Senin, Januari 26, 2009

USULUL FIQHIYAH II

Mahkum Fihi

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya
Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat:
Perbuatan atau pekerjaan itu mungkin terjadinya. Karena mustahil suatu perintah disangkutkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
Dapat diusahakan oleh hamba, dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khithab itu.
Diketahui bahwa perbuatan itu dapat dibedakan oleh orang yang diberi tugas, baik secara pribadi maupun bersama orang lain dengan jelas.
Mungkin dapat diketahui oleh orang yang diberi tugas bahwa pekerjaan itu perintah Allah, sehingga ia mengerjakannya mengikuti sebagaimana diperintahkan. Yang dimaksud dengan yang diketahui di sini ialah ada kemungkinan untuk dapat diketahui dengan jalan memperhatikan dalil-dalil dan menggunakan nadzar.
Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadat masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:
Nadzar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakan dengan qasad taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
Pokok bagi iradat taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang penting sebagaimana tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah yang lain, sebagai berikut:
Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil dilaksanakan itu adakalanya suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada, dan mustahil menurut adat, yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup melaksanakannya.
Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk di bawah kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada dua macam:
Yang kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa. Secara akal, tidak diragukan lagi tentang kebolehan taklif dengan bahagian pertama, karena mungkin terjadi sebagaimana tidak dapat dibantah lagi bahwa bukanlah syara' bermaksud memberatkan mukallaf itu dengan beban yang sangat menyukarkan. Dalam kenyataan tidak terjadi taklif yang demikian itu. Membebankan para mukallaf dengan beban bagian yang kedua, itulah yang terjadi.
Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran yang luar biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang demikian ada kalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri, padahal perbuatan itu sendiri menghendaki dan adakalanya juga bukan karena kehendak mukallaf dan ikhtiarnya. Nabi menyuruh orang yang bernadzar puasa dengan berdiri di bawah terik matahari agar menyempurnakan puasanya dan mencegah berdiri di bawah terik matahari.
Macam-macam perbuatan yang digantungkan hukum kepadanya ada beberapa macam, yaitu:
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hak Allah semata-mata. Yaitu segala sesuatu yang mendatangkan manfaat umum, oleh karenanya tidak hanya kepada seseorang tertentu saja. Dikatakan pekerjaan-pekerjaan itu hak Allah karena mengingat kepentingannya yang besar dan kepada kelengkapan manfaat daripada pekerjaan-pekarjaan itu. Hal itu terbagi kepada beberapa bagian:
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang ibadat semata-mata, seperti iman, shalat, shaum, haji, umrah dan jihad.
Pekerjaan ibadat yang di dalamnya terasa adanya beban yakni diwajibkannya lantaran orang lain, seperti nafkah.
Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan lantaran orang lain tetapi mengandung pengertian ibadat, seperti membayar 1/10 (sepersepuluh) dari hasil tanah 'usyur.
Pekerjaan-pekerjaan yang diberatkan karena orang lain dan mengandung paksaan, seperti membayar upeti tanah. Lantaran membayar upeti terpaksalah kita mengerjakan tanah itu.
Pekerjaan-pekerjaan yang tidak tersangkut dengan tanggungan seseorang, seperti 1/5 (seperlima) dari harta rampasan barang logam dan barang-barang galian yang didapati dari simpanan orang dahulu. Seperlima itu diambil dari harta yang didapati dan diberikan kepada mereka yang telah ditetapkan Allah, sebagai penyampaian hak Allah, bukan sebagai ibadat kita.
Pekerjaan-pekerjaan yang semata-mata paksaan, seperti hukuman siksa, zina, mencuri, meminum minuman yang memabukkan.
Pekerjaan-pekerjaan yang dipandang setengah paksaan, seperti mengharamkan pembunuh menerima pusaka dari orang yang dibunuh.
Pekerjaan-pekerjaan yang mengandung ibadah dan paksaan, seperti kaffarah, dikatakan ibadah, karena yang dijadikan kaffarah itu ibadah, umpamanya puasa, memerdekakan budak dan disyaratkan niat. Dipandang paksaan adalah karena kaffarah itu lantaran berbuat kesalahan.
Pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata. Pekerjaan-pekerjaan yang dihukum hak hamba semata-mata seperti membayar harga barang yang kita rusakkan, merniliki barang yang kita beli dan sebagainya.
Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak Allah lebih kuat. Bagian ini diumpamakan hukum menukas zina. Apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu mendatangkan kebaikan kepada masyarakat, nyatalah bahwa ia adalah hak Allah dan apabila ditinjau bahwa hukum tukas itu dilakukan untuk menolak keaiban dari orang yang ditukas nyatalah bahwa ia itu hak hamba. Lantaran hak Allah di sini lebih keras, tidak boleh yang ditukas itu menggugurkan hukum itu dari orang yang menukas, dan tidak boleh hukum itu dilaksanakan oleh yang ditukas.
Pekerjaan-pekerjaan yang terkumpul padanya hak Allah dan hak hamba, akan tetapi hak hamba lebih kuat.Bagian ini ditampilkan dengan hukum qishash. Oleh karena dalam hal ini hak hamba lebih kuat, maka hamba yang bersangkutan boleh mengambil diat saja atau memaafkan saja.


Mahkum Bihi
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.

1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.
Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Artinya: Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.

2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamai tathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.

3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.

4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.

5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
Berdasarkan penerangan syara;
Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.

6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.

7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu. Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya. Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor. Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah. Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.

8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.

9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah. Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.

10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
2. Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat.

Wallohu A'lamu Bissowabi......

USULUL FIQHIYAH

USULUL FIQHIYAH

:: As-Sunnah
Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

:: Al-Kitab
Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya.

:: Sumber Hukum

Sumber hukum syara' ialah dalil-dalil syar'iyah (al-Adillatusy Syar'iyah) yang daripadanya diistinbathkan hukum-hukum syar'iyah.

:: Mahkum Fihi

Yang disebut mahkum fihi ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya.

:: Mahkum Bihi

Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.

:: Al-hakim

Menurut para ahli ushul, bahwa yang menetapkan hukum (al-Hakim) itu adalah Allah SWT, sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum AlIah ialah para rasuI-Nya.

:: Sekitar Hukum

Yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan perbuatan manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.

:: Madzhab Sahabat

Pendapat sahabat dapat dijadikan hujjah, bila pendapat sahabat tersebut diduga keras bahwa pendapat tersebut sebenarnya berasal dari Rasulullah SAW.
:: Saddudz Dzari’ah
Tujuan penetapan hukum secara saddudz dzarî'ah ini ialah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan perbuatan maksiat. Hal ini sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas mukallaf, yaitu untuk mencapai kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan.

:: Istishhab

Para Ulama memahami Istishhab dengan berbagai versi, diantaranya, Istishhab diartikan segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
:: Syar’un man qablana
Yang dimaksud dengan syar'un man qablana, ialah syari'at yang dibawa para rasul dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syari'at Nabi Ibrahim AS, syari'at Nabi Musa AS, syari'at Nabi Daud AS, syari'at Nabi Isa AS dan sebagainya

:: Urf
'Urf merupakan sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan).

:: Mashlahat Mursalah

Mashlahat mursalah yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan


:: Istihsan

Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara' dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum"

:: Qiyas

Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam

:: Ijma’
Obyek ijma' ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalarn al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits

:: Dalil Ijtihadi

Pada pembahasan ini akan diterangkan dalil-dalil ijtihadi, yaitu dalil-dalil yang bukan berasal dari nash, tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash

:: Aliran-Aliran dalam Ilmu Ushul Fiqh

Perbedaan pendapat yang sering terjadi diantara para ulama dalam hal penetapan istilah untuk suatu pengertian penting.

:: Kegunaan mempelajari ilmu Ushul Fiqh

Dimaksudkan dengan adanya kaidah-kaidah dalam Ilmu Ushul Fiqh, yaitu untuk diterapkan pada dalil-dalil syara' yang terperinci dan sebagai rujukan bagi hukum-hukum furu' hasil ijtihad para ulama.

:: Objek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh

Objek pembahasan dari Ushul fiqh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad.

:: Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.

:: Sejarah Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul Fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan dalam usaha untuk memperoleh hukum-hukum syara' tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.Dan usaha untuk memperoleh hukum-hukum tersebut, antara lain dilakukan dengan jalan ijtihad.

:: Pengertian dan Ruang Lingkup Ushul Fiqh
Pengetahuan Fiqh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu ushul Fiqh. Menurut aslinya kata "Ushul Fiqh" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab "Ushulul Fiqh" yang berarti asal-usul Fiqh. Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
As-Sunnah, menurut bahasa artinya cara/sistem, baik cara itu Nabi Muhammad SAW, atau juga lawan dari bid'ah.
Ada dasarnya, sebagaimana dinyatakan secara mutlak oleh Rasulullah:

Artinya:
"Hendaklah engkau berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku -menurut riwayat yang lain- yaitu Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sesudahku, pegangilah itu dengan taring gigimu teguh-teguh."
Adapun menurut istilah ulama Ushul as-Sunnah itu ialah:

Artinya:
"Apa yang dibekaskan oleh Nabi Muhammad SAW, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan."
Demikian menurut Dr. Muh. Adib Sholeh, atau menurut Syaikh Muhammad al-Khudlari:

Artinya:
"Apa yang datang dinukil dari Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan atau pengakuan."
1. Kehujjahan as-Sunnah.
Berulang-uIang Allah memerintahkan kita di daIam al-Qur'an agar kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya. Misalnya saja firman Allah yang berbunyi:

Artinya:
"Katakanlah, taatlah engkau sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya." (Ali Imran: 32)

Artinya:
"Siapa yang taat kepada rasul berarti taat kepada Allah." (an-Nisâ': 80)

Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu, apabia engkau sekalian berselisih, kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya." (an-Nisâ': 59)

Artinya:
"Dan tidaklah pantas bagi seorang lelaki mukmin dan juga tidak pantas bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya memutus sesuatu untuk melakukan suatu pilihan." (al-Ahzab: 36)
Demikian pula di dalam surat yang lain Allah berfirman:

Artinya:
"Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman sampai mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam diri mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kami berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisâ': 65)
Juga Allah berfirman:

Artinya:
"Dan apa yang diberikan rasul kepadamu, terimalah ia, dan apa yang dilarang olehnya atasmu, tinggalkanlah." (al-Hasyr: 7)
Ayat-ayat itu jelas mewajibkan kita taat kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
Ijma' para sahabat juga menentukan demikian. Mereka, sesudah Rasulullah wafat, melakukan ketentuan-ketentuan al-Qur'an dan juga ketentuan as-Sunnah. Dan ini nampak jelas dalam tindakan para Khulafaur Rasyidin.
Abu Bakar apabila tidak hafal dan mengetahui dalam sunnah, beliau keluar mencari sahabat-sahabat yang lain menanyakan, apakah mereka mengetahui sunnah Nabi atas masalah yang sedang dihadapi itu? Bila ada, sunnah itulah yang digunakan untuk memutuskan. Demikian pula Umar, Utsman, Ali dan sahabat-sahabat yang lain dan para tabi'in serta tabi'it tabi'in selanjutnya.
Di samping itu di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini tidak lain kita harus melihat kepada as-Sunnah.
Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:

Artinya:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya, as-Sunnah itu bukan merupakan hujjah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Karena itu, as-Sunnah, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya.
Apabila kita teliti, as-Sunnah terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukum yang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.
Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.
2. Pembagian Sunnah menurut sanad.
Sunnah dilihat dari sudut sanad dibagi dua, yaitu mutawatir dan ahad. Golongan Hanafi menambahkan satu lagi, yaitu masyhur atau juga dinamakan mustafidl.
Sunnah yang mutawatir ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya perawi ini tidak mungkin bersepakat untuk berbuat bohong atau dusta. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak, jujur serta berbeda-bedanya keadaan serta lingkungan mereka. Dari kelompok ini, kemudian sampai juga kepada kelompok yang lain, yang sepadan dan setingkat keadaannya dengan kelompok yang terdahulu, dan kemudian sampailah kepada kita. Mereka, kelompok perawi ini diketahui menurut kebiasaannya, tidak mungkin bersepakat untuk melakukan kedustaan, mereka jujur dan terpercaya.
Sunnah ahad ialah sunnah yang diriwayatkan oleh satu orang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai pada tingkatan tawatir. Dari seorang perawi ini diriwayatkan oleh seorang perawi yang seperti dia dan sampai kepada kita dengan sanad tingkatan-tingkatannya ahad, bukan merupakan kelompok yang merupakan tingkatannya itu mutawatir. Hadits-hadits yang demikian biasanya disebut juga dengan Khabarul wahid.
Sunnah yang masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh seorang atau dua orang atau sekelompok sahabat Rasulullah yang tidak sampai pada kelompok tawatir (perawi hadits mutawatir), kemudian kelompok dari kelompok-kelompok tawatir itu meriwayatkan hadits atau sunnah tersebut dari satu orang perawi ini atau beberapa orang perawi. Dan dari kelompok ini diriwayatkan oleh kelompok lain yang sepadan dengannya, sehingga sampai kepada kita dengan sanad yang kelompok pertamanya mendengar dari Rasulullah, atau menyaksikan perbuatannya oleh seorang atau dua orang, akan tetapi mereka ini tidak sampai kepada tingkatan tawatir, dan semua tingkatannya itu adalah kelompok-kelompok tawatir. Termasuk di dalam tingkatan ini ialah sebagian hadits yang diriwayatkan Umar bin Khattab atau Abdullah bin Mas'ud atau Abu Bakar. Kemudian salah seorang dari mereka diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bermufakat untuk melakukan kedustaan. Contohnya:

Artinya:
"Amalan itu lantaran niat atau karena niat.", atau

Artinya: "Islam ditegakkan di atas lima sendi."
Perbedaan antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah yang masyhurah ialah yang mutawatir setiap lingkungan mata rantai sanadnya terdiri dari kelompok tawatir, sejak awal menerima dari Rasulullah hingga sampai kepada kita, sedang yang masyhur lingkungan mata rantai sanadnya yang pertama bukanlah sekelompok diantara kelompok-kelompok tawatir, bahkan diterimanya oleh seorang atau dua orang atau sekelompok yang tidak sampai kepada tingkatan tawatir. Hanya saja keseluruhan lingkungan itu merupakan kelompok tawatir.

2. Tentang qath'i dan dhanni
Dari datangnya sunnah mutawatirah, itu pasti qath'i datang dari Rasulullah SAW, karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan itu menimbulkan ketetapan dan kepastian tentang sahnya berita tersebut. Sedang sunnah yang masyhurah, pasti datangnya dari sahabat yang telah menerimanya dari Rasulullah karena tawatir (bertubi-tubi)nya pemindahan dan penukilan dari para sahabat mereka, akan tetapi hal itu tidak pasti datangnya dari Rasulullah karena yang pertama kali menerimanya bukanlah kelompok tawatir. Karena itu kelompok Hanafiyah menganggap sunnah masyhur ini sebagai sunnah yang mutawatirah. Mereka berpendapat bahwa tingkatan sunnah masyhurah ini antara sunnah yang mutawatirah dan sunnah ahad.
Sunnah ahad adalah dhanni, sebab sanadnya tidak mendatangkan kepastian. Dapat diterima sebagai pasti apabila ada syarat-syaratnya memenuhi. (Misalnya perawinya dewasa, Islam, adil dan teliti).
Dari segi pengertian (dalalah) ketiga macam sunnah itu kadang-kadang pasti dalalahnya, apabila nashnya tidak ada kemungkinan untuk dita'wil, kadang-kadang dhanni dalalahnya apabila nashnya mungkin untuk dita'wilkan. Semua ini merupakan hujjah yang harus diamalkan.
Sunnah Rasulullah, ditinjau dari perbuatan beliau dibagi atas sunnah qauliyyah, fi'liyyah dan taqririyyah.
Yang dimaksud dengan sunnah qauliyyah ialah ucapan Nabi tentang sesuatu, sunnah fi'liyyah ialah perbuatan dan tindakan Nabi, dan sunnah taqririyyah itu ialah pengakuan, persetujuan atau sikap diamnya Nabi atas sesuatu perbuatan orang lain, sedangkan beliau mengetahuinya.
Ada pula yang menyebutkan sunnah hamiyah, yaitu sesuatu yang ingin dilakukan oleh Nabi, tetapi belum sampai beliau lakukan.
Sunnah kadang-kadang disebut juga dengan hadits atau khabar. Karena itu sudah umum juga disebut hadits mutawatir atau khabar mutawatir, hadits atau khabar ahad dan selanjutnya.
Sunnah-sunnah Rasulullah itu wajib kita laksanakan, menjadi hujjah bagi umat Islam, apabila ia keluar dan datang dari Rasulullah dalam kualitas beliau sebagai rasul, sebagai utusan Allah yang membawa syari'at, dan yang dengannya bertujuan membentuk hukum atau syari'at Islam Karena Nabi Muhammad SAW itu juga adalah manusia, sehingga bagaimana beliau duduk, bagaimana beliau tidur dan seumpamannya, tidaklah menjadi hujjah bagi kita. Disamping itu ada pula sunnah atau perbuatan yang khusus bagi Nabi, dan untuk itu kita tidak melakukannya, seperti isterinya lebih dari empat. Umat Islam tidak boleh melakukan perkawinan lebih dari empat orang isteri.
Hadits atau khabar ahad tersebut, menurut jumlah orang perawinya, dibagi pada sunnah yang masyhurah, atau hadits mutawatir, aziz dan gharib.
Dikatakan masyhur atau musta'fidl, apabila diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih tetapi tingkatannya tidak mutawatir. Hadits yang masyhur ini ada yag shahih, dan ada pula yang tidak shahih.
Hadits aziz ialah yang diriwayatkan oleh dua, sekalipun dalam satu tingkatan, meskipun sesudah itu diriwayatkan oleh orang banyak.
Hadits gharib ialah hadits yang diriwayatkan oleh perseorangan. Disamping pembagian tersebut, ditinjau dari segi kualitasnya, hadits ahad dibagi kepada hadits shahih, hasan dan dha'if.
Hadits shahih ialah hadits yang bersambung-sambung sanadnya dari permulaan sampai akhir diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan teliti (dhabith) dari sesamanya pula dan di dalamnya tidak terdapat keganjilan (syadz) dan juga tidak terdapat 'illat di dalamnya.
Adapun hadits hasan, ialah hadits yang sanadnya bersambung-sambung dan diriwayatkan oleh orang yang adil, sekalipun ketelitiannya kurang, dan tidak mengandung keganjilan, serta tidak mengandung 'illat. Hadits ini dijadikan hujjah.
Hadits dla'if ialah hadits yang tingkatannya kurang dari tingkatan hadits hasan. Hadits ini bermacam-macam tingkatan kelemahannya. Hadits dla'if tidak dapat menjadi hujjah di dalam menetapkan hukum.
Imam Nawawi berkata, para ulama berpendapat hadits dla'if itu bisa digunakan untuk beramal apabila ia berisi keutamaan-keutamaan amalan. Asal untuk amalan tersebut sudah ada hadits yang lain yang shahih atau hasan yang menerangkan boleh beramal dengan amalan tersebut. Jadi dengan demikian, hadits yang dla'if ini hanya mengikuti saja kepada hadits yang shahih yang telah ada.
Termasuk di dalam pengertian hadits dla'if ialah hadits mursal, munqathi', mu'dhal, mu'allaq dan ma'lul.
Hadits mursal ialah hadits yang disandarkan kepada Nabi oleh seorang tabi'. Jadi akhir sanad, yaitu sahabat tidak disebutkan.
Imam asy-Syafi'i dan Ahmad berpendapat hadits ini tidak bisa menjadi hujjah, karena kemungkinan seorang tabi' itu meriwayatkannya dari semua tabi' .Tetapi Abu Hanifah berpendapat dapat menjadi hujjah, karena tabi' itu termasuk di dalam angkatan yang dipuji oleh Rasulullah.
Disamping itu asy-Syafi'i memberikan syarat dalam menerima hadits mursal, yaitu apabila yang meriwayatkan seorang tabi'in besar, orang kepercayaan yang lain juga meriwayatkannya, ada hadits mursal yang lain yang sama, ada perkataan sahabat yang sesuai dengannya, dan hadits mursal itu sesuai pula dengan fatwa sebagian besar para ahli ilmu, apabila disebutlah nama perawi yang ditinggalkan, tidak akan disebut majhul dan juga perawi tidak akan dibenci. Akan tetapi, bagaimanapun hadits mursal tidaklah mempunyai kekuatan yang sama dengan hadits musnad.
Hadits munqathi' ialah hadits yang seorang perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak menjadi hujjah.
Hadits mu'dlal ialah hadits yang dua perawinya yang bukan sahabat tidak disebut. Hadits ini tidak dapat menjadi hujjah.
Hadits mu'allaq ialah hadits yang tidak disebutkan atau dibuang permulaan sanadnya, bukan permulaan atau akhirnya. Hadits ini dla'if, kecuali apabila diriwayatkan dengan cara yang pasti dan mantap. Apabila ia diriwayatkan dengan pasti dan mantap, menjadilah ia sama dengan hadits yang shahih.
Hadits ma'lul hadits yang mempunyai cacat yang dapat diketahui dari berbagai pemeriksaan dari berbagai jalan atau memang ada qarinah-qarinah yang menunjukkan demikian.
Mengetahui cacat dan cela hadits ('illat) amatlah penting. Hal ini untuk mengetahui kedudukan hadits. Karena itu 'ulumul hadits adalah penting untuk dipelajari untuk menghindarkan diri dari penggunaan hadits yang tidak dapat diterima.
Al-Kitab
Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya.
Kata al-Kitab menurut bahasa adalah tulisan, sesuatu yang tertulis tetapi sudah menjadi umum di dalam ajaran Islam untuk nama al-Qur'an, yaitu Kalam Allah SWT yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dengan kata-kata berbahasa Arab dan dengan makna yang benar, agar menjadi hujjah bagi Rasulullah SAW dalam pengakuannya sebagai Rasulullah, juga sebagai undang-undang yang dijadikan pedoman oleh umat manusia dan sebagai amal ibadah bila dibaca. la ditadwinkan diantara dua lembar mushaf, mulai dengan aI-Fatihah dan ditutup dengan an-Nas, dan telah sampai kepada kita dengan mutawatir, dianggap beribadah apabila membacanya. Ada pula yang mendefinisikan al-Qur'an dengan: Lafadh bahasa Arab yang diturunkan untuk direnungi, diingat dan mutawatir. Al-Qur'an tidak mengalami pergantian atau perubahan apapun. Baik isi, lafadh maupun susunan serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Hal ini dijamin oleh Allah SWT dengan firman-Nya:

Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan adz-Dzikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami sielalu menjaganya." (al-Hijr: 9)
Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab
Ayat-ayat al-Qur'an berikut ini menjelaskan ke-bahasa Arabannya ketika turun kepada Nabi Muhammad SAW.

Artinya:
".... dan al-Qur'an ini berbahasa Arab yang nyata." (an-Nahl: 103)

Artinya:
"Al-Qur'an itu turun dibawa oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu agar kamu termasuk orang yang memberi peringatan. la turun dengan bahasa Arab yang jelas." (Asy-Syu'arâ: 193-195)

Artinya:
"Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, mudah-mudahan engkau mengerti." (Yusuf: 2)

Artinya: "Demikianlah Kami turunkan al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan berulangkali di dalamnya sebagian dari ancaman, mudah-mudahan mereka bertaqwa dan mudah-mudahan al-Qur'an itu menimbulkan pengajaran bagi mereka." (Thâhâ: 113)

Artinya: "Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yaitu bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui." (Fushshilat: 4)

Artinya:
"Dan demikianlah Kami wahyukan al-Qur'an dalam bahasa Arab." (asy-Syûra: 7)

Artinya:
"Sesungguhnya Kami jadikan al-Qur'an itu berbahasa Arab supaya kamu memahaminya." (az-Zukhruf: 3)

Artinya:
"Dan ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang dzalim dan sebagai khabar gembira bagi orang-orang yang berbuat baik." (al-Ahqâf: 12)

Artinya:
"(lalah) al-Qur'an dalam bahasa Arab yang tldak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertaqwa." (az-Zumar: 28)
Tentang ke-bahasa Arab-an al-Qur'an ini, Imam asy-Syafi'i mengemukakan di dalam ar-Risalahnya sebagai berikut: "Yang wajib atas orang-orang yang pandai ialah hendaknya mereka itu tidaklah berpendapat (mengatakan sesuatu) kecuali karena mereka telah mengetahui. Dan memang ada pula orang yang berkata di dalam masalah ilmu yang sekiranya mereka mau menahan diri tidak mengatakannya akan lebih baik baginya dan lebih selamat. Insya Allah."
Diantara mereka ada yang berpendapat: "(Sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu ada yang Arab dan ada yang 'ajam (asing)."
Padahal al-Qur'an itu menunjukkan sesungguhnya di dalam al-Qur'an itu sendiri tidak ada sesuatupun kecuali mesti berbahasa Arab.
Dan orang yang berpendapat seperti ini seperti mendapatkan seseorang yang menerima pendapatnya itu daripadanya, karena taqlid kepadanya, dan meninggalkan bagi masalah itu dari hujjahnya, dan masalah yang lain dari orang yang menentangnya.
Dan karena taqlid, menjadi lengahlah orang di kalangan mereka, dan semoga Allah mengampuni kita dan mereka.
Dan barangkali saja orang yang berpendapat "di dalam al-Qur'an sesungguhnya terdapat yang bukan berbahasa Arab, dan hal itu diterima daripadanya," adalah karena berpendapat di dalam sebagian al-Qur'an itu terdapat sesuatu yang khusus, yang sebagian dari padanya tidak diketahui oleh sebagian bangsa Arab.
Padahal bahasa Arab itu lebih luas, lafadhnya paling banyak, dan kami tidak mengetahui ada orang yang dapat menguasai seluruhnya itu kecuali Nabi, akan tetapi tidak satupun kalimat padanya yang berada pada orang-orang umumnya, sehingga di situ lalu tidak terdapat orang yang dapat memahaminya."
Di halaman lain asy-Safi'i mengemukakan:
"Dan termasuk keseluruhan ilmu dengan Kitabullah itu ialah mengetahui bahwa semua yang di dalam Kitabullah itu sesungguhnya diturunkan dalam bahasa Arab."
Beliaupun mengemukakan dalil Al Qur'an sebagai berikut :

Artinya:
"Dan sekirannya Kami jadikan al-Qur'an itu bacaan dalam bahasa 'ajam, pastilah mereka akan berkata: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya, apakah 'ajam atau Arab?" Katakanlah: al-Qur'an itu untuk orang-orang yang beriman merupakan petunjuk dan penyembuh. Dan orang-orang yang tidak beriman di dalam telinga mereka ada sumbatan, dan al-Qur'an itu bagi mereka merupakan kegelapan. Mereka itu dipanggil dari tempat yang jauh." (Fushshilat: 44)
Karena al-Qur'an itu berbahasa Arab, berarti kebahasa Araban al-Qur'an itu merupakan bagian dari al-Qur'an itu. Karena itu terjemahannya bukanlah al-Qur'an. Apabila kita shalat membaca terjemahan al-Qur'an tidaklah sah shalat kita, sebab yang diperintahkan ialah membaca al-Qur'an, bukan terjemahannya. Imam Abu Hanafiyah membolehkan shalat membaca terjemahan al-Qur'an di dalam bahasa Parsi. Tetapi katanya beliau surut dari pendapatnya itu.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, al-Qur'an itu sarnpai kepada kita dengan jalan mutawatir. Karena itu tidak termasuk mutawatir ialah bacaan syadz (yang tidak bisa dikenal) dan yang tidak disepakati para qurra', dan karena itu tidak dinamakan al-Qur'an serta tidak sah bershalat membaca bacaan syadz itu. Adapun bacaan yang disepakati ialah bacaan imam yang tujuh: Ibnu Katsir (Makkah, wafat 120 H), Nafi' (Madinah, wafat 169 H), Ibnu 'Amir (Syam, wafat 118 H), Abu 'Amr Ibnu -'Ala' (Basrah, wafat 157 H), 'Asim (Kufah, wafat 127 H), Hamzah (Kufah, wafat 156 H), al-Kisai (Kufah, wafat 189 H). Ada tiga bahasa lainnya yang oleh para qurra' belum disepakati, yaitu: Abu Ja'far (Madinah, wafat 128 H), Ya'qub (Basrah, wafat 205 H) dan Khalaf (Kufah, wafat 129 H). Selain itu mereka sudah disepakati akan kesyadzannya.
Apakah bacaan syadz itu boleh digunakan sebagai istinbath hukum? Dalam hal ini terdapat perselisihan.
Al-Ghazali berpendapat bacaan syadz tidak boleh menjadi hujjah, sebab bacaan tersebut tidak termasuk al-Qur'an. Seperti misalnya bacaan Ibnu Mas'ud tentang tebusan orang bersumpah:

Artinya:
"Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari berturut-turut."
Ayat ini terdapat di dalam Surat aI-Mâidah ayat 89. Dan yang mutawatir sebagai berikut:

Artinya: "Siapa yang tidak sanggup, hendaklah ia berpuasa tiga hari."
Tanpa ada kata-kata mutata-bi'at yang artinya berturut-turut. Dan karena itu tidak wajib berpuasa tiga hari berturut-turut. Jadi menurut ayat tersebut mereka yang melanggar sumpah, supaya menebus sumpahnya dengan memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa kita makan, atau memberi pakaian kepada mereka, atau membebaskan seorang budak. Kalau tidak sanggup atau tidak mendapatkan untuk melakukan demikian, hendaklah ia berpuasa tiga hari.
Tetapi Imam Abu Hanafiyah berpendapat bacaan syadz itu menjadi hujjah, karena itu berpuasa di sini harus tiga hari berturut- turut.
Imam Ghazali berpendapat, yang dapat menjadi hujjah itu ialah apabila sesuatu itu tidak diragukan lagi memang dari Nabi Muhammad SAW, tetapi apabila hal itu merupakan keragu-raguan apakah itu memang datang dari Nabi Muhammad apa bukan, yang seperti ini tidak dapat menjadi hujjah.
Al-Qur'an turun kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu, di dalam bahasa Arab, dan kalimatnyapun dari Allah SWT. Membaca inilah yang dimaksud membacanya itu beribadat. Hal ini berbeda dengan hadits. Sebab hadits itu merupakan wahyu dari Allah SWT tetapi lafadh dan kalimatnya dari Nabi Muhammad SAW sendiri. Demikian pula hadits qudsi, yaitu wahyu dari Allah yang biasanya dimulai oleh Nabi Muhammad dengan: Allah berkata dan kemudian isinya diterangkan sebagai kata-kata Allah SWT. Tentu saja apabila memenuhi perintah-perintah yang terkandung di dalamnya itulah juga beribadat. Yang dimaksud membaca di sini, ya sekedar membaca itu saja sudah mendapatkan pahala, sudah dianggap beribadat. Membaca lambat atau cepat, lancar atau tidak lancar, faham maknanya ataupun tidak.
1. Kehujjahan al-Qur'an
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan tentang kehujjahan al-Qur'an dengan ucapannya sebagai berikut:
"Bukti bahwa al-Qur'an menjadi hujjah atas manusia yang hukum-hukumnya merupakan aturan-aturan yang wajib bagi manusia untuk mengikutinya, ialah karena al-Qur'an itu datang dari Allah, dan dibawa kepada manusia dengan jalan yang pasti yang tidak diragukan kesahannya dan kebenarannya. Sedang bukti kalau al-Qur'an itu datang dari Allah SWT, ialah bahwa al-Qur'an itu membuat orang tidak mampu membuat atau mendatangkan seperti al-Qur'an."
Membuat orang tidak mampu (al-I'jâz) itu baru terjadi, demikian Abdul Wahhab Khallaf, apabila tiga hal berikut ini terdapat pada sesuatu. Yaitu adanya tantangan (at-ta-haddy), adanya motivasi dan dorongan kepada penantang untuk melakukan tantangan dan ketiadaan penghalang yang mencegah adanya tantangan.
Nabi Muhammad SAW ketika menyatakan kenabiannya dan orang-orang kafir menentangnya dan juga menentang ajaran Allah SWT (al-Qur'an) beliau berkata: "Apabila engkau sekalian meragukan semua ini, cobalah kamu datangkan atau kamu buat saja satu surat yang sama dengan al-Qur'an."
Ucapan seperti ini bukan berarti gurauan seraya dijawab dengan: Mana ada di dunia ini sesuatu yang sama dengan yang lain. Bukan begitu. Akan tetapi makna yang terpenting pernyataan ini ialah bahwa manusia tidak akan mampu menyusun satu ayat pun sebagaimana ayat al-Qur'an, baik mengenai susunan dan keindahan bahasanya, dan juga maknanya, lebih-Iebih kepastian dan kebenaran akan isinya yang mutlak yang berlaku dan tidak bisa dipungkiri.
Allah sendiri berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:

Artinya:
"Dan apabila engkau sekalian di dalam keadaan ragu-ragu terhadap apa yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami, buatlah satu surat yang serupa dengannya, dan datangkanlah saksi-saksimu selain Allah, apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (al-Baqarah: 23)
Di dalam surat yang lain Allah juga berfirman:

Artinya:
"Apakah mereka berkata Muhammad itu membuat-buat al-Qur'an? Katakanlah Muhammad; Datangkanlah sepuluh surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup memanggilnya selain Allah apabila engkau sekalian memang orang-orang yang benar." (Hud: 13)

artinya: "Katakanlah Muhammad, sekiranya jin dan manusia berkumpul untuk membuat yang serupa menyamai al-Qur'an ini mereka tidak akan dapat melakukannya, sekalipun sebagian mereka membantu kepada sebagiannya." (al-Isrâ': 88)
Juga Allah menegaskan:

artinya:
"Apakah mereka mengatakan Muhammad itu membuat-buatnya. Sebenarnya mereka tidak beriman. Hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang sepadan dengan al-Qur'an itu. Apabila mereka itu orang-orang yang benar." (ath-Thûr: 33-34)
Betapapun mereka, yang menantang al-Qur'an itu tidak dapat memberikan yang serupa dengan al-Qur'an itu, apakah itu dari segi bahasanya, atau isinya dan lebih-lebih ketepatan isinya yang menyangkut baik riwayat orang-orang dahulu, tentang jagad raya dan hukum-hukum yang dikemukakan oleh Allah SWT.
Dan dunia juga membuktikan dikarenakan orang-orang tidak melakukan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagaimana yang tercantum di dalam al-Qur'an, dan mereka berbuat yang seolah-olah menentangnya, maka bencanalah yang terjadi.
2. Segi-segi kemu'jizatan al-Qur'an.
Mengapa mereka lemah? Dan apa segi-segi kemu'jizatannya?
Kemu'jizatan al-Qur'an tidak dari segi lafadhnya saja, tetapi juga makna dan isinya. Dikemukakan misalnya tentang rahasia-rahasia alam, hingga kini belum juga terungkap, atau sebagian saja yang terungkap. Susunan bahasanya yang indah, dan dapat dibaca dalam segala keadaan, hingga kini tidak ada sesuatu yang menyamainya, dan tidak ada pula yang menandinginya. Hal ini dapat dirasakan oleh mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik. Demikian kesucian al-Qur'an dengan ilmu pengetahuan.
Bahkan juga al-Qur'an mengantar orang untuk memikirkan kejadian-kejadian di sekitarnya, agar kita merenungkan sifat keilmiahan dan kegunaan dari benda-benda di sekeliling kita.
Allah berfirman di dalam al-Qur'an sebagai berikut:

Artinya: "Apakah mereka tidak merenungkan al-Qur'an? Sekiranya al-Qur'an itu datang bukan dari Allah, pastilah mereka mendapatkan di dalam al-Qur'an itu pertentangan yang banyak." (an-Nisâ': 82)

Artinya:
"Dan Kami menurunkan besi, padanya terdapat kekuatan yang dahsyat dan kemanfaatan-kemanfaatan yang banyak bagi manusia." (al-Hadîd: 25)
Allah menyebut tentang besi di saat besi belum berkembang kemanfaatan dan kekuatannya sebagai sekarang ini. Allah juga mengatakannya bahwa ilmu pengetahuan manusia mengembangkan besi datang beratus-ratus tahun kemudian sesudah firman Allah tersebut. Ini berbicara secara umum tentang kemampuan manusia dalam ilmu.
Juga Allah berfirman di dalam al-Qur'an:

Artinya:
"Sesungguhnya di dalam ciptaan Allah yang berupa langit dan bumi, perbedaan malam dan siang, merupakan tanda-tanda akan kebesaran Allah bagi orang-orang yang berakal. Yaitu mereka yang selalu ingat kepada Allah ketika sedang berdiri, duduk ataupun dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, kemudian mereka berkata: "Oh Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan segalanya ini sia-sia, Maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa api neraka." (Ali Imran: 190-191)
Sejarah membuktikan firman Allah SWT:

Artinya:
"Dan apabila Kami menghendaki menghancurkan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan penyelewengan di dalam negeri itu, karena itu sudah sepantasnya berlaku ketentuan Kami, kemudian Kami hancurkan mereka itu sehancur-hancurnya," (al-Isrâ': 16)
Bukankah apabila orang-orang sudah suka memenuhi hawa nafsunya, lupa kepada masyarakat sekitarnya, ini akan menjadi bibit-bibit revolusi, yang biasa dikenal dengan revolusi sosial?
Betapa sejarah modern membuktikan pernyataan Allah SWT. Al-Qur'an memberikan juga riwayat bangsa-bangsa yang lalu. Nabi Muhammad SAW sendiri tidak pernah tahu riwayat-riwayat itu. Allah berfirman:

Artinya: "Itu adalah diantara berita-berita gaib yang Kami mewahyukan kepadamu, engkau sendiri dan kaummu setelah ini tidak mengetahuinya." (Hud: 49)
Di samping itu al-Qur'an juga mengatakan tentang apa yang akan terjadi, dan ternyata benar terjadi, yaitu:

Artinya:
"Alif lam mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan akan menang dalam beberapa tahun lagi" (ar-Rûm: 1-4)
Ayat ini menceriterakan terjadinya perang antara Romawi yang Nasrani dengan Persia yang Majusi. Mula-mula bangsa Romawi kalah, tetapi kemudian menang dan kalahlah bangsa Persia.
Demikian pula di dalam ayat yang lain Allah berfirman:

Artinya:
"...Sesungguhnya engkau akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman..." (al-Fath: 27)
Sebelum terjadinya perdamaian Hudaibiyyah, Nabi Muhammad SAW bermimpi akan memasuki kota Mekkah bersama sahabatnya dalam keadaan sebagian mereka bercukur dan sebagian lagi bergunting. Kata Nabi hal itu kelak akan terjadi. Dan sampailah berita ini di kalangan ummat Islam, orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan setelah perdamaian Hudaibiyyah Nabi dan pengikutnya tidak memasuki Mekkah dan Masjidil Haram, mereka mengolok-olok Nabi dan dikatakan oleh mereka, Nabi Muhammad SAW pembohong. Tetapi bagaimana kenyataannya? Beberapa waktu kemudian, firman Tuhan itu terwujud. Yaitu Nabi dan pengikutnya masuk kota Mekkah dan Masjidil Haram.
al-Qur'an susunan bahasanya fashih, ungkapan bahasanya baligh. Hal ini akan dapat dirasakan bagi mereka yang memahami bahasa Arab dengan baik.
3. Mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur'an.
Sebab-sebab turunnya al-Qur'an, yang biasa disebut dengan Asbabunnuzul, sangatlah penting dipandang dari dua segi:

1. Mengetahui ke-i'jazan al-Qur'an itu pokoknya ialah: mengetahui keadaan yang sesungguhnya ketika ayat itu diturunkan, ditujukan kepada siapa.

2. Tidak mengetahui Asbabunnuzul, dikhawatirkan orang akan terjatuh kepada perselisihan yang tidak ada gunanya dan tidak semestinya.
Suatu ketika Sayyidina Umar RA bertanya kepada Ibnu Abbas, "Hai Ibnu Abbas kenapa ummat ini berbeda-beda pendapat dan berselisih, padahal Nabinya itu satu?"
Ibnu Abbas menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, al-Qur'an diturunkan kepada kita, kitapun membacanya dan kitapun mengetahui apa sebabnya ia turun. Dan sesudah kita ini, akan ada suatu kaum yang membaca al-Qur'an, akan tetapi mereka itu tidak mengetahui sebabnya ia itu diturunkan, menjadikan ia akan mengemukakan pendapat (ar-ra'yu) Apabila mereka masih mengemukakan pendapatnya, terjadilah perselisihan yang akan menimbulkan pertempuran."
Ibnu Wahab meriwayatkan dari Bukhari, ia bertanya kepada Nafi': "Bagaimana pendapat Ibnu Umar tentang orang Haruriyah." Ibnu Umar menjawab: "Mereka itu makhluk yang paling jelek, sebab mereka memperlakukan ayat untuk orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman."
Inilah ar-ra'yu yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dan kita diperingatkan terhadapnya, tidak lain karena ar-ra'yu yang demikian itu muncul dari kebodohan tentang arti yang dibawa oleh al-Qur'an ketika turunnya.
Dan diriwayatkan, pada waktu Marwan mengirim utusan, bertanya kepada Ibnu Abbas: "...Apabila orang yang bergembira karena memperoleh apa yang ia senangi dan dipuji karena meninggalkan suatu pekerjaan itu dipaksa, maka pastilah kita semua akan disiksa."
Ibnu Abbas menjawab: "...Apa maksud kamu sekalian dengan ayat ini?" Soalnya Nabi memanggil orang-orang Yahudi, beliau menanyakan mereka akan sesuatu, akan tetapi mereka menyembunyikannya dari Nabi, dan memberitahukan hal yang lain, mereka menunjukkan kepadanya akan halnya mereka dipuji lantaran yang telah mereka khabarkan kepada Nabi sebagai jawaban atas pertanyaan Nabi kepada mereka, dan merekapun gembira atas apa yang mereka sembunyikan, kemudian Ibnu Abbas membaca ayat:

Artinya:
"Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan engkau menyembunyikannya" lalu mereka melemparkan janji itu di belakang punggung mereka dan mereka menukarkannya dengan harga yang sedikit. Jangan sekali-kali kamu menyangka orang-orang yang bergembira lantaran apa yang mereka telah lakukan dan mereka suka supaya dipuji-puji terhadap perbuatan yang tidak mereka kerjakan, jangan kamu mengira mereka akan terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih." (Ali Imran: 187-188)
Nyatalah ayat ini tidak seperti apa yang disangka oleh Marwan. Ketika Qudamah bin Madh'un dituduh minum khamr dizaman Umar, dan Umar mau menjilidnya, Qudamah berkata: "Demi Allah, sekiranya saya memang meminum khamr sebagaimana mereka menuduhnya kepada saya, betapapun engkau tidaklah berhak menjilid saya, sebab Allah telah berfirman:

Artinya:
"Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertaqwa serta beriman, dan mengerjakan amal-amalan yang shaleh, kemudian mereka tetap bertaqwa dan beriman, kemudian mereka tetap bertaqwa juga dan berbuat bauk, dan Allah ltu suka kepada orang-orang yang berbuat baik." (al-Mâidah: 93)
Sedang saya termasuk mereka."
Ternyata penafsiran Qudamah tentang minum yang tidak berdosa itu keliru. Yang dimaksud dalam ayat itu ialah orang yang minum atau makan makanan haram ketika mereka dulu masih kafir.
Hal ini jelas, ketika Umar bertanya kepada Ibnu Abbas: Bagaimana? Dijawab oleh Ibnu Abbas, ayat itu turun sebagai pemaafan kepada orang-orang dahulu, dan menjadi hujjah bagi orang-orang sekarang ketika menghadapi mereka, waktu itupun khamr belum lagi diharamkan kepada mereka, sebab Allah berfirman:

Artinya:
"Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, jauhilah oleh kamu sekalian, mudah-mudahan engkau berbahagia." (al-Mâidah: 90)
Kalaulah orang itu, demikian Ibnu Abbas, termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh, kemudian bertaqwa dan kemudian berbuat baik, sesungguhnya Allah melarangnya untuk meminum khamr. Umar menjawab: "Engkau benar." Jelaslah dengan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan menyimpangkan dari maksud yang sebenarnya dari ayat itu. Karena itulah, mengetahui sebab-sebab turunnya ayat ini menyebabkan seseorang akan mengerti dengan baik terhadap al-Qur'an.
Hasan berpendapat bahwa Allah tidak menurunkan ayat kecuali wajiblah bagi seseorang mengetahui di dalam hal apa ia itu diturunkan dan apa maksud Tuhan dengan ayat itu.
Demikian pula wajib diketahui, bagaimana orang atau bangsa Arab ketika ayat itu turun, sebab apabila hal itu tidak diperhatikan juga akan menimbulkan kesamaran di dalam memahami al-Qur'an.
Misalnya saja firman Allah:

Artinya:
"Sempurnakanlah olehmu semua akan haji dan umrah karena Allah." (al-Baqarah: 196)
Di sini yang terdapat adalah perintah menyempurnakan haji. Kenapa? Dulu bangsa Arab memang sudah menjalankan ibadah haji. Sekarang mereka tetap juga diperintahkan melakukan ibadat haji, hanya saja tatacara yang dilakukan pada waktu dulu yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran Islam, misalnya tentang wuquf di Arafah dan lain-Iainnya. Dan perintah inipun berlaku bagi semua umat Islam. Allah pun berfirman tentang wajib haji diayat lain, sebagai berikut:

Artinya:
"....Oh Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami apabila kami lupa atau bersalah..." (al-Baqarah: 286)
Menurut Abu Yusuf, ayat ini berlaku pada masalah kemusyrikan, karena mereka dahulu baru saja dari kekufuran masuk Islam, kemudian mereka itu ingin bertauhid akan tetapi keliru dengan kekufuran, karena itu AIlah mengampuni mereka dari hal tersebut sebagaimana AIlah mengampuni mereka apabila mereka mengucap kufur karena dipaksa. Jadi ayat ini untuk masalah syirik. Tidak berlaku untuk sumpah di dalam cerai, membebaskan budak, jual-beli, sebab pada waktu mereka dahulu tidak ada sumpah dan pembebasan budak itu.
Jelaslah kemu'jizatan al-Qur'an akan dapat diketahui dengan mengetahui suasana dan keadaan ketika ayat al-Qur'an itu diturunkan, dan tidak mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur'an akan menyebabkan keragu-raguan, bahkan yang jelas bisa menjadi samar, atau mungkin keliru sama sekali.

4. Sifat-sifat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an.
Umumnya hukum-hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu bersifat garis besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil. Kebanyakan penjelasan al-Qur'an ada dalam as-Sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an cukup lengkap. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT di dalam al-Qur'an:

Artinya:
"Tidaklah Kami alpakan sesuatupun di dalam al-Kitab." (al-An'am: 38)
al-Qur'an telah sempurna, sebab syari'at juga sudah sempurna, sebagaimana Allah berfirman:

Artinya:
"Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu sekalian akan agamamu, dan Kusempurnakan Pula kepadamu sekalian akan nikmatKu, dan Akupun ridla Islam sebagai agama bagi kamu sekalian." (al-Mâidah: 3)
Memang sudah jelas, hukum-hukum shalat, zakat, haji dan lain-lainnya, namun al-Qur'an tidak menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskannya adalah as-Sunnah, demikian pula tentang perkawinan, transaksi, qishash dan lain-lainnya.
Sebagaimana kita ketahui, dalil-dalil atau ladasan pokok di dalam Islam adalah al-Qur'an, as-Sunnah, al-Ijma' dan al-Qiyas. Semua itulah yang akan menjelaskan al-Qur'an. Mula-mula as-Sunnah, kemudian al-Ijma' dan kemudian al-Qiyas. Semua ini landasannya juga terdapat di dalam al-Qur'an.
Jadi kesimpulannya, kebanyakan hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an itu kulli (bersifat umum, garis besar, global), tidak membicarakan soal yang kecil-kecil (juz'i).

5. Asas-asas hukum
Asas-asas hukum sebagai yang tercantum di dalam al-Qur'an ialah:
1. Tidak memberatkan.
Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:

Artinya:
"Dan tidaklah Allah membuat atasmu dalam agama itu suatu kesukaran." (al-Hajj: 78)
Demikian pula firman Allah yang lain:

Artinya:
"Allah tidak memberatkan seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (al-Baqarah: 286)
Nabipun bersabda:

Artinya:
"Aku diutus membawa agama yang mudah lagi gampang." (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Juga dalam riwayat lain:

Artinya:
"Tidaklah Rasulullah disuruh memilih antara dua perkara kecuali beliau mesti memilih yang lebih mudahnya apabila di dalam yang lebih mudah itu tidak dosa." (HR. Bukhari)
Sebagai contoh, shalat yang dilakukan dengan berdiri, dibolehkan dilakukan dengan duduk bagi mereka yang sakit. Dan ketika Ramadlan boleh seseorang tidak berpuasa apabila sakit atau bepergian, asal nanti diganti di waktu lain.

1. Islam tidak memperbanyak beban atau tuntutan.
Artinya segala sesuatu yang ditentukan di dalam al-Qur'an, juga di dalam as-Sunnah semua manusia mampu melakukannya.

2. Ketentuan-ketentuan Islam datang secara berangsur-angsur.
Contohnya, khamr mula-mula dikatakan oleh Allah, orang-orang tidak diperbolehkan shalat apabila dalam keadaan mabuk, kemudian dikatakan di dalam khamr itu ada kemanfaatannya tetapi ada juga kemafsadatannya, akan tetapi kemafsadatannya itulah yang lebih besar. Akhirnya khamr sama sekali diharamkan.
Ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam al-Qur'an tidak banyak, kurang lebih 200 ayat saja.

6. Pokok-pokok isi al-Qur' an

1. Masalah tauhid, termasuk di dalamnya segala kepercayaan terhadap yang gaib. Manusia diajak kepada kepercayaan yang benar yaitu mentauhidkan Allah SWT.

2. Ibadat, yaitu kegiatan-kegiatan dan perbuatan yang mewujudkan dan menghidupkan di dalam hati dan jiwa.

3. Janji dan ancaman, yaitu janji dengan balasan yang baik/pahala bagi mereka yang berbuat baik, dan ancaman yaitu siksa bagi mereka yang berbuat kejelekan. Janji akan memperoleh kemulyaan baik di dunia maupun di akhirat dan ancaman akan kesengsaraan baik di dunia maupun di akhirat. Janji dan ancaman di akhirat berupa surga dan neraka.

4. Jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, yang berarti berupa ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang hendaknya dipenuhi agar dapat mencapai keridlaan Allah SWT.

5. Riwayat dan ceritera, yaitu sejarah orang-orang terdahulu, baik itu sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun nabi-nabi utusan Allah SWT.

7. Macam-macam hukum
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, hukum yang dikandung dalam al-Qur'an itu terdiri tiga macam:
1. a. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan keimanan (kepada Allah, malaikat, para nabi, hari kemudian, dan lain-lainnya).

2. b. Hukum-hukum Allah yang bersangkut paut dengan hal-hal yang harus dijadikan perhiasan bagi seseorang untuk berbuat keutamaan dan meninggalkan kehinaan.

3. c. Hukum-hukum yang bersangkut paut dengan ucapan, perbuatan, transaksi (aqad) dan pengelolaan harta Inilah yang disebut fiqhulqur'an, dan inilah yang dimaksud dengan Ilmu Ushul Fiqh sampai kepadanya.
Selanjutnya Abdul Wahhab mengemukakan hukum-hukum amaliyah di dalam al-Qur'an terdiri atas dua cabang hukum:

1. Hukum-hukum ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah dan ibadah-ibadah lain yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT.

2. Hukum-hukum mu'amalah, seperti aqad, pembelanjaan, hukuman, jinayat dan lain-lain selain ibadah, yaitu yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, baik perseorangan maupun kelompok. Inilah yang disebut hukum muamalah, yang di dalam hukum modern bercabang-cabang sebagai berikut:

1. Hukum badan pribadi, tentang manusia, sejak adanya dan kemudian ketika berhubungan sebagai suami istri, di dalam al-Qur'an terdapat sekitar 70 ayat (diistilahkan dengan al-ahwalusy syakhabiyyah).

2. Hukum perdata, yaitu hukum muamalah antara perseorangan dengan perseorangan juga perseorangan dengan masyarakat, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lainnya yang menyangkut harta kekayaan. Ayat-ayat tentang ini sekitar 70 (al-ahkamul madaniyyah).

3. Hukum pidana, sekitar 30 ayat (al-ahkamul Jinayyah).

4. Hukum acara, yaitu yang bersangkut paut dengan pengadilan, kesaksian dan sumpah, sekitar 13 ayat (al-ahkamul murafa'at).

5. Hukum perundang-undangan, yaitu yang berhubungan dengan hukum dan pokok-pokoknya. Yang dimaksud dengan ini ialah membatasi hubungan antara hakim dengan terdakwa, hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamud dusturiyyah).

6. Hukum ketatanegaraan, yaitu hubungan antara negara-negara Islam dengan negara bukan Islam, tatacara pergaulan dengan selain muslim di dalam negara Islam. Semuanya baik ketika perang maupun damai. Ayat tentang ini sekitar 25 ayat (al-ahkamud dauliyyah).

7. Hukum tentang ekonomi dan keuangan, hak seorang miskin pada harta orang kaya, sumber air, bank, juga hubungan antara fakir dengan orang-orang kaya, antara negara dengan perorangan. Ayat tentang ini sekitar 10 ayat (al-ahkamul istishadiyyah wal maliyyah).

8. Dalalah ayat-ayat al-Qur'an yang qath'iy dan dzanni
Nash-nash al-Qur'an itu bila dilihat dari sudut cara datangnya adalah qath'iy, artinya pasti. Al-Qur'an dari Allah SWT, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan oleh beliau disampaikan kepada umatnya tanpa ada perubahan ataupun penggantian.
Ketika turun kepada Rasulullah, oleh beliau disampaikan kepada sahabatnya, lalu dicatat oleh para sahabat, dihafal dan kemudian diamalkan. Abu Bakar dengan perantara Zaid bin Tsabit mentadwinkan al-Qur'an, demikian pula sahabat-sahabat yang lain mencatat. Kemudian dihimpun dan himpunan ini dipelihara oleh Abu Bakar, demikian pula oleh Umar. Semua menurut urutan yang ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW. Himpunan ini kemudian oleh Umar ditinggalkan kepada puterinya Hafshah ummil mukminin, isteri Rasulullah. Di masa Utsman, naskah ini diambil oleh beliau, dihimpunnya dengan perantara Zaid bin Tsabit dan dibantu oleh para sahabat Anshar dan Mujahirin, jadilah sebagaimana kita kenal Mushhaf Utsman, yang kemudian beberapa mushhaf itu dikirim oleh Utsman ke beberapa kota umat Islam.
Al-Qur'an ini tetap terpelihara, sebagaiman dijamin oleh Allah SWT:

Artinya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur'an dan sungguh Kami memeliharanya." (al-Hijr: 9)
Apabila al-Qur'an itu ditinjau dari dalalah atau hukum yang dikandungnya dibagi dua:
a. Nash yang qath'i dalalahnya atas hukumnya
Yaitu nashnya menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara tertentu, tidak ada kemungkinan menerima ta'wil, tidak ada pengertian selain daripada apa yang telah dicantumkan.
Misalnya saja firman Allah SWT sebagai berikut:

Artinya:
"Dan bagimu para suami separuh dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu jika mereka tidak mempunyai anak." (an-Nisâ': 12)
Ayat ini sudah qath'i, tidak ada pengertian lain selain daripada yang dikemukakan oleh ayat itu.
Juga misalnya di dalam surat yang lain:

Artinya:
"Deralah tiap lelaki dan perempuan yang berzina itu seratus deraan." (an-Nûr: 2)
Jelas deraan itu seratus kali. Tidak ada pengertian yang lain. Jadi ayat ini qath'i. Demikian pula yang menunjukkan harta pusaka, arti had dalam hukum atau nishab, semuanya sudah dipastikan, sudah dibatasi.
b. Nash yang dzanni dalalahnya
Yaitu yang menunjuk atas yang mungkin dita'wilkan, atau dipalingkan dari makna asalnya, kepada makna yang lain, sepert firman Allah:

Artinya:
"Dan wanita-wanita yang dicerai itu hendaklah menahan dari tiga quru'." (al-Baqarah: 228)
Quru' tersebut di dalam bahasa Arab mempunyai dua arti, yaitu suci dan haid (menstruasi). Karena itu ada kemungkinan, yang dimaksud di sini tiga kali suci, tetapi juga mungkin tiga kali menstruasi. Jadi di sini, berarti dalalahnya tidak pasti atas satu makna dari dua makna yang dimaksud. Karena itu para mujtahidin berselisih pendapat tentang hal ini. Ada yang berpendirian tiga kali suci, ada pula yang berpendirian tiga kali haid. Demikian Abd. Wahhab Khallaf.
Bersambung>>>>>>>>>