladanannya dalam menghadapi pandemi ini dengan penuh ketenangan dan keyakinan.

Pandemi itu akhirnya mengubah wajah dakwah di desanya, bukan lagi soal pertemuan fisik semata, tetapi soal kekuatan iman dan solidaritas di hati tiap insan. Kang Qomar tahu, ada misi besar dari Allah di balik cobaan ini—untuk menjadikan umat yang lebih sabar, lebih peka, dan lebih peduli pada sekitar. Di akhir doanya, ia selalu berkata, "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah atas kajian hidup yang Kau turunkan ini. Semoga kami semua dapat mengambil pelajaran dan menjadi lebih dekat pada-Mu."

#dbc

Ban Depan Meledak

  Ban Depan Meledak

Duarr grobyak sruaaaak ! Itulah penggalan ingatan dari sebuah peristiwa yang sempat teringat oleh kang Qomar di malam itu.


Kejadian itu berawal saat Ia akan berangkat memenuhi undangan pengajian di desa sebelah.


Dalam perjalananya malam itu tiba-tiba diwarnai mendung hitam dan angin kencang yang seakan berada di atas pecinya.


Seketika dalam benak pria ini terbesit untuk menggeber gas motornya, dengan harapan agar bisa sampai di tempat pengajian dengan tidak kehujanan.


Tak ayal lagi melesatlah motor pria yang tak muda lagi itu bak pembalap, yang seakan ingin beradu cepat dengan angin yang bergemuruh mengiringi datangnya hujan malam itu.


Sampai-sampai Omi dan Nanang yang mengikutinya ketinggalan jauh di belakang tak mampu mengejar motor stengah tua yang ditunggangi kang Qomar.


Dalam gelap malam dipenghabisan hutan tiba-tiba "duarrr grobyak sruaaaaak", ban motor kang Qomar meledak setelah menendang lubang jalan cor yang rusak dan kemudian akhirnya pun membuatnya jatuh.


Tak berapa lama kemudian Omi dan Nanang sampai di tempat kejadian, dan melihat orang yang di kawalnya jatuh terkapar bersimbah darah tertindih motor.


Sambil meneteskan air mata secara perlahan mereka berdua berusaha mengangkat motor dan menolong pria humoris yang kini terlihat meringis menahan rasa sakit yang semakin kritis untuk mendapatkan perawatan medis atas luka yang ada pada tubuhnya.


Selang beberapa lama sampailah kang Qomar di rumahnya, dan dia merasa kaget setelah melihat saudara dan tetangga mengelilinginya, dalam hatinya bertanya-tanya, apa gerangan yang sedang terjadi pada dirinya di malam itu ?


Lebih kaget lagi banyak dari para jamaah pengajian yang sedianya akan ia datangi malam itu berkumpul ada di sekitarnya.


Dan semakin kaget lagi setelah dia melihat kakinya sebelah kanan terasa berat dan dililit perban.


Secara perlahan kesadaran pria ini  pulih, mulailah kepingan ingatanya terkumpul lengkap dalam benaknya, barulah ia ingat akan kejadian di awal malam itu, bahwa dia tidak jadi menghadiri undangan pengajian karena jatuh kecelakaan dalam perjalanan berangkat.


"Semoga kang Qomar segera sembuh dari berbagai sakitnya", doa dan pengharapan dari para pengasihnya setiap hari masuk melalui pesan WhatsApp nya.


Mulai malam itu dan hari-hari berikutnya Sosok yang biasanya terlihat tegar kini harus terkapar menikmati dan menjalani kehidupannya di atas ranjang bersama keluarga dan teman serta saudara tercintanya  sampai hampir dua bulan lamanya.


Mulai saat itu berlanjut kehari berikutnya seakan Tuhan memberikan remidi materi kajian yang mungkin diabaikan kang Qomar di hari sebelumnya.


Mulai malam itu berlanjut kehari berikutnya sosk yang dikenal sebagai kader militan ini menjalani proses penyembuhan, bukan hanya penyembuhan luka di kakinya tapi sekaligus luka di hatinya.


Luka akibat keangkuhan diri yang berakibat membuat sakit di hati dan melumpuhkan pikiran, sehingga tak mampu melihat dan mensyukuri kebaikan orang terkasih yang diterima dan dirasakan setiap waktu selama ini.


Berbagai macam kemudahan dalam mendapat kenikmatan Tuhan hanya berlalu begitu saja tanpa ada rasa ingin untuk mentadaburi, namum bahkan terkadang sering mengingkari.


Dalam masa penyembuhan itu kang Qomar juga disajikan sebuah kajian robani berupa insan-insan  kamil yang tak henti hentinya menunjukkan uswahnya.


Orang-orang biasa yang sangat menghargai pertemanan, persahabatan dan persaudaraan yang dilakukan dengan cara yang sangat luar biasa.


Dari rangkaian peristiwa yang dilaluinya ditemukan sebuah inti pengajaran bahwa ketulusan dalam menjalankan sebuah amaliah terlebih sebuah perjuangan,  haruslah menjadi pondasi utama, bukan sekedar basa basi penghias aksi.


Dalam hal tulus ini dia bukan mau berilusi  tentang ahlaq suci para sufi, karena hal itu terlalu tinggi untuk sekadar di bicarakan oleh orang sekelas kang Qomar.


Namun ada pesan istimewa baginya dalam memaknai pentingnya ketulusan dalam setiap perjuangan yang di lakukan.


Yakni adanya perasaan damai dan ketenangan di saat terjadi hal fatal yang tidak diinginkan, serta adanya kesadaran bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah bagian dari apa yang dia cita-citakan.


Atau setidaknya dapat disadari  senyatanya di saat terjadi kondisi seperti itu akan menjadi tidak pantas bila mengeluh, atau mengaduh pada selain diri sendiri dan Tuhannya.


Dalam hening mujahadah kesembuhanya, kang Qomar menemukan buliran bening mengalir dari kedua matanya yang selama ini telah lama mengering karena tertimpa dan tertempa oleh panasnya api ambisi duniawi.


Buliran bening itu mengalir membasahi pipi sekaligus membasuhi hati, membasuh angkuh dan menyeka tulus agar tak lagi mudah putus.


Dalam hening itu ia dapatkan pengajaran akan pentingnya ketulusan dalam menjadi pondasi utama sebuah perjuangan, yang bukan hanya sekedar teori yang menghias dalam setiap orasi, namun harus benar benar kuat menghujam tertancap dalam hati sanubari yang menyatu dalam setiap aksi.


#dbc

Jumat, Desember 03, 2021

IBRAHIM BIN AD-HAM RAJA TANPA TAHTA

Oleh: حبيب محمد علي العطاس

Di atas jalan yang tak berujung, di bawah langit yang tak bertepi. Lelaki gagah berani itu memulai pengembaraannya, memasuki labirin kehidupan demi setitik asa, mengharap ampunanNya, mengharap keridhoaanNya. Buliran air mata bagai permata putih, satu persatu berjatuhan, dengan segenap rasa di jiwa, dengan setumpuk dosa yang melekat di dada, mengalir membasahi setiap langkah-langkahnya yang tak pernah lelah. Rangkaian doa-doa itu dibacanya dengan penuh kedalaman jiwa.

Ia seorang pangeran yang meninggalkan kerajaannya dan berkelana untuk menjalani kehidupan barunya dalam kesahajaan. Ia memperoleh makanannya di Suriah dari hasil kerja keras yang jujur hingga wafatnya pada tahun 165 H/782 M. Sejumlah catatan menyatakan bahwa ia syahid dalam sebuah ekspedisi laut menaklukkan Byzantium.

Awalnya, dia adalah seorang Raja Besar, ‘Jihan Padishah’. Padishah, salah satu Sultan terkaya dan seluruh dunia berada di bawah kekuasaannya. Sebagaimana umumnya kehidupan para raja, dia pun bergelimang kemewahan. Hidup dalam istana megah berhias permata, emas, dan perak. Setiap kali keluar istana ia selalu dikawal 80 orang pengawal yang selalu mengiringi di depan dan di belakangnya. Untuk menjaga kawanan dombanya saja, dia menempatkan 12.000 ekor anjing dan setiap ekor anjing disematkan satu kalung emas! Jadi bisa dibayangkan berapa banyak kawanan domba yang dia miliki? Dan dia juga memiliki ketertarikan lain sebagai hobbinya yaitu berburu.Malam kian larut di kota Arkian persis pada pergantian bulan. Di langit tidak tampak sepotong bulan. Hanya ada kerlipan bintang yang menyebar. Dingin tak jua menepi, sementara rasa kantuk menguasai seluruh penduduk kota tidak terkecuali penghuni istana. Namun tiba-tiba suara gaduh memecah kesunyian menyusul suara orang berlari terbirit-birit di atas kubah istana.

Istana megah yang dihuni seorang Sultan di negeri Balkh itu, heboh! Ibrahim bin Adham mendengar di atas loteng kamarnya ada seseorang yang reseh mencari sesuatu. Aksi orang itu terbilang nekat karena istana dalam pengawalan yang ketat. Tidak kurang dari 80 orang pengawal, 40 orang berada di depan dan 40 orang berada di belakang, semua lengkap dengan pedang yang terbuat dari baja yang berlapis emas.

Ibrahim pun menegur orang yang berani mengganggu keasyikan tidurnya itu. Sebagai seorang raja muda, ia sangat terganggu oleh suara berisik itu, maka secara spontan ia berteriak, ”Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Ibrahim bin Adham. Sang pengganggu menjawab enteng, ”Sedang mencari ontaku yang hilang!” Mendengar jawaban itu, nyaris Ibrahim bin Adham naik pitam. ”Bodoh, di mana akalmu?” katanya membentak. ”Mana mungkin kau menemukan onta di atas loteng.”

Tanpa diduga sang pengganggu menjawab lebih seenaknya: ”Begitu juga kau, mana mungkin engkau menemukan Tuhan di istana dengan berpakaian sutera dan tidur di alas tilam emas!”

Mendengar jawaban singkat yang amat tenang itu, Ibrahim bin Adham kemudian terdiam. Kata-kata asing dari langit-langit istananya itu sungguh menyentuh nuraninya; suaranya mantap, kalimatnya jelas dan logikanya sangat kuat, sehingga keseluruhan kata-kata itu menjadi sangat berwibawa dan menggelitik jiwanya. Kata-kata ini sangat menggetarkan hati Ibrahim. Kejadian itu membuatnya sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya hingga fajar datang.

Seperti kebiasaannya, menjelang siang Ibrahim berada di atas singgasananya untuk mendengar pengaduan dan masalah rakyat jelata. Tetapi hari itu keadaannya berlainan, dirinya gelisah dan banyak termenung. Para menteri kerajaan berdiri di tempat mereka masing-masing; budak-budaknya berdiri berjajar berhimpitan. Semua warga istana hadir.

Tiba-tiba, seorang lelaki dengan raut wajah yang sangat buruk memasuki ruangan, sangat buruk untuk dilihat sehingga tak ada seorang pun dari para pejabat dan pelayan kerajaan yang berani menanyakan namanya; lidah-lidah mereka tertahan di tenggorokan. Lelaki ini mendekat dengan khidmat ke singgasana.

“Apa maumu” tanya Ibrahim.
“Aku baru saja tiba di penginapan ini,” ujar lelaki itu.
“Ini bukan penginapan. Ini istanaku. Kau gila,” teriak Ibrahim.
“Siapa yang memiliki istana ini sebelummu?” tanya lelaki itu.
“Ayahku,” jawab Ibrahim.
“Dan sebelumnya?”
“Kakekku?”
“Dan sebelumnya?”
“Buyutku.”
“Dan sebelumnya?”
“Ayah dari buyutku.”
“Ke mana mereka semua pergi?” tanya lelaki itu.
“Mereka telah tiada. Mereka telah meninggal dunia,” jawab Ibrahim.
“Lalu, apa lagi namanya tempat ini kalau bukan penginapan, di mana seseorang masuk dan yang lainnya pergi?”

Setelah berkata begitu, lelaki asing itu pun menghilang. Ia adalah Nabi Khidhr as. Api berkobar semakin dahsyat di dalam jiwa Ibrahim, dan seketika kesedihan menatap dalam hatinya.

Kedua kejadian itu, di malam dan siang hari, sama-sama misterius dan tidak dapat dijelaskan oleh akal. Karena tidak menemukan jawabannya, sementara kegelisahan hatinya semakin berkecamuk, ia mengajak prajuritnya untuk berburu ke hutan, dengan harapan beban di kepalanya sedikit berkurang. Akhirnya Ibrahim berkata, “Pasang pelana kudaku. Aku akan pergi berburu. Aku tidak tahu apa yang telah kualami hari ini. Ya Tuhan, bagaimana ini akan berakhir?”

Ibrahim bin Adham (إبراهيم بن ادھم) dan rombongan terus melintasi padang pasir yang luas sejauh mata memandang. Dia memacu kudanya dengan cepat sehingga sepertinya ia tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dalam keadaan bingung, ia terpisah dari para Pengawalnya. Dalam mencari jalan keluar dia melihat seekor rusa. Ibrahim segera memburu rusa itu. Belum sempat berbuat apa-apa rusa itu berbicara kepadanya:

“Ibrahim, kamu tidak diciptakan untuk bersenang-senang Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-main dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami (untuk diadili)?(Al Qur’an Surat Al-Mu’minun 23:115). Takutlah pada Allah dan persiapkan dirimu untuk menghadapi kematian.”

Ibrahim yang masih dalam ketakutan itu tiba-tiba terkejut dengan kata-kata itu. Dia langsung sadar dan berfikir selama ini untuk apa dirinya diciptakan Allah ke dunia. Sekarang keyakinan serta keimanannya telah tertanam di dalam dadanya. Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air mata penyesalannya selama ini. Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Dalam keadaan panas terik itu, Ibrahim melepaskan kudanya dan memutuskan untuk berjalan kaki. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang penggembala yang sedang menjaga sekumpulan kambing-kambingnya. Gembala itu mengenakan pakaian dan penutup kepala yang terbuat dari bulu hewan. Ibrahim melihat lebih dekat, dan menyadari bahwa gembala itu adalah budaknya.

Tanpa pikir panjang Ibrahim menanggalkan apa yang selama ini dikenakannya dan memberikan kepada gembala itu, berupa jubah yang bersulam emas dan mahkota yang bertahtakan permata, sekaligus dengan domba-dombanya. Sedangkan Ibrahim berganti mengenakan pakaian kasar dan penutup kepala budak itu. Dan tanpa riskan Ibrahim sendiri mengenakan pakaian yang sehari-harinya dikenakan si penggembala kambing itu.

Ibrahim bin Adham meninggalkan kerajaan beserta istananya yang mewah karena rasa bersalah dan malu menyadari masih ada rakyatnya yang hidup di bawah garis kemiskinan, namun pencerahan itu membuat ia menikmati manisnya iman walau pakaiannya kini adalah kulit domba alih-alih sutra China, tidurnya kini berbantalkan akar pohon yang tak lagi bulu angsa berlapis beludru. Begitulah Ibrahim menukar kerajaan beserta isinya untuk sebuah kenikmatan iman.

Dengan berjalan kaki Ibrahim mengembara melintasi gunung dan menyusuri padang pasir yang luas sambil mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya. Akhirnya sampailah dia di sebuah gua. Ibrahim yang dulunya seorang raja yang hebat akhirnya menyendiri dan berkhalwat di dalam gua selama sembilan tahun.

Selama di dalam gua itulah Ibrahim betul-betul mengabdikan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Setiap hari Kamis dia pergi ke kota Nishafur untuk menjual kayubakar. Setelah shalat Jumat Ibrahim pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya tadi. Roti itu separuh diberikan kepada pengemis dan separuh lagi untuk berbuka puasa. Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Akhirnya Ibrahim memutusan untuk keluar dari gua tersebut dan mengembara lagi melintasi padang pasir yang luas itu. Dia tidak tahu lagi ke mana hendak dituju. Setiap kali berhenti di sebuah perkampungan, dikumpulkanlah orang-orang setempat untuk memberitahu betapa kebesaran Allah terhadap hambaNya dan azab yang akan diterima oleh siapapun yang mengingkarinya. Justeru itu banyaklah orang yang akrab dengannya bahkan ada yang menjadi muridnya.

Pengembaraan melintas padang pasir itu dilakukannya empat belas tahun lamanya. Selama itu pula dia berdoa dan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wata’ala. Nama Ibrahim mulai disebut-sebut orang; dari seorang raja berubah menjadi seorang ahli sufi yang rendah hati.
Pernah dalam perjalanannya dia diuji. Disebabkan kewara’annya itu ada seorang kaya raya datang menemuinya untuk mengambil tabarruk atas dirinya dengan memberi sejumlah uang yang sangat banyak. “Terimalah uang ini, semoga berkah”, katanya kepada Ibrahim.

“Aku tidak mau menerima sesuatupun dari pengemis”, jawab Ibrahim.

“Tetapi aku adalah seorang yang kaya raya”, sergah orang kaya itu.

“Apakah engkau masih menginginkan kekayaan yang lebih besar dari apa yang telah engkau miliki sekarang ini?” tanya Ibrahim.

“Ya, kenapa tidak?” Jawabnya ringkas.

“Simpanlah uang ini kembali, bagiku engkau tidak lebih dari ketua para pengemis. Bahkan engkau bukan seorang pengemis lagi tetapi seorang yang sangat fakir dan peminta-minta.” Tegur Ibrahim.

Kata-kata Ibrahim itu membuat orang kaya itu tersentak seketika. Penolakan pemberiannya oleh Ibrahim disertai dengan kata-kata yang sinis lagi pedas itu turut meninggalkan kesan yang mendalam kepada dirinya. Dengan peristiwa tersebut orang kaya itu bersyukur kepada Allah karena pertemuan dengan Ibrahim itu membuat dirinya sadar akan tipu daya dunia ini. Merasa lalai dengan nafsu yang tidak pernah cukup dari apa yang perolehnya selama ini.

Suatu ketika Ibrahim bin Adham sedang menjahit jubah buruknya di tepi sungai Tigris kemudian dia ditanya oleh sahabatnya, “Engkau telah meninggalkan kemewahan istana dari kerajaanmu yang besar. Tetapi apakah yang engkau dapatkan dari semua yang engkau jalani selama ini?”

Disebabkan pertanyaan yang tidak disangka-sangka itu keluar dari mulut sahabatnya sendiri maka dengan tiba-tiba jarum di tangannya terjatuh ke dalam sungai itu. Sambil menunjuk jarinya ke sungai, Ibrahim berkata, “Kembalikanlah jarumku!”

Tiba-tiba seribu ekor ikan mendongakkan kepalanya ke permukaan air. Masing-masing ikan itu membawa sebatang jarum emas di mulutnya. Ibrahim berkata: “Aku inginkan jarumku sendiri.”

Seekor ikan kecil yang lemah datang mengantarkan jarum besi kepunyaan Ibrahim di mulutnya.
“Jarum ini adalah salah satu di antara imbalan-imbalan yang aku peroleh, karena meninggalkan kerajaan Balkh. Sedangkan yang lainnya belum tentu untuk kita, semoga engkau mengerti.” Kata Ibrahim Adham dengan penuh kiasan.

Ibrahim bin Adham terkenal juga memiliki semangat ukhuwah yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Sahl bin Ibrahim sebagai pernah mengatakan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham, lantas aku sakit. Ia memberikan nafkahnya untuk diriku. Suatu saat aku ingin sekali akan sesuatu, lantas Ibrahim menjual kudanya, dan uangnya diberikan kepadaku. Ketika aku ingin minta penjelasan, ‘Hai Ibrahim, mana kudanya?’ Ia menjawab, ‘Sudah kujual!’ Kukatakan, “Lantas aku naik apa?’ Dijawabnya, ‘Saudaraku, engkau naik di atas leherku.’ Dan benar, sepanjang tiga pos ia menggendongku.”

Pada kesempatan lain Ibrahim bin Adham ditemui oleh khalifah pada masa itu. Khalifah tertarik untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham, karena ketakwaannya. Untuk menguji kebenaran berita itu, Sang Amir (khalifah) menemui Ibrahim bin Adham di masjid.

“Ya Ibrahim, kau kenal aku kan? Aku seorang Amir, apa yang ingin kau minta dariku?” Khalifah membujuk

“Bagaimana aku berani meminta kepadamu, aku malu meminta kepadamu, karena aku sedang berada di rumahNya.” Ibrahim mencoba mengelak.

Sesaat ketika khalifah dan Ibrahim berada di luar masjid, khalifah mengulangi lagi permintaannya,”Nah Ibrahim, sekarang kita telah berada di luar rumah Allah, apa yang ingin kau minta dariku?”

“Aku boleh meminta kepadamu tentang dunia atau akhirat?” pinta Ibrahim

“Tentunya dunia wahai Ibrahim, karena aku tak memiliki akhirat.” Khalifah terperangah atas permintaan Ibrahim.

Ibrahim berpikir sejenak, lalu merespon permintaan khalifah, yang akan mencerminkan ketakwaannya.

“Maaf tuan, kepada yang “Maha Memiliki” dunia saja aku takut untuk meminta dunia, bagaimana aku minta dunia, kepada yang “tak memiliki” dunia??”

Begitulah kehidupan Abu Ishaq–nama panggilannya–Kakeknya dahulu adalah penguasa Khurasan, dan ayahnya pernah menjadi salah satu dari raja Khurasan. Otomatis, Ibrahim mewarisi kerajaan itu. Dia pun seorang Tabi’in yang terkenal. Dia pernah bertemu dengan beberapa dari sahabat Rasulullah SAW dan meriwayatkan hadits-hadits setelah mereka. Dia sangat lancar berbahasa Arab fushkhah. Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin Adham bin Mansur bin Yazid bin Jabir Al-Ajly At-Tamimi. Ia mewarisi kekayaan dan hidup di dalam kemewahan, tetapi akhirnya berkelana selama dua puluh tahun, kemudian dikenal sebagai ulama besar yang bermukim di Makkah, menjadi murid Sufyan ats-Tsaury dan al Fudhail bin ‘Iyadh.

Imam Junayd al Baghdadi ra berkata tentangnya, “Ibrahim adalah kunci ilmu pengetahuan” dan dia sangat dihormati, oleh semua orang yang memiliki ilmu pengetahuan, untuk kehidupannya yang patut dicontoh dan ketajaman kebijakannya kepada seluruh manusia”.

Ibrahim bin Adham meninggal di salah satu pulau yang terletak di laut Mediterania dalam sebuah ekspedisi jihad menaklukkan Byzantium. Diriwayatkan pada malam sebelum wafatnya, beliau pergi ke kamar kecil sebanyak dua puluh kali. Dia juga selalu memperbaharui wudhunya setiap selesai berhajat karena ketika itu ia sedang menderita sakit perut. Kemudian, ketika sedang sakaratul maut, Ibrahim berkata, “Berikan aku panah!,” Para sahabatnya lantas memberi Ibrahim panah, kemudian ia memegang panah tersebut namun saat bersamaan datanglah malaikat Izrail menjemput sedang dia ingin melemparkan panah itu ke pihak musuh.

Dengan begitu, beliau meninggal sebagai syuhada karena sakit perut saat sedang berjihad bersama para tentara lainnya di jalan Allah. Allah swt merahmati hamba shaleh ini yang telah menyiapkan kematiannya dengan sebaik-baiknya maka ketika kematian menjemputnya ia pun menyambutnya dengan hati gembira karena ingin bertemu dengan Tuhannya. Semoga Allah merahmati dan memuliakan kedudukannya. Wallahu a’lam

(Al Mihrab)

https://m.facebook.com/islamunasearch/photos/a.1441186266112429.1073741828.1433990446832011/1722680441296342/?type=3

Ampunan Allah sangat luas. Dosa Setinggi Langit Dan Seluas Samudra Pun Akan Di Ampuni

Suatu hari Umar ibn Khattab r.a. masuk ke rumah Rasulullah saw. sambil menangis.

Ia menceritakan seorang pemuda yang berbuat dosa besar. Setelah menemui rasulullah saw., pemuda itu ditanya, "Wahai anak muda apakah kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu?"
Ia menjawab. "Tidak."


Beliau bertanya lagi, "Apakah kamu membunuh seorang tanpa hak?"
Ia menjawab, "Tidak."


Beliau bersabda lagi, "Sesungguhnya Allah mengampuni dosamu sekalipun dosamu seperti tujuh langit, tujuh bumi, dan gunung yang menjulang tinggi".


Lalu pemuda itu menceritakan perbuatan yang ia lakukan, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah penggali kubur selama tujuh tahun.


Hingga suatu hari ada gadis dari kalangan Ansor yang meninggal. Lalu saya gali kuburkannya dan saya keluarkan jasadnya dari kain kafan yang membungkus tubuhnya.


Tak lama kemudian setan menggoda saya lalu menyetubuhinya.


"Mendengar cerita itu Rasulullah saw. sempat geram. Bagaimana tidak, tega sekali pemuda itu menyetubuhi wanita yang sudah jadi mayat.


"Wahai orang fasik, tempatmu memang sepantasnya di neraka. Pergilah dari sini," pinta beliau.


Pemuda itu pun keluar dan bertaubat kepada Allah Selama 40 Malam. Tak lama kemudian Allah  memerintahkan Malaikat Jibril untuk menyampaikan kabar gembira bahwa taubat pemuda tersebut diterima oleh Allah.


Ampunan Allah sangat luas. Dosa setinggi langit dan seluas samudra pun akan diampuni selama kita tidak melakukan dosa syirik (menyekutukannya).


Hanya saja kita perlu kelapangan hati menghampiri-Nya dengan bertaubat dan tidak mengulang perbuatan maksiat.


Bayangkan Rasulullah saw., manusia yang sudah dijamin surga, setiap hari tetap memohon ampun kepada Allah sebanyak 70 kali.


Lalu bagaimana dengan kita, manusia biasa, yang setiap hari, bahkan setiap detik tidak pernah lepas dari salah dan dosa?


Orang yang gemar berbuat dosa, hatinya tidak tenang dan perbuatannya cenderung tidak terkontrol.


Bagaimana bisa hidup mulia dan bahagia dengan harta melimpah, tapi hasil korupsi, judi, pungli, mark up, dan maksiat lainnya.


Ia selalu was-was perbuatannya ketahuan dan mencoreng reputasinya. 


Apakah bisa harmonis kalau suami atau istri kerap main mata dengan pihak ketiga?


Bagaimana bisa hidup tenang kalau terbiasa mencari kesalahan orang lain?

Selama napas masih berhembus pintu taubat masih terbuka.


Tergantung keinginan diri untuk menghampiri-Nya dengan kesungguhan.


Umur tidak bisa ditebak, seminggu lalu ada tetangga yang meninggal, mungkin hari ini giliran kita yang menunggu.


Banyak orang berumur muda yang sehat bugar, namun meninggal tiba-tiba ketika berolahraga.


Krena misteri, kita harus mempersiapkan diri.


Jangan sampai saat napas sudah tenggorokan, tersengal, tidak mampu lagi berkata-kata, dan malaikat Israil siap menjemput, kita baru tersadar, sebagaimana fir'aun yang ditenggelamkan dilaut merah.

Kerugianlah yang akan kita terima. [reportaseterkini]


Sumber  :  99 Resep Hidup Rasulullah Oleh Abdillah F.Hasan

http://www.reportaseterkini.com/2015/11/ampunan-allah-sangat-luas-dosa-setinggi.html


Editor:#dbc

Pertahankan JilbabMu


SAUDARIKU yang dirahmati Allah Swt., berjilbab saat ini mulai digandrungi kaum hawa.


Bisa jadi ada yang hanya ikut-ikutan trend atau juga yang memang memahami dan ingin melaksanakan perintah-Nya.


Berbagai jenis dan model jilbab saat ini banyak didapati, ada yang sesuai dengan syariat ada juga yang tidak.


Bahkan terbilang syubhat jika dipakai, jilbab memang digunakan tapi tidak terhulur sampai ke dada serta bagian kaki malah tampak ketat dan terlihat.


Banyak kaum hawa yang menyangka bahwa tidak memakai jilbab adalah dosa kecil.


Yang dapat tertutupi dengan pahala yang banyak dari shalat, puasa, zakat dan haji yang mereka lakukan.


Ini adalah cara berpikir yang salah dan harus diluruskan.


Kaum wanita yang tidak memakai jilbab, tidak saja telah berdosa besar kepada Allah, tetapi telah hapus seluruh pahala amal ibadahnya.


Seperti yang termaktub dalam firman Allah SWT;


“….. Barang siapa yang mengingkari hukum-hukum syariat Islam sesudah beriman, maka hapuslah pahala amalnya bahkan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5).


Na’udzubillah. Semoga kita terjauh dari adzab Allah SWT, ada sebuah kisah menggetarkan tentang seorang perempuan yang menganggap bahwa dosa meninggalkan jilbab itu adalah dosa kecil.


Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang menjalankan ibadah sunnah.


Hanya satu kekurangannya, ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya.


Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan menjawab, ”Insya Allah yang penting hati dulu yang berjilbab”.

Ini adalah jawaban yang sering terdengar dari kaum Hawa. Sudah banyak orang menanyakan maupun menasihatinya, tapi jawabannya tetap sama.

Hingga di suatu malam, ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai macam bunga bermekaran. 

Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas dipinggir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya.

Ia tak sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang terlihat juga menikmati keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. 

Wajahnya sangat bersih seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.

“Assalamu’alaikum, Saudariku….”

“Wa’alaikum salam. Selamat datang, Saudariku.”

“Terima kasih. Apakah ini surga?”

Wanita itu tersenyum. “Tentu saja bukan, Saudariku. Ini hanyalah tempat menunggu sebelum ke surga.”

“Benarkah? Tak bisa kubayangkan seperti apa indahnya surga jika tempat menunggunya saja sudah seindah ini.”

Wanita itu tersenyum lagi, ”Amalan apa yang bisa membuatmu kemari, Saudariku?”

“Aku selalu menjaga waktu shalat dan aku menambahnya dengan ibadah sunnah.”

“Alhamdulillah…”

Tiba-tiba jauh di ujung taman ia melihat sebuah pintu yang sangat indah. Pintu itu terbuka. Dan ia melihat beberapa wanita yang berada di taman mulai memasukinya satu-persatu.

“Ayo kita ikuti mereka,” kata wanita itu setengah berlari.

“Ada apa di balik pintu itu?” katanya sambil mengikuti wanita itu.

“Tentu saja surga, Saudariku,” larinya semakin cepat.

“Tunggu…tunggu aku…” teriak si wanita itu. Dia berlari namun tetap tertinggal, padahal wanita itu hanya setengah berlari sambil tersenyum kepadanya.

Ia tetap tak mampu mengejarnya meski ia sudah berlari. Ia lalu berteriak, “Amalan apa yang telah kaulakukan hingga engkau begitu ringan?”

“Sama dengan engkau, Saudariku,” jawab wanita itu sambil tersenyum

Wanita itu telah mencapai pintu. Sebelah kakinya telah melewati pintu. 

Sebelum wanita itu melewati pintu sepenuhnya, ia berteriak pada wanita itu. “Amalan apalagi yang ka lakukan yang tidak kulakukan?”

WANITA itu menatapnya dan tersenyum. Lalu berkata, “Apakah kau tak memperhatikan dirimu, apa yang membedakan dengan diriku?”

Ia sudah kehabisan napas, tak mampu lagi menjawab.

“Apakah kau mengira Rabbmu akan mengijinkanmu masuk ke Surga-Nya tanpa jilbab menutup auratmu?”

Tubuh wanita itu telah melewati pintu. 

Tapi tiba-tiba kepalanya mengintip keluar, memandangnya dan berkata, ”Sungguh sangat disayangkan amalanmu tak mampu membuatmu mengikutiku memasuki surga ini untuk dirimu.


Cukuplah surga hanya sampai hatimu karena niatmu adalah menghijabi hati.”

Ia tertegun lalu terbangun, beristighfar lalu mengambil air wudhu.

Ia tunaikan shalat malam. Menangis dan menyesali perkataannya dulu. Berjanji pada Allah sejak saat itu ia akan menutup auratnya.

Saudariku, “Sesungguhnya seorang mukmin dosanya itu bagaikan bukit besar yang kuatir jatuh padanya, sedang orang kafir memandang dosanya bagaikan lalat yang hinggap di atas hidungnya.”

Sekarang kaum wanita yang tak mau berjilbab, dapat menanyakannya ke dalam hati nurani mereka masing-masing.

Apakah terasa berdosa bagaikan gunung yang sewaktu-waktu jatuh menghimpitnya atau bagaikan lalat yang hinggap dihidung mereka?

Kalau kaum wanita yang tak mau memakai jilbab, menganggap enteng dosa mereka bagaikan lalat yang hinggap dihidungnya, maka tak akan bertobat di dalam hidupnya.

Atau dalam perkataan lain tidak ada perasaan takut kepada Allah, sebab itu mereka kekal didalam neraka. Dan mereka tak akan mendapatkan syafaat atau pertolongan Nabi Muhammad SAW nanti di akhirat.

Sesungguhnya banyak kaum wanita yang hapus pahala shalatnya yang hidup di zaman ini dan di zaman yang akan datang.

Semata-mata karena mereka tidak memakai jilbab didalam hidup mereka.

Telah diisyaratkan Nabi Muhammad SAW dikala hidup beliau sebagaimana bunyi hadits dibawah ini yang artinya sebagai berikut:

“Ada satu masa yang paling aku takuti, dimana ummatku banyak yang mendirikan shalat, tetapi sebenarnya mereka bukan mendirikan shalat, dan neraka jahanamlah bagi mereka”.

Dari hadits diatas, ada sepenggal kalimat “sebenarnya bukan mendirikan shalat” maksudnya ialah nilai shalat mereka tidak ada di sisi Allah.

Karena telah hapus pahalanya disebabkan kaum wanita mengingkari ayat tentang perintah jilbab.

Begitulah Nabi Muhammad SAW memberi peringatan kepada kita semua, bahwa banyak ummatnya dari kaum wanita yang masuk neraka biarpun mereka mendirikan shalat, tetapi tidak memakai jilbab semasa hidupnya.

Apakah kita yang mengaku mencintai sesama ummat Nabi Muhammad SAW akan diam berpangku tangan membiarkan kaum wanita berada dalam dosa yang bergelimpangan? Tentu tidak.

Mari saling mengingatkan.

Kisah Waliyullah Beristri Cerewet

Alkisah, seorang shalih mengunjungi rumah saudaranya yang juga terkenal shalih. Sebut saja Dullah dan Darsun. Setidaknya, setiap tahun Dullah pergi menjumpai saudaranya yang bernama Darsun. Kali ini, hampir saja Dullah tak bertemu Darsun. Begitu mengetuk pintu, yang terdengar adalah suara keras istri Darsun,

“Siapa?” tanya istri Darsun

“Saya saudara suamimu, datang untuk mengunjunginya” jawab Dullah

“Suamiku sedang mencari kayu. Semoga ia tidak dikembalikan Allah ke rumah ini lagi.” Dari balik pintu itu istri Darsun kemudian terus mencaci-maki suaminya habis-habisan.

Dullah hanya bisa menelan ludah, hingga akhirnya ia melihat Darsun pulang membawa kayu bakar bersama seekor singa. Ya, Darsun meletakkan kayu bakar itu di atas punggung seekor singa yang terkenal buas itu.

Sembari menurunkan kayu bakar dari punggung singa, Darsun berujar kepada istrinya, “Kembalilah ke dalam. Semoga Allah memberkatimu,” katanya yang lantas mempersilahkan Dullah masuk ke dalam rumah.

Sambil mengucapkan salam, Darsun menampakkan air muka gembira menyambut kunjungan saudaranya itu. Tak lupa ia sajikan makanan untuk Dullah. Pertemuan pun terasa cair dan hangat.

Dullah lalu berpamitan. Tapi satu hal yang tetap menancap di pikiran Dullah: kekagumannya terhadap kesabaran Darsun menghadapi istrinya yang super cerewet, gemar mengolok suami sendiri, bahkan seperti melaknatnya. Darsun tak membalas lemparan kotoran dengan lemparan serupa.

Tahun berikutnya, Dullah berkunjung lagi. Sesaat selepas mengetuk pintu, sambutan ramah datang dari istri Darsun. Ucapan ‘Selamat datang’ meluncur dan disusul dengan pujian terhadap tamu. Perempuan itu juga memuji Darsun sembari menunggunya pulang.

Seperti biasa, Darsun pulang dengan membawa kayu bakar. Hanya saja, hari itu ia tak lagi bersama seekor singa. Beban kayu bakar itu ia pikul sendiri di atas pundak. Darsun terlihat kelelahan. Tapi, sambutan yang menyenangkan terhadap saudaranya itu tidak berubah.

Tentang dua suasana berbeda yang ia alami itu, sebelum pamitan, Dullah memberanikan diri bertanya kepada Darsun. Mengapa perempuan yang menyambutnya berbeda dari perempuan tahun sebelumnya? Kemana pula seekor singa perkasa yang dulu menggotong kayu bakar itu?

Darsun pun menjelaskan, “Saudaraku, istriku yang berperilaku tercela itu telah meninggal dunia. Aku berusaha sabar atas perangai buruknya, sehingga Allah memberi kemudahanku untuk menaklukkan singa. Karena kesabaranku itu. Lalu aku menikah lagi dengan perempuan shalihah. Aku sangat berbahagia dengannya. Hingga singa itu dijauhkan dariku, dan memaksaku memikul sendiri kayu bakarku.”

Kisah di atas dinukil dari kitab Uqudul Lujjain karya Syekh Nawawi al-Bantani. Apa yang diceritakan Syekh Nawawi ini tentu bukan ingin melegitimasi perangai buruk seorang istri. Karena dalam kitab yang sama, Syekh Nawawi berulang kali mengharuskan perempuan bersikap patuh dan menjaga tata krama terhadap suami.

Pesan moral kisah di atas dititikberatkan kepada cara suami menyikapi perilaku istri. Ketika situasi mendesak, saat suami menghadapi kemungkinan terburuk, maka bersabar adalah langkah paling bijak. Sabar berarti kuat, bukan lemah, apalagi kalah. Sabar juga bisa menjadi modal dasar bagi usaha untuk memperbaiki. Kemenangan dan kemuliaan Darsun dalam kisah tersebut tercermin dari keistimewaan yang ia peroleh, sebagai imbalan dari kesabarannya yang luar biasa itu.

Hal sama juga bisa terjadi sebaliknya, yakni ketika istri terpaksa menghadapi perilaku suami yang jauh dari dambaan. Kesabaran adalah pilihan utama. Karena, sebagaimana dikutip Syekh Nawawi, Rasulullah saw. pernah bersabda :

مَنْ صَبَرَ عَلىَ سُوْءِ خُلُقِ زَوْجَتِهِ أَعْطَاهُ اللهُ تَعَالَى مِثْلَ مَا أَعْطَى أَيُّوْبَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ مِنَ الأَجْرِ وَالثَّوَابِ

“Barangsiapa yang bersabar atas perangai buruk istrinya, maka Allah akan memberinya pahala yang setimpal dengan anugerah yang diberikan kepada Nabi Ayyub as.”

Wallahu A’lam