|
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB TAHUN AKADEMIK 2023/2024 |
|||
|
|
|||
Nama |
:
Lamiran/230505001 |
Dosen Pengampu |
: Indah Listyroini, M.HI |
|
Mata Kuliah |
: Hukum Acara Peradilan Agama |
Kelas/Semester |
: HKI RPL |
|
Disccusion Task-StudyTtask Seorang laki-laki bernama Lukman Hakim, umur 18
tahun dan beragama Islam, kawin dengan seorang wanita bernama Siti Aminah,
umur 17 tahun juga beragama Islam. Pada saat melakukan perkawinan dihadapan
penghulu dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan selanjutnya
dicatatkan di Kantor Pencatatan Nikah. Dalam menjalani bahtera rumah tangga sering
terjadi perselisihan pendapat sehingga sering terjadi percekcokan. Akibatnya
perkawinan tersebut tidak langgeng sehingga si suami (Lukman Hakim)
menjatuhkan talak 1 (satu) kepada si istri (Siti Aminah) hingga akhirnya
jatuh sampai pada talak 3 (tiga). Si suami menggugat cerai istrinya di depan
Pengadilan Agama setempat. Selama perkawinan, mereka mempunyai harta
kekayaan berupa harta bersama yaitu sebuah rumah mewah yang dibangun diatas
sebidang tanah dengan luas 4 (empat) are, sebuah mobil dan sebuah sepeda
motor. Gugatan suami dikuatkan dengan alat-alat bukti untuk menguatkan
dalilnya. Berdasarkan gugatan dan alat-alat bukti tersebut Pengadilan Agama
berpendapat dan berkeyakinan bahwa gugatan Penggugat dikabulkan, juga
termasuk pembagian harta bersama. Tanggapan dan Argumentasi Hukum Terhadap Kasus Lukman Hakim dan Siti
Aminah: 1. Keabsahan Perkawinan: - Berdasarkan hukum Islam dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam), perkawinan Lukman Hakim (18
tahun) dan Siti Aminah (17 tahun) adalah sah. Mereka menikah di hadapan penghulu
dengan dua saksi dan telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Nikah, yang
memenuhi syarat sahnya perkawinan baik secara agama maupun negara. 2. Perceraian: - Perceraian dalam hukum Islam
dapat terjadi melalui talak. Dalam kasus ini, Lukman Hakim telah menjatuhkan
talak sebanyak tiga kali kepada Siti Aminah, yang berarti perceraian tersebut
adalah talak bain kubra, di mana mereka tidak dapat rujuk kecuali setelah
Siti Aminah menikah dengan orang lain dan bercerai dengan orang tersebut. - Proses perceraian ini telah
dibawa ke Pengadilan Agama, yang sesuai dengan Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, menyatakan bahwa perceraian harus dilakukan di depan
Pengadilan Agama untuk mendapatkan kepastian hukum. 3. Harta Bersama: - Menurut Pasal 35 UU No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 85-97), harta yang diperoleh
selama perkawinan disebut harta bersama. Dalam kasus ini, rumah, mobil, dan
sepeda motor yang mereka miliki termasuk dalam kategori harta bersama. - Pembagian harta bersama
dilakukan secara adil, yang biasanya berarti dibagi rata antara suami dan
istri, kecuali ada perjanjian pranikah yang menyatakan sebaliknya atau ada
bukti bahwa harta tersebut merupakan milik pribadi salah satu pihak sebelum
menikah. 4. Pembuktian di Pengadilan: - Penggugat (Lukman Hakim) telah
mengajukan alat-alat bukti yang cukup untuk mendukung gugatannya. Pengadilan
Agama, berdasarkan bukti-bukti tersebut, memutuskan untuk mengabulkan gugatan
cerai serta membagi harta bersama. - Keputusan ini sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum perdata dan Islam yang berlaku, di mana pengadilan
memberikan putusan berdasarkan bukti yang ada dan prinsip keadilan. Argumentasi Hukum: - Keabsahan Perkawinan dan Talak: - Hukum Islam dan
perundang-undangan di Indonesia mengakui keabsahan perkawinan ini serta
memberikan hak kepada suami untuk menjatuhkan talak. Talak yang dijatuhkan
tiga kali secara hukum mengakhiri ikatan perkawinan secara permanen kecuali
ada rujuk yang sah setelah talak satu atau dua. - Perceraian Melalui Pengadilan: - Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974
dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa perceraian harus dilakukan
di depan pengadilan, dan pengadilan telah memutuskan berdasarkan bukti yang
ada. - Pembagian Harta Bersama: - Harta bersama dibagi sesuai
dengan prinsip keadilan dan hukum yang berlaku, di mana masing-masing pihak
berhak atas separuh dari harta yang diperoleh selama perkawinan. Keputusan
pengadilan untuk membagi harta bersama adalah tepat dan sesuai dengan hukum
yang berlaku. 5. Hak dan Kewajiban Pasca Perceraian: - Nafkah Iddah dan Mut’ah: - Berdasarkan Pasal 149
Kompilasi Hukum Islam, setelah perceraian, suami wajib memberikan nafkah
iddah kepada mantan istri selama masa iddah (tiga kali suci bagi yang tidak
hamil, atau sampai melahirkan bagi yang hamil). - Selain itu, suami juga harus
memberikan mut’ah, yaitu pemberian dari suami kepada istri setelah terjadinya
perceraian, yang diberikan berdasarkan kemampuan suami. - Hak Asuh Anak (Hadhanah): - Jika dalam perkawinan
tersebut terdapat anak-anak, hak asuh anak menjadi salah satu hal yang
diputuskan oleh pengadilan. Sesuai dengan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam,
dalam hal terjadi perceraian, ibu lebih berhak mengasuh anak yang belum
mumayyiz (belum berusia 12 tahun), kecuali jika ibu dianggap tidak layak. - Ayah tetap berkewajiban
untuk memberikan nafkah kepada anak-anaknya meskipun hak asuh berada di
tangan ibu. 6. Saran dan Penyelesaian Alternatif: - Mediasi: - Sebelum melanjutkan ke
pengadilan, disarankan kedua belah pihak untuk mencoba mediasi guna mencapai
kesepakatan bersama tentang pembagian harta, hak asuh anak, dan nafkah.
Mediasi dapat mengurangi konflik dan memberikan solusi yang lebih damai dan
efisien. - Perjanjian Pascaperceraian: - Membuat perjanjian
pascaperceraian yang disahkan oleh pengadilan untuk mengatur pembagian harta,
nafkah, dan hak asuh anak dapat membantu kedua pihak menjalani kehidupan
setelah perceraian dengan lebih jelas dan terstruktur. 7. Analisis Peraturan dan Preseden: - Preseden Kasus: - Melihat preseden kasus
serupa yang pernah diputuskan oleh pengadilan dapat memberikan gambaran
bagaimana pengadilan biasanya memutuskan kasus-kasus perceraian dan pembagian
harta bersama. Ini dapat membantu dalam menyusun strategi hukum dan argumen
yang lebih kuat di pengadilan. - Peraturan Terkait: - Mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku, seperti UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum
Islam, untuk memastikan setiap langkah hukum yang diambil sesuai dengan hukum
yang berlaku. Penutup/Kesimpulan: Pengadilan Agama telah bertindak sesuai dengan hukum Islam dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Keputusan untuk mengabulkan
gugatan cerai dan membagi harta bersama adalah sah dan sesuai dengan prinsip
keadilan serta ketentuan hukum yang berlaku. Kasus perceraian antara Lukman Hakim dan Siti Aminah mencerminkan
dinamika perceraian yang sering terjadi dalam masyarakat. Keputusan
Pengadilan Agama dalam mengabulkan gugatan cerai dan membagi harta bersama
sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, baik secara agama maupun
negara. Penting bagi kedua belah pihak untuk memahami hak dan kewajiban mereka
pasca perceraian agar proses ini dapat berjalan dengan lancar dan tidak
menimbulkan konflik lebih lanjut. Selain itu, pendekatan mediasi dan
penyusunan perjanjian pascaperceraian dapat menjadi solusi alternatif yang
lebih efektif dan damai. |
||||
0 Post a Comment:
Posting Komentar