Gambar hanya Ilustrasi
Pagi itu, matahari seakan ikut tersenyum, memberikan semangat pada Kang Qomar yang penuh gairah berangkat mengisi kajian di dusun Bandung Kalangan. Pagi yang cerah membawa langkahnya menempuh jalan berbatu hutan menuju tempat yang sudah menanti kedatangan ilmunya.
Sebagaimana biasa, Kang Qomar mempersiapkan segalanya dengan teliti: materi kajian, laptop, tripod, hingga HP sebagai kamera. Setelah semua siap, ia pun melangkah, melewati perjalanan panjang hingga akhirnya tiba di Masjid Baitul Khikmah, tempat kajian itu diadakan. Di sana, anak-anak muda IPNU dan IPPNU Kalangan, serta beberapa perwakilan dari desa tetangga, telah berkumpul, menyambutnya hangat dengan jabat tangan penuh penghormatan.
Waktu berlalu dalam canda tawa, keakraban, dan obrolan ringan yang terasa kental. Hingga akhirnya, tibalah saatnya Kang Qomar menyampaikan materi. Suasana pun menjadi khidmat, para peserta menyimak meski ada yang mencuri pandang ke ponsel mereka, atau beberapa tampak berkutat dengan kantuk yang berat.
Sekitar satu jam berlalu, materi tersampaikan dengan sempurna, dan acara pun diakhiri. Seperti biasa, sesi ramah tamah dengan para tokoh setempat menutup pertemuan mereka. Saat langit mulai meredup, Kang Qomar berpamitan untuk pulang, merasa hari itu telah menorehkan manfaat besar.
Namun, beberapa minggu setelahnya, pagi yang tenang itu tiba-tiba berubah menjadi momen tak terduga. Kang Qomar, yang tengah bersantai di aulanya, mendengar dering HP. Di ujung telepon, suara saudaranya mengabarkan, “Kang, kapan terakhir kontak dengan Bang Tegor?” Kang Qomar, yang tak merasa ada apa-apa, menjawab, “Sekitar dua minggu yang lalu.”
Sejenak hening. Lalu terdengar suara menggelegar di telinganya, “Bang Tegor positif Covid-19, Kang. Mohon Kang Qomar untuk istirahat dari kegiatan kajian dulu ya.” Berita itu membuatnya terdiam, kata-kata seolah tersangkut di tenggorokan. "Iya dek, matur suwun," jawabnya pelan, menerima kenyataan.
Hari-hari berikutnya semakin sunyi, mencekam. Berita demi berita duka mengiringi, hingga hampir setiap hari ada kabar kematian yang datang. Suasana kampung seakan berubah menjadi horor tak kasat mata, mengoyak ketenangan yang pernah ada.
Di tengah tekanan itu, Kang Qomar menyadari bahwa kini ia dan warga harus beradaptasi dengan sebuah kehidupan baru yang penuh pembatasan. Cuci tangan, masker, larangan berkerumun, semua harus dijalani. Sebagai seorang aktivis dakwah, ada perasaan berontak dalam dirinya; rasanya perjuangannya baru separuh jalan. Masih banyak yang membutuhkan ilmunya, namun jalan terasa dibendung oleh pandemi ini.
Lambat laun, perasaan memberontak itu sirna berganti kesadaran mendalam. Pandemi ini, ia sadari, bukan hanya bencana bagi kampungnya, tapi ujian yang menimpa dunia. Sebuah pesan dari Allah yang menuntut direnungi, dipahami, dan ditaati.
Kang Qomar melihat makna di balik semua aturan baru ini. Mungkin Allah ingin kita diam sejenak, meresapi kekurangan diri, belajar dari alam yang kini menyampaikan pesannya lebih jelas daripada para ulama.
Saat ini, kita dipaksa menutup mulut dengan masker, mungkin agar kita berhenti mencaci, berhenti berkata sia-sia yang hanya menyakitkan hati saudara. Kita dilarang berkerumun, mungkin karena Allah melihat di dalam kerumunan kita, lebih banyak terjadi gunjingan daripada ibadah. Kita dipaksa menjaga jarak, mungkin sebagai tanda bahwa niat silaturahim kita selama ini perlu diperiksa ulang—apakah tulus atau sekadar misi mengungkit-ungkit harta warisan.
Dalam diamnya, Kang Qomar sadar: pandemi ini adalah kajian alami yang Allah berikan, sebagai pengingat, sebagai teguran, sebagai ruang untuk muhasabah diri. Tak ada yang lebih tepat selain mengucap syukur dan mengambil i’tibar, pelajaran yang telah Allah hamparkan di depan mata kita semua.
Kang Qomar terpekur di sudut aulanya, merenungi makna yang ia temukan di balik cobaan yang tengah melanda. Dalam hening, ia merasa Allah tengah berbicara melalui segala peristiwa yang terjadi, mengingatkan manusia yang sering kali lupa di tengah hiruk pikuk dunia.
Seiring berjalannya waktu, Kang Qomar mulai melihat perubahan pada dirinya dan masyarakat sekitarnya. Mereka semakin disiplin dalam menjaga kesehatan, semakin peduli pada satu sama lain, bahkan semakin sadar akan pentingnya doa dan introspeksi dalam setiap langkah. Walau hati kecilnya merindukan suasana kajian dan tatap muka bersama para santri, ia menyadari bahwa tugasnya kali ini bukanlah mengajar, tapi menunjukkan keteladanan dalam menjalani ujian dengan sabar dan tawakal.
Di suatu pagi, ketika ia sedang menyusun catatan kajiannya di aula, datang beberapa santri yang merindukan bimbingan dan arahan darinya. Dengan hati-hati dan menjaga jarak, Kang Qomar berbicara kepada mereka, "Pandemi ini adalah ujian kesabaran kita. Allah menguji sejauh mana kita mampu menjaga amanah kesehatan yang telah Ia berikan."
Santri-santri itu mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk memahami pesan yang ingin disampaikan Kang Qomar. “Ingatlah, perjuangan kita tidak hanya terbatas dalam kajian dan pertemuan, tetapi juga dalam disiplin menjaga diri dan lingkungan sekitar. Kita bisa tetap berdakwah dengan cara menjaga kesehatan kita, mengedukasi yang lain, dan selalu memohon kepada Allah agar kita diberi keteguhan.”
Seiring berjalannya waktu, Kang Qomar semakin memahami bahwa ujian ini membawa pesan besar yang lebih dalam dari sekadar cobaan kesehatan. Ia merasa bahwa pandemi ini seolah memurnikan niat dan tujuan dakwahnya—bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu, tetapi juga mempraktikkan sikap peduli dan sabar yang menjadi esensi dakwah itu sendiri.
Ia pun berdoa dalam hatinya, "Ya Allah, jadikan kami hamba-Mu yang tabah dan mampu membaca setiap hikmah yang Engkau turunkan. Semoga kami bisa melewati ujian ini dengan tetap berada dalam petunjuk-Mu."
Hari demi hari berlalu, dan perlahan masyarakat mulai beradaptasi dengan kebiasaan baru yang mereka anggap berat pada awalnya. Kang Qomar menjadi panutan bagi masyarakat sekitar, tidak hanya karena ilmunya, tetapi karena keteladanannya dalam menghadapi pandemi ini dengan penuh ketenangan dan keyakinan.
Pandemi itu akhirnya mengubah wajah dakwah di desanya, bukan lagi soal pertemuan fisik semata, tetapi soal kekuatan iman dan solidaritas di hati tiap insan. Kang Qomar tahu, ada misi besar dari Allah di balik cobaan ini—untuk menjadikan umat yang lebih sabar, lebih peka, dan lebih peduli pada sekitar. Di akhir doanya, ia selalu berkata, "Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah atas kajian hidup yang Kau turunkan ini. Semoga kami semua dapat mengambil pelajaran dan menjadi lebih dekat pada-Mu."
0 Post a Comment:
Posting Komentar