Senin, Januari 12, 2009

MAKALAH MASA ILUL FIQHIYAH


PEMIMPIN WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM
Oleh; Gus Sulhan Ar-Ridho

KATA PENGANTAR

Makalah ini kami susun dan sajikan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Masailul Fiqhiyah, yang membahas tentang konsep kepemimpian dalam Islam, juga membahas tentang boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin menurut Islam. Pembahasan dalam makalah ini kami sajikan dalam bentuk paparan dan uraian.
Kami berharap makalah ini bisa menjadi salah satu acuan bagi para pembaca dalm menyikapi pro-kontra kepemimpinan seorang wanita. Makalah ini bermanfaat bagi para guru yang sedang menjalankan tugasnya, terutama berkaitan dengan masalah-masalah hukum fiqih tetan materi terkait. Mudah-mudahan dengan membaca makalah ini, kita dapat memahami apa dan bagaimana konsep kepemimpinan dalam Islam serta boleh ttidaknya wanita menjadi pemimpin menurut Islam
Kami memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga makalah ini bisa tersusun. Selain itu, kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu kami dalam proses penyusunan makalah ini. Dan tidak lupa kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dosen Mata Kuliah Masailul Fiqhiyah, yang telah membimbing kami. Akhirnya, kami berharap makalah ini mampu memenuhi fungsinya.


Bojonegoro, Januari 2009
Penyusun


BAB I
PENDAHULUAN

Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau pendapat mengenai kepemimpinan. Wacana kepemimpinan yang berkembang ini, di awali setelah Rasulullah SAW wafat. Masyarakat Islam telah terbagi-bagi kedalam banyak kelompok atau golongan. Kelompok-kelompok Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan.
Kondisi seperti ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan Islam. Permasalahan perbedaan argumentasi harusnya dapat di selesaikan dengan mekanisme diskusi dengan menggunakan logika. Dengan menggunakan logika kita dapat menilai suatu argumentasi absah dan benar. Janganlah sampai suatu kebenaran harus disingkirkan hanya karena ego kita.
Kebenaran haruslah dijunjung tinggi. Karena kebenaran adalah sesuainya pernyataan dengan kenyataan. Kenyataan (realitas) tidaklah mungkin menipu, akan tetapi kepahaman kitalah yang bisa jadi belum sampai pada realitas tersebut. Atau kepahaman kita sebenarnya telah sampai pada realitas (kenyataan), namun egoisme kitalah yang menyuruh untuk menolaknya.
Mudah-mudahan kita bukanlah bagian dari orang-orang yang memiliki rasa egois, dan juga bukan bagian dari orang-orang yang menolak suatu kebenaran. Insya Allah.



BAB II
KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita melakukan suatu pendefinisian atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini membantu kita untuk memahami dan mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin ini, ada yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masing–masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan arti Khilafah dan Imamah.
A. Definisi Pemimpin
Secara implisit kaum Syi’ah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama maupun politik.
Menurut Ali Syari’ati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syari’ati berkeyakinan bahwa ketiadaan kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syari’ati pemimpin adalah pahlawan, idola, dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan alienasi.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran Ulama hanya terbatas pada ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia politik. Dalam kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan atau alat legitimasi pemimpin politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini bahwa Ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah dapat melepaskan manusia dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Kepemimpinan dalam Islam haruslah seorang tokoh ulama yang benar-benar bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan dan keselamatan ummatnya. Baik itu golongan Islam Sunni atau pun Syi’ah sepakat bahwa ulama harus memimpin segala bidang baik itu spiritual maupun politik dalam kehidupan bermasyarakat.
Seorang Ulama Sunni, Dr. Ali As-Salus dalam bukunya Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syar’i menyatakan bahwa kepemimpinan (Imamah) itu bukanlah ditetapkan dengan dengan nash atau penunjukan.
Kepemimpinan itu wajib ada, baik secara syar’i ataupun secara ‘aqli. Adapun secara syar’i misalnya tersirat dari firman Allah tentang doa orang-orang yang selamat : واجعلنا للمتقين إماما “Dan jadikanlah kami sebagai imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertaqwa” [QS Al-Furqan : 74]. Demikian pula firman Allah أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم “Taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada Rasul dan para ulul amri diantara kalian” [QS An-Nisaa’ : 59]. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal : “Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya”. Terdapat pula sebuah hadits yang menyatakan wajibnya menunjuk seorang pemimpin perjalanan diantara tiga orang yang melakukan suatu perjalanan. Adapun secara ‘aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak dan porak poranda.
B. Syarat Menjadi Pemimpin
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, haruslah merupakan pemimpin yang memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia, serta harus memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah berkata bahwa, ”Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.” Imam Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada tempatnya yang layak.
Seorang pemimpin harus bisa menjadi wasilah bagi tarbiyah Allah tersebut terhadap segenap yang ada di bumi. Jadi, seorang pemimpin harus bisa menjadi murabbiy bagi kehidupan di bumi.Seorang pemimpin haruslah seseorang yang benar-benar mengenal Allah, yang pengenalan itu akan tercapai apabila dia memahami dengan baik ayat-ayat Allah yang terucap (Al-Qur’an) dan ayat-ayat-Nya yang tercipta (alam).Seorang pemimpin harus memiliki dua kriteria: al-’ilmu dan al-quwwat.
Selanjutnya, marilah kita tengok bagaimanakah kriteria para penguasa yang digambarkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam hal ini kita akan mengamati sosok Raja Thalut (QS. Al-Baqarah: 247), Nabi Yusuf (QS. Yusuf: 22), Nabi Dawud dan Sulaiman (Al-Anbiya’: 79, QS Al-Naml: 15).
Raja Thalut:
“Sesungguhnya Allah telah memilihnya (Thalut) atas kalian dan telah mengkaruniakan kepadanya kelebihan ilmu dan fisik (basthat fi al-’ilmu wa al-jism)” (QS. Al-Baqarah: 247).
Nabi Yusuf:
“Dan ketika dia (Yusuf) telah dewasa, Kami memberikan kepadanya hukum dan ‘ilmu” (QS. Yusuf: 22).

Nabi Dawud dan Sulaiman:
“Maka Kami telah memberikan pemahaman tentang hukum (yang lebih tepat) kepada Sulaiman. Dan kepada keduanya (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hukum dan ‘ilmuu” (QS. Al-Anbiya’: 79).
“Dan sungguh Kami telah memberikan ‘ilmuu kepada Dawud dan Sulaiman” (QS. Al-Naml: 15).
Hukum berarti jelas dalam melihat yang samar-samar dan bisa melihat segala sesuatu sampai kepada hakikatnya, sehingga bisa memutuskan untuk meletakkan segala sesuatu pada tempatnya (porsinya). Atas dasar ini, secara sederhana hukum biasa diartikan sebagai pemutusan perkara (pengadilan, al-qadha’). Adanya hukum pada diri Dawud, Sulaiman, dan Yusuf merupakan kriteria al-quwwat, yang berarti bahwa mereka memiliki kepiawaian dalam memutuskan perkara (perselisihan) secara cemerlang. Al-quwwat pada diri mereka berwujud dalam bentuk ini karena pada saat itu aspek inilah yang sangat dibutuhkan.
Disamping al-hukum sebagai kriteria kedua (al-quwwat), ketiga orang tersebut juga memiliki bekal al-’ilmu sebagai kriteria pertama (al-’ilmu). Jadi, lengkaplah sudah kriteria kepemimpinan pada diri mereka.
Pada dasarnya, kriteria-kriteria penguasa yang dikemukakan oleh para ulama bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Meskipun demikian, sebagian ulama terkadang menambahkan beberapa kriteria (yang sepintas lalu berbeda atau jauh dari dua kriteria asasi diatas), dengan argumentasi mereka masing-masing. Namun, jika kita berusaha memahami hakikat dari kriteria-kriteria tambahan tersebut, niscaya kita dapati bahwa semua itu pun tetap bermuara pada dua kriteria asasi diatas. Wallahu a’lamu bish shawaab.


BAB III
KEDUDUKAN WANITA DALAM ISLAM

Gagasan persamaan atau kesetaraan laki-laki dan wanita telah dinyatakan oleh Islam sedemikian jelas dan dipercayai semua orang, namun persoalannya menjadi tidak sederhana ketika memasuki pertanyaan dalam hal-hal apa saja persamaan dan keteraan itu diberlakukan? Perdebatan sengit muncul antara dua kutub pandangan yang saling berhadapan antara pemikir modern yang progresif-liberal dengan pemikir tradisional yang konservatif.
Aliran pemikir modern menyatakan bahwa Islam tidak toleran terhadap kaum wanita. Sebagai contoh adanya hukum poligami, seorang istri harus tinggal di rumah, tabir pembatas, hak Thalak di tangan kaum pria,kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan istri di tempat tidur, perbudakan, kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, dan bagian kaum pria lebih banyak dari wanita (dalam hal pembagian harta warisan). Mengapa itu semua dalam Islam diperbolehkan?
Menanggapi hal itu, para pemikir tradisional konservatif menjelaskan dengan panjang lebar duduk per,masalahan yang sebenarnya.Suatu contoh masalah perintah yang mengharuskan wanita tinggal dalam rumah adalah perintah yang ditujuan kepada istri-istri Rasul, karena mereka adalah teladan yang mulya bagi kaum wanita. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa untuk menjadi teladan yang baik,seorang wanita harus menjadi ibu dalam rumah tangganya, agar dapatmenjaga serta memelihara rumah serta anak-anaknya.
Kita dapat membayangkan keadaan suatu kaum yang para wanitanya berada di jalan raya dan perkantoran,sementara anak-anak mereka masih harus disusui dan masih balita. Mana keadaan yang lebih baik?
Adapun masalah yang berkenaan dengan pernyataan bahwa kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, merupakan realitas yang terjadi di setiap tempat, baik dalam negeri Islam, negeri Kristen, maupun negeri yang tidak mengenal Tuhan dan agama, itu tidak benar.
Kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita merupakan realitas yang tidak mungkin dipungkiri dan memang terjadi di berbagai belahan bumi. Hal tersebut sudah merupakan tabiat, kemampuan, dan kekuasaan kaum pria yang telah ditentukan oleh sang Pencipta. Jika kemudian muncul seorang perdana menteri, presiden, atau pemimpin dari kalangan wanita, maka hal ini merupakan pengecualian yang memperkuat kaidah dasar penciptaan.
Islam tidak berbuat lebih daripada mengesahkan kaidah dasar ini, sehingga kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an memberikan bagian yang lebih kepada kaumpria dalam harta warisan. Hal itu dikarenakan kaum prialah yang memberikan nafkah, bekerja, dan memimpin kaum wanita. Jadi pandangan Islam terhadap kaum wanita adalah adil
Jika Allah telah menentukan kaum wanita untuk tinggal di rumah dan kaum pria untk bekerja, maka hal tersebut karena kaum pria telah diberikan amanat untuk membangun dan mengembangkan kehidupan pada hari di mana kaum wanita diamanatkan atas sesuatu yang lebih besar dan lebih mulya, yaitu pengembangan manusia itu sendiri (melanjutan keturunan). Apakah dengan demikian Islam telah mendzolimi mereka kaum wanita?
Bagaimana pun, seorang wanita yang bersuami lebih baik daripada wanita yang hidup sebagai perawan tua, hidup menjanda, atau bahkan bergelimang dengan dosa lagi menghinakan diri dengan hidup melacur. Bahkan, ada wanita yang jahat dan zhalim mengatakan kepada suaminya, “Lebih baik engkau berzina/melacur daripada aku dimadu.” Na’udzu billaahi min dzalik.
Dalam Islam, seorang laki-laki jutru lebih baik dan mulia jika ia menikah lagi (berpoligami) daripada ia berzina/melacur. Karena zina adalah perbuatan keji dan sejelek-jelek jalan.Sedangkan keberadaan pelacuran dan wanita tuna susila justru merendahkan dan melecehkan martabat wanita, juga sebagai bentuk penghinaan kepada wanita serta menjerumuskan mereka ke Neraka. .
Di muka bumi ini tidak ada agama yang sangat memperhatikan dan mengangkat martabat kaum wanita selain Islam. Islam memuliakan wanita dari sejak ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia. Masyarakat Islam masih tetap memelihara hak-hak tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga wanita benar-benar memiliki nilai dan kedudukan yang tidak akan ditemukan di dalam masyarakat non-muslim.. .
Islam benar-benar telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita dan memuliakannya dengan kemuliaan yang belum pernah dilakukan oleh agama lain. Wanita dalam Islam merupakan saudara kembar laki-laki; sebaik-baik mereka adalah yang terbaik bagi keluarganya.Wanita muslimah pada masa bayinya mempunyai hak disusui, mendapatkan perhatian dan sebaik-baik pendidikan dan pada waktu yang sama, ia merupakan curahan kebahagiaan dan buah hati bagi ibu laki-lakinya.
Lebih dari itu, wanita di dalam Islam memiliki hak kepemilikan, penyewaan, jual beli, dan segala bentuk transaksi, dan juga mempunyai hak untuk belajar dan mengajar selagi tidak bertentangan dengan agamanya. Bahkan di antara ilmu syar’i itu ada yang bersifat fardhu ‘ain . Dia juga memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki, kecuali beberapa hak dan hukum yang memang khusus bagi kaum wanita, atau beberapa hak dan hukum yang khusus bagi kaum laki-laki yang layak bagi masing-masing jenis sebagaimana dijelaskan secara rinci di dalam bahasan-bahasannya.
Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim. Dia akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an betapa pentingnya peran wanita, baik sebagai ibu, istri, saudara perempuan, mapun sebagai anak. Kedudukan ibu terhadap anak-anaknya lebih didahulukan daripada kedudukan ayah. Ini disebutkan dlm firman Allah;
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu. Hanya kepada-Ku lah kamu kembali.”(QS.Luqman:14)



BAB IV
PRO-KONTRA PEMIMPIN WANITA MENURUT ISLAM

Sampai dimana keshahihan hadits yang mengatakan :
"Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka."
Sebagian orang yang membela emansipasi wanita menolak hadits tersebut dengan alasan bertentangan dengan hadits yang berbunyi :
"Ambillah sebagian agamamu dari Al Humaira' (Si Merah Muda yakni Aisyah)."
Kalau ada istilah Imam, tentunya kosakata ini hanya ada dalam terminologi Islam saja, jadi maksudnya: bolehkah dalam pandangan hukum Islam berimam kepada wanita? Pengertiannya di sini dalam konteks yang sangat luas tentunya. Paham dan pandangan seperti ini perlu kita diskusikan kembali, karena bagaimana pun, Indonesia rakyatnya berpenduduk mayoritas muslim. Dengan kenyataan ini, pemilih yang terlibat dalam pemilu pun mayoritas muslim yang harus mengetahui dasar-dasar pemilihan seorang imam/pemimpin, karena tak ada sebuah perbuatan pun yang tidak akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak di hadapan Allah swt.
A. Pendapat Yang Pro Terhadap Pemimpin Wanita
Larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara tidaklah mencakup larangan untuk menjadi presiden oleh karena, katanya, jabatan presiden tidak sama dengan jabatan kepala negara dalam Islam, atau presiden bukanlah 'al-imamu al-adzam' sebagaimana dalam sistem pemerintahan Islam.
KH Said Agil Siradj, menyatakan, keberadaan pemimpin laki-laki bukan jaminan adanya pengayoman bagi rakyat, karena tidak sedikit pemimpin laki-laki yang justru menzalimi rakyatnya. .
"Belum tentu kalau pemimpin laki-laki akan menjamin bisa mengayomi rakyat. Tidak kurang-kurang pemimpin laki-laki yang zalim, sebut saja Firaun, Hitler, juga Saddam Husein," kata Said Agil dalam diskusi bertajuk "Fatwa Haram Pemimpin Wanita: Pengaruhnya Terhadap Publik," di Jakarta, Senin. .
Said Agil yang menolak fatwa pengharaman pemimpin wanita itu lantas menyebut ajaran Islam menjunjung nilai-nilai demokrasi bahkan dalam Kitab Suci Al Quran terdapat surat yang membahas masalah demokrasi yakni Surat As-Syura dan salah satu prinsip demokrasi adalah tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. .
"Jadi soal kepemimpinan itu bukan persoalan laki-laki atau perempuan namun masalah amanah. Karena itu pula Munas Alim Ulama NU di Mataram pada 1997 tidak mengharamkan pemimpin wanita. Itu kajian obyektif bukan untuk mendukung Mbak Tutut (Siti Hardiyanti Rukmana) atau Mbak Mega (Megawati Soekarnoputri)," katanya.
Anggota Muslimat NU yang juga pendiri Pusat Kajian Agama dan Gender Litbang Depag Dr Musda Mulia menyatakan, banyak orang yang phobi dengan gender karena isu itu berasal dari Barat, bahkan kebanyakan orang memahami masalah gender sebagai masalah biologis padahal itu merupakan masalah sosial. .
Menurut Musda, kontoversi soal kepemimpinan wanita sebenarnya bukan hal baru karena hal itu telah terjadi sejak abad ke-7 masehi dan ternyata sampai abad ini pun masih berlangsung. .
"Sebenarnya masalah kepemimpinan itu bukan masalah bilologis tapi lebih pada kualitas dan kapasitas. Jadi jangan jadikan agama untuk kepentingan politik tertentu," kata Musda yang dalam diskusi itu juga mengemukakan sejumlah dalil-dalil agama untuk mendukung argumentasinya.
B. Pendapat Yang Kontra Terhadap Pemimpin Wanita
Kejahilan merupakan bencana besar. Dan akan menjadi bencana paling besar jika ia bercampur dengan hawa nafsu.
Firman Allah: :
" Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yagn mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun "(Al Qashash:50). Karena itu tidak mengherankan mengingat banyaknya kejahilan yang bercampur dengan hawa nafsu kalau hadits sahih ditolak, dan hadits mardud dianggap shahih. .
Hadits pertama yang berbunyi "Tidak akan berbahagia suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka" adalah hadits shahih dari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., yang mengatakan "Ketika sampai berita kepada Rasulullah saw. bahwa penduduk Persi telah mengangkat putri Kisra Persi untuk menjadi raja mereka, beliau bersabda: "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka " (HR Bukhari,Ahmad,Tirmidzi,danNasa'i).
Para ulama di semua negara Islam telah menerima hadits ini dan menjadikannya dasar hukum bahwa seorang wanita tidak boleh manjadi pemimpin laki-laki dalam wilayah kepemimpinan umum. . . Adapun hadits kedua yang berbunyi "Ambillah sebagian agammu dari Al Humaira. (Si Merah Muda, yakni Aisyah)" oleh AL Hafizh Ibnu Hajar dikomentari sebagai berikut :
"Saya tidak mengenal sanadnya, dan saya tidak pernah melihatnya dalam kita-kiab hadits melainkan dalam An Nihayah karya Ibnul Atsir. Namun, dalam kitab ini pun beliau tidak menyebutkan orang yang meriwayatkannya". Al Hafizh Imaduddin Ibnu Katsir mengatakan bahwa ketika Imam Al Mazi dan Adz Dzahabi ditanya tentang hadits ini ternyata keduanya tidak mengenalnya.
Sepakat para ulama mujtahid empat mazhab, bahwa mengangkat kepala negara seorang wanita adalah haram. Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya "al-Jaami li ahkami al-Quran" mengatakan, Khalifah haruslah seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah/kepala negara). Secara rinci, terdapat sejumlah argumen sebagai dasar haramnya wanita menjadi kepala negara. . . PERTAMA, terdapat hadist shahih yang melarang wanita sebagai kepala negara. "Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita (HR. Bukhari)". Lafadz "wallau amrahum" dalam hadist ini berarti mengangkat sebagai "waliyul amri" (pemegang tampuk pemerintahan). Ini tidak mengherankan oleh karena hadist ini memang merupakan komentar Rasulullah SAW tatkala sampai kepadanya berita tentang pengangkatan putri Kisra, Raja Persia.
Sekalipun teks hadist tersebut berupa kalimat berita (khabar), tapi pemberitaan dalam hadist ini disertai dengan celaan (dzam) atas suatu kaum atau masyarakat yang menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada seorang wanita, berupa ancaman tiadanya keberuntungan atas mereka. Celaan ini merupakan 'qarinah' (indikasi) adanya tuntutan yang bersifat 'jazm' (tegas dan pasti). Dengan demikian mengangkat wanita sebagai presiden secara PASTI hukumnya HARAM. . . Memang ada sementara kalangan yang meragukan keshahihan hadist ini. Mereka menunjuk salah seorang perawi hadist ini, Abu Bakrah, sebagai orang yang tidak layak dipercaya lantaran menurut mereka ia pernah memberikan kesaksian palsu dalam sebuah kasus perzinaan di masa Umar bin Khatab. Tapi pengkajian terhadap sosok Abu Bakrah sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab yang menulis tentang perawi (orang yang meriwayatkan) hadist seperti 'Tahdibu al-kamal fi Asmaa al-Rijal, Thabaqat Ibnu Saad, Al Kamil fi Tarikh Ibnul Atsir' menunjukkan bahwa Abu Bakrah adalah seorang shahabat yang alim, dan perawi yang terpercaya. Oleh karena itu, dari segi periwayatan tidak ada alasan samasekali menolak keabsahan hadist tentang larangan mengangkat wanita sebagai kepala negara. .
KEDUA, di dalam al-Quran terdapat ayat yang mewajibkan kita taat kepada kepala negara. 'Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tetntang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah), An-Nisa 59' Dalam ayat ini,perintah taat kepada pemimpin dengan menggunakan lafadz "ulil amri". Berdasarkan kaidah bahasa Arab, maka bisa dimengerti bahwa perintah kepada pemimpin yang dimaksud dalam ayat tadi adalah pemimpin laki-laki. Sebab, bila pemimpin yang dimaksud adalah perempuan, mestinya akan digunakan kata "uulatul umri". .
KETIGA, didalam al-Quran terdapat petunjuk yang sangat jelas bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita. "Para lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita, (An-Nisa 34)". Benar, ayat ini memang berbicara tentang keluarga, dan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam sebuah rumah tangga. Lalu apa hubungannya dengan persoalan negara? Dengan pendekatan tasyri "min baabi al-aula" (keharusan yang lebih utama), bila untuk mengatur rumah tangga saja lelaki harus menjadi pemimpin, apalagi "rumah tangga besar" dalam wujud sebuah bangsa atau negara tentu lebih diharuskan seorang laki-laki. Bila untuk mengatur urusan yang lebih kecil seperti urusan rumah tangga, Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin atas wanita, maka terlebih lagi masalah negara yang lebih besar dan kompleks, tentu lebih wajib diserahkan kepada laki-laki. .
KEEMPAT, dalam sejarah pemerintahan Islam, baik di masa khulafaurrasyidin, Bani Umayah, Bani Abassiyah atau pemerintahan sesudahnya, tidak pernah sekalipun khalifah diangkat dari kalangan wanita. Memang di Mesir pernah berkuasa seorang ratu bernama Syajaratuddur dari dinansti Mamalik. Tapi kekuasaan yang diperolehnya itu sekadar limpahan dari Malikus Shalih, penguasa ketika itu yang meninggal. Setelah tiga bulan berkuasa (jadi sifatnya sangat sementara dan relatif tidak diduga) akhirnya kekuasaan dipegang oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya. Jadi jelas sekali tidak ada preferensi historis dalam Islam menyangkut peran wanita sebagai kepala negara. .
KELIMA, kenyataan adanya presiden-presiden wanita di sejumlah negeri muslim (Benazir Bhuto di Pakistan, Begum Khalida Zia di Bangladesh) tidaklah cukup untuk menggugurkan larangan wanita menjabat kepala negara. Kenyataan di atas harus dipandang sebagai penyimpangan. Dan sebuah kenyataan bukanlah hukum, apalagi bila kenyataan itu bertentangan dengan hukum itu sendiri. Sama seperti hukum shalat. Bila terlihat kenyataan cukup banyak di negeri ini orang tidak shalat, apakah lantas hukum shalat bisa berubah begitu saja menjadi tidak wajib? Terhadap kenyataan yang menyalahi hukum Allah otomatis ia tidak bisa dijadikan pedoman bagi pembuatan dasar sebuah hukum atau pembenaran suatu tindakan bersangkutan. (Milist Sabili)
Sementara itu Ketua Umum Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia Eggy Sudjana menyatakan mendukung fatwa ulama yang mengharamkan presiden dari kalangan wanita karena secara biologis dan psikologis wanita memiliki kelemahan untuk tampil sebagai pemimpin selain menurutnya agama Islam juga melarang. .
Eggy lantas mencontohkan bagaimana "wanita besi" Margaret Thatcher yang ketika menjabat perdana menteri Inggris tiba-tiba menghentikan sidang kabinet yang dipimpinnya gara-gara mendengar laporan anaknya hilang saat mengikuti rally Paris-Dakkar. .
"Wanita itu perannya melahirkan pemimpin bukan menjadikan dirinya sebagai pemimpin," kata Eggy yang mengkritik ulama yang membolehkan wanita menjadi presiden telah menyimpang dari ajaran karena kepentingan sesaat.
C. Pendapat ahli bahasa terhadap pola kalimat dalil-dalil terkait.
Di Indonesia pembahasan tentang pemimpin wanita mencapai puncaknya beberapa waktu lalu ketika seorang wanita diangkat sebagai presiden negara kita ini. Dan ironinya mereka yang ikut beraklamasi menaikkan wanita tersebut ke kursi kepresidenan sebagian besar adalah beragama Islam. Diantara alasan mereka adalah tidak ada ayat yang secara tegas melarang wanita menjadi pemimpin. Dalam Al-Qur-an tidak terdapat ayat yang menggungkan kalimat larangan yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin pemerintah atau negara. Oleh karena itu, adanya pendapat yang melarang perempuan memerintah atau menjadi pemimpin tidak berdasarkan nash Al-Qur-an. Maka kita katakan: pola kalimat yang dipergunakan Al-Qur-an adalah pola kalimat bahasa Arab. Oleh karena itu, untuk mengetahui ada tidaknya larangan yang dimaksud haruslah kembali kepada pola-pola kalimat bahasa Arab yang menjadi bahasa Al-Qur-an itu sendiri.
Pola kalimat Al-Qur-an dalam menetapkan suatu larangan ada kalanya dalam bentuk fi’il nahi, (kata kerja larangan) atau bentuk laa nafiyah (pembatalan umum) atau berupa kalimat berita tetapi maksudnya mengandung larangan. Salah satu dari tiga bentuk kalimat di atas dalam bahasa Arab merupakan bentuk kalimat larangan. Begitu juga dalam hal perintah sama polanya dengan yang berlaku dalam larangan.
Contoh larangan dalam bentuk fi’il nahi, antara lain :
“ dan janganlah kamu mendekati zina”. (QS. Al Israa’ : 32).
“dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik hingga ia sampai usia dewasa”. (QS. Al An’aam: 152).
“ hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendekati shalat ketika sedang mabuk”. (QS. An-Nisaa’: 43)
Contoh larangan dalam bentuk laa nafiyah, antara lain:
“ Allah, tidak ada Ilah kecuali Dia”. (QS. Al-Baqarah: 255).
Ayat ini menafikan semua sesembahan dan hanya Allah yang berhak disembah.” Orang yang berkecukupan dan berkelapangan di antara kamu tidak memutus pemberian bantuan nafkah kepada kerabat dekat”. (QS. An-Nuur (24) : 22).Ayat ini melarang orang-orang yang mampu memutus bantuan kepada keluarga dekatnya karena hatinya disakati atau karena ia membencinya.
Contoh larangan dalam bentuk kalimat berita, antara lain:
“ perempuan-perempuan yang telah diceraikan, mereka menunggu tiga masa quru’ bagi diri mereka”.(QS. Al-Baqarah (2): 228)
Kalimat tersebut mengandung larangan kepada perempuan yang dicerai untuk menikah selama masa iddah (3 kali bersih dari haidh).” dia bermasam muka dan berpaling ketika seorang buta datang kepadanya.” (QS. ‘Abasa: 1 – 2 ). )
Kalimat di atas mengandung larangan bermuka masam dan memalingkan muka dari orang lain.Pelanggaran terhadap larangan dalam bentuk fi’il nahi ada toleransinya, yaitu kelonggaran darurat, misalnya:” Dan janganlah kamu membunuh suatu jiwa kecuali dengan jalan yang hak”. (QS. Al-An’aam: 151)
Pelanggaran terhadap larangan bentuk laa nafiyah pun ada toleransinya, yaitu kelonggaran darurat, misalnya: :
“ Barangsiapa kafir kepada Allah setelah menyatakan beriman, kecuali karena dipaksa sedangkah hatinya mantap dengan keimanannya (maka tidak berdosa). Akan tetapi, barangsiapa menyatakan kekafiran dengan sukarela maka mereka mendapatkan murka dari Allah dan mereka mendapatkan siksa yang berat.” (QS. An-Nahl: 106)
Kalimat larangan yang paling berat justru dalam bentuk kalimat berita yang menerangkan sunnah thabii’iyyah (hukum tetap penciptaan atau ketentuan paten yang berlaku universal). Pelanggaran terhadap sunnah thabii’iyyah akan menghancurkan pelanggarnya sendiri. Pelanggaran terhadap sunnah thabii’iyyah sama sekali tidak ada toleransinya sebagaimana disebutkan dalam QS. Fathir : 43.
” Engkau tidak akan pernah menemukan sunnah Allah itu berubah dan engkau tidak akan pernah menemukan sunnah Allah itu bertukar dengan yang lain.”
Contoh-contoh dari sunnah thabii’iyyah manusia, antara lain:
- Orang tua menuntut penghargaan dari anak .
- Anak menuntut perlindungan dari orang tua .
- Suami menuntut penghormatan dari istri .
- Istri menuntut jaminan pengayoman dari suami .
- Hubungan kerabat menuntut kerukunan dan sikap tolong menolong .
- Pemimpin menuntut kepatuhan dari yang dipimpin.
Hal-hal yang bersifat sunnah thabii’iyyah seperti ini bila penyajiannya menggunakan kalimat berita, menunjukkan kepada maksud larangan atau perintah.
Masalah kepemimpinan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara adalah masalah yang bersifat sunnah thabii’iyyah.Larangan A-Qur-an tentang wanita menjadi pemimpin pemerintah atau negara disebutkan dalam kalimat berita sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah (2) : 228:” dan bagi laki-laki mempunyai hak satu derajat lebih terhadap mereka (perempuan)”.
Kalimat pada ayat ini menurut para ahli balaghah (ahli bahasa) disebut kalimat qashr, karena khabar-nya ditempatkan di depan mubtada’-nya (atau M di depan D pada pola kalimat MD). Bila disusun dengan mubtada’ di depan dan khabar dibelakang, kalimat itu berbunyi : “satu derajat bagi kaum laki-laki terhadap kaum perempuan”. Kalimat tersebut hanya berbentuk pemberitahuan yang tidak memiliki penetapan khusus yang normatif. Akan tetapi, dengan kalimat yang tersusun pada ayat yang mendahulukan khabar daripada mubtada’nya, diperolah penetapan yang normatif dan khusus serta bersifat universal sebagai sunnah thabii’iyyah. Dengan demikian penyimpangan dari penetapan ini suatu pelanggaran terhadap ketetapan Allah yang bersifat sunnah thabii’iyyah.
Orang yang merasa tidak puas dan terus menuntut adanya nash Al-Qur-an yang secara tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintah, harus berlaku jujur dengan cara berpikirnya dalam menghadapi persoalan-persoalan lain yang dalam Al-Qur-an tidak ada larangannya seara tegas tetapi hukumnya diterima sebagai satu ketetapan yang tidak boleh dilanggar.
Contoh : perempuan yang tengah menjalani iddah dilarang menikah dengan lelaki lain, padahal tidak ada larangan secara tegas dan khusus mengenai masalah ini. Yang ada adalah suatu ketetapan umum sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Baqarah (2) : 228 yang sama sekali tidak menyebut larangan menikah dengan lelaki lain dalam masa iddah ini. “Dan perempuan-perempuan yang di thalaq mereka itu menahan dirinya tiga kali masa bersih (quru’) dan mereka tidak dihalalkan merahasiakan apa yang telah Allah ciptakan dalam rahim mereka jika mereka benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Akan tetapi bekas suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam masa iddah itu kalau mereka menginginkan perdamaian. Bagi perempuan itu mendapatkan hak sepadan dengan kewajiban mereka secara ma’ruf dan bagi laki-laki mempunyai hak satu derajat lebih terhadap mereka dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.”
Secara jelas pada ayat di atas tidak terdapat larangan bagi perempuan dalam masa iddah untuk menikah dengan laki-laki lain. Apakah karena alasan tidak adanya larangan tegas secara khusus itu kita boleh atau halal menikahkan seorang perempuan dalam masa iddah dengan lelaki lain? Dalam kasus ini tidak seorangpun ahli tafsir atau ahli fiqh yang berani menyatakan pendapatnya seperti itu. Bahkan orang-orang yang tidak memahami seluk-beluk mengenai hukum Islam pun tidak berani berpendapat seperti itu. Oleh karena itu, kita meminta kepada orang-orang yang menuntut adanya ayat yang tegas melarang perempuan menjadi pemimpin pemerintah atau negara berlaku adil dalam menuntut dalil dan berpikir adil dalam mendudukkan permasalahannya.
Jadi tidak benar bahwa tidak ada larangan perempuan menjadi pemimpin pemerintah atau negara seperti yang diisukan oleh orang-orang yang tidak mengerti pola-pola Al-Qur-an dalam merumuskan kalimat-kalimatnya.
Dr. Rabi’ bin Hadii Al-Madkhali menjelaskan, orang laki-laki tetap memiliki beberapa kelebihan yang tidak bisa disamai wanita. Islam melebihkan laki-laki atas wanita sejak lahirnya. Islam mensyari�atkan aqiqah bagi anak laki-laki dengan menyembelih dua ekor domba, sedangkan untuk wanita cukup satu domba.
Selagi keduanya masih bayi, maka kencing bayi wanita harus dicuci, sedangkan kencing bayi laki-laki cukup diperciki air saja. Dalam pembagian warisan, untuk laki-laki sama dengan bagian dua wanita. Dalam lapangan hukum, politik, pemerintah dan jihad, maka Islam melimpahkan semua tanggung jawab ke pundak laki-laki yang dapat dipercaya. Rasulullah SAW tidak pernah mengangkat seorang wanita sebagai komandan pasukan perang dan juga sebagai pemimpin pengiriman pasukan. Beliau juga tidak mengangkat wanita sebagai pemimpin manusia, apalagi mengangkat sebagai pemimpin suatu wilayah. Beliau juga tidak mengangkat wanita sebagai imam shalat dan penyeru adzan. Dalam masalah kesaksian dan ibadah maka Rasulullah Shalallahu ”Alaihi Wasallam bersabda tentang kondisi wanita: “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang kurang akal dan agamanya.” Dalam maslalah nikah maka wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri, juga tidak bisa menikahkan orang lain.Dr. Rabi’ melanjutkan, tentunya engkau sudah tahu salah satu dari dua sebab kepemimpinan, yaitu kelebihan laki-laki daripada wanita.


BAB V
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat kami simpulkan bahwa adanya perbedaan pendapat tentang boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin adalah berkisar pada bentuk sebuah negara dan arti pemimpin itu sendiri serta kriteria menjadi seorang pemimpin. Banyak kalangan berpendapat bahwa sistem negara yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah sistem negara Islam dengan pemimpinnya seorang Imam atau Kholifah.Menurut pendapat ini, pemimpin wanita adalah tidak boleh karena wanita tidak memenuhi syarat sebagai seorang pemimpin. Namun juga ada yang berpendapat bahwa negara yang di maksud adalah Negara dalam arti umum yang kepala negaranya adalah seorang Presiden.Menurut pendapat ini, sah sah saja pemimpin seorang wanita karena belum tentu pemimpin laki-laki lebih baik dari perempuan.
Merujuk pada berbagai macam argumen dan dalil-dalil yang menguatkan argumen-argumen tersebut kami menyimpulkan bahwa pemimpin wanita dalam islam tidak boleh atu tidak sah.Sudah sangat jelas tentang adanya Nash Al-qur’an dan Hadist Nabi yang melarang wanita menjadi seorang pemimpin.
Hukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan. Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh orang-orang yang tertindas dan terdzalimi.Sekarang ini untuk terjaganya hukum-hukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.


DAFTAR PUSTAKA

Dr.Mansour Faqih (1999), Otonomi Perempuan Menabrak Ortodoksi, Yogyakarta: Lentera
Ibrahim Muhammad Al Jamal (1986), Fiqhul Mar’ah,Alih Bahasa Anshori Umam, Semarang.
Musthofa Mahmud (2003), Dialog Bersama Saudaraku Yang Ingkar, Jakarta:Balai Pustaka.
www.kafemuslimah.com
www.gerbangislami.com
www.womencorp.com