Kamis, Januari 29, 2015

Iring-iring Manten lanjut Waduk Kedung Ombo

Kedung Ombo, 26 Januari 2015

Rabu, Januari 21, 2015

Do'a Para Nabi

بسم الله الرحمن الرحيم

Kamis, Januari 15, 2015

Dokumentasi My Son

Jipangulu, Rabu 14 Januari 2015, Istimewanya sore ini. ...

Senin, Januari 12, 2015

Jejak Perjuangan, Doa, dan Janji: "Sebuah Kisah Perjalanan Sang Joko Menemukan Cahaya Tauladan dari Makam Para Ulama”


Jombang, 25 Desember 2014. Segala puji syukur hanya kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat tiada tara kepada hamba-Nya. Hari itu terasa begitu istimewa, karena sebuah angan-angan sederhana dari seorang anak lanang akhirnya terwujud juga.

Beberapa pekan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 14 Desember 2014, ia telah menapaki gerbang baru kehidupannya. Dunia yang menjadi pintu menuju kedewasaan—dunia seorang “Joko”. Ya, anak lanang telah menunaikan prosesi khitan dengan penuh keberanian. Namun sebelum itu, ia sempat menyampaikan sebuah syarat dengan polosnya, “Aku gelem di-kris, tapi nek wes mari kudu diajak dolan, plesiran.” Sebuah permintaan yang begitu tulus dari hati seorang bocah yang baru saja akan beranjak menuju fase hidup berikutnya.

Sebagai orang tua, janji itu tentu harus ditepati. Maka, memanfaatkan liburan akhir tahun ini, kami bertekad menjadikan plesiran bukan sekadar jalan-jalan pengisi waktu, melainkan perjalanan yang sarat makna. Kami ingin liburan ini menjadi wisata edukatif sekaligus religius, agar anak lanang tak hanya gembira, tetapi juga mendapatkan bekal nilai-nilai luhur dari perjalanan rohani.

Tujuan kami adalah ziyaroh ke makam para sesepuh pejuang agama dan bangsa di tanah Jawa. Kami mulai dari Tebuireng Jombang, di mana bersemayam tokoh besar umat Islam sekaligus pahlawan bangsa, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Di samping beliau juga beristirahat putranya, KH. Wahid Hasyim, sang pejuang pendidikan dan politisi ulung, serta cucunya yang karismatik dan mendunia, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ke-4 Republik Indonesia.

Kami ingin anak lanang menatap nisan-nisan mulia itu, agar hatinya tergetar dan kelak ia menauladani keshalihan, kebijaksanaan, serta perjuangan beliau-beliau. Dari Tebuireng perjalanan kami lanjutkan menuju Troloyo Mojokerto, berziyarah ke maqom Syeh Jumadil Qubro—leluhur para Wali Songo—dan Sunan Ngudung. Doa pun kami panjatkan dengan penuh harap, semoga anak lanang tumbuh menjadi pribadi yang tak hanya pintar secara duniawi, tetapi juga teguh iman, bijaksana, dan membawa keberkahan bagi umat.

Namun perjalanan ini bukan hanya tentang tempat yang dituju. Ada kisah lain yang membuatnya semakin berkesan. Saya tidak sendirian. Di sisi saya hadir sosok yang sudah lama menjadi bagian dari perjalanan hidup saya, Akhinal Karim, Pak Suyoso dari Lamongan. Beliau adalah sahabat setia yang selalu hadir di kala saya berada dalam masa-masa sulit, ketika gelapnya perjuangan hampir memadamkan cahaya semangat. Atas jasa dan bantuannya pula, perjalanan ziyaroh kali ini bisa terlaksana dengan lancar, tanpa kurang suatu apa pun. Hanya doa tulus dan ucapan terima kasih yang bisa saya sampaikan untuk beliau.

Selain itu, ada pula adik saya tercinta yang turut menemani, Nak Mas Abid Karebed, yang nampak gagah dengan Jas Hijaunya sebagai Gusdurian Jipangulu. Kebersamaan ini semakin menambah hangatnya suasana perjalanan.

Perjalanan ini bukan sekadar memenuhi janji kepada anak lanang. Bukan pula sekadar hiburan di musim liburan. Lebih dari itu, ia adalah sebuah ikhtiar pendidikan jiwa, agar anak lanang belajar langsung dari sejarah, dari jejak para wali dan ulama, dari napas perjuangan para pahlawan bangsa.

Akhirnya, di tengah do’a-do’a yang terlantun di makam para auliya’ itu, hati kecil saya berbisik lirih: “Ya Allah, jadikanlah perjalanan ini sebagai wasilah untuk menanamkan nilai iman, adab, dan semangat perjuangan pada anak lanang. Jadikanlah ia kelak generasi penerus yang tak hanya membawa nama baik keluarga, tetapi juga agama, bangsa, dan negara.”

Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.

Selepas menunaikan ziyaroh di Tebuireng Jombang, kami duduk sejenak di bawah rindangnya pohon-pohon tua yang seakan turut menjadi saksi perjalanan panjang para ulama besar. Anak lanang tampak begitu khusyuk menatap pusara Gus Dur. Matanya seakan menyimpan tanda tanya, lalu dengan polos ia berbisik, “Bapak, kenapa banyak orang datang ke sini setiap hari? Kenapa semua orang hormat sama Gus Dur?”

Pertanyaan itu membuat dada saya bergetar. Sungguh, dari mulut seorang bocah keluar rasa penasaran yang suci. Saya pun mencoba menjelaskan dengan bahasa sederhana, “Nak, Gus Dur itu bukan hanya Presiden. Beliau itu orang alim, orang sholeh, dan orang yang berjuang untuk semua. Tidak membeda-bedakan siapa pun. Beliau selalu menolong yang lemah, bahkan kadang mengorbankan dirinya sendiri. Karena itulah, meski sudah wafat, orang-orang tetap datang, tetap cinta, dan tetap mendoakan beliau.”

Anak lanang menunduk, seakan menyerap setiap kata. Saat itu, saya hanya bisa berharap semoga kata-kata kecil ini mampu menumbuhkan bibit akhlak dalam jiwanya.


Perjalanan kami pun berlanjut menuju Troloyo Mojokerto. Di sanalah, di tengah sunyi yang penuh dengan aura sejarah Islam tanah Jawa, kami menapakkan kaki di maqom Syeh Jumadil Qubro, seorang tokoh besar yang disebut-sebut sebagai leluhur para Wali Songo. Angin sore Mojokerto berhembus pelan, membawa kesejukan yang seolah menyapu penat perjalanan kami.

Ketika membaca tahlil bersama, saya melirik anak lanang yang masih dengan suara lirih mengikuti bacaan. Wajahnya tampak serius. Ada sesuatu yang berbeda—seolah perjalanan ini memang diatur Allah untuk menanamkan cahaya kecil di hatinya.

Tidak lupa, kami juga singgah di maqom Sunan Ngudung, salah satu tokoh besar yang juga dikenal sebagai ayahanda Sunan Kudus. Di sana, doa-doa kembali terucap, harapan kembali dilangitkan. Saya membisikkan doa khusus: “Ya Allah, semoga anak ini kelak tumbuh meneladani perjuangan para wali-Mu. Jadikanlah ia orang yang cinta ilmu, cinta tanah air, dan cinta sesama.”

Di sela perjalanan, saya sempat termenung. Ingatan saya kembali pada masa-masa sulit dahulu. Betapa beratnya perjuangan hidup yang harus saya lalui. Dalam kegelapan dan jatuh bangun itu, ada sosok Pak Suyoso yang tak pernah lelah mendampingi saya. Dialah yang menguatkan, menghibur, sekaligus menjadi kawan seperjuangan di saat saya hampir menyerah. Kini, ia kembali ada di samping saya, mendampingi sebuah perjalanan yang jauh lebih ringan, tapi sarat makna.

Saya hanya bisa berkata dalam hati, “Betapa Allah itu Maha Mengatur. Dulu aku ditemani beliau di medan perjuangan yang berat, kini beliau menemani perjalanan yang penuh keberkahan. Sungguh, persahabatan karena Allah tidak akan pernah lapuk dimakan waktu.”

Sementara itu, kehadiran adik saya, Nak Mas Abid Karebed, menambah semarak perjalanan ini. Dengan sikapnya yang hangat dan penuh guyonan khas Gusdurian, ia membuat suasana cair. Anak lanang pun sesekali tertawa lepas mendengar cerita-ceritanya. Namun di balik canda itu, terselip nilai yang ia sampaikan: bahwa menjadi santri dan Gusdurian bukan hanya soal penampilan, melainkan soal komitmen untuk terus berjuang menegakkan kebenaran.

Malam mulai turun ketika kami hendak kembali. Di perjalanan pulang, suasana di dalam hati saya terasa damai. Anak lanang tampak lelah, namun wajahnya bahagia. Sesekali ia menyandarkan kepala di bahu saya. Dalam kantuknya, ia berkata lirih, “Pak, makasih sudah ngajak aku dolan ke makam para kiai. Aku janji mau jadi anak sholeh.”

Mendengar itu, dada saya terasa hangat, mata saya pun nyaris berkaca-kaca. Sungguh, tidak ada hadiah lebih indah bagi orang tua selain mendengar anaknya berjanji untuk menjadi sholeh.

Malam itu, langit seperti menebar bintang lebih terang. Saya merasa perjalanan kecil kami bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari takdir Allah untuk mengikat hati, mengajarkan nilai, dan menanamkan hikmah.

Perjalanan ini akan selalu saya kenang, bukan sekadar plesiran usai khitan, melainkan sebuah madrasah kehidupan—di mana seorang anak belajar mengenal tokoh, sejarah, dan doa, sementara seorang ayah kembali belajar arti kesabaran, janji, dan rasa syukur.


Refleksi Akhir Perjalanan

Setelah semua rangkaian ziyaroh usai dan langkah kami kembali ke rumah, hati saya terasa dipenuhi oleh campuran rasa syukur, haru, dan tenang. Perjalanan sederhana ini ternyata menyimpan begitu banyak pelajaran, bukan hanya untuk anak lanang, tetapi juga untuk saya sendiri.

Saya merenung dalam-dalam: betapa perjalanan hidup manusia itu sejatinya mirip dengan perjalanan kami hari itu. Ada awal, ada tujuan, ada jalan berliku, ada lelah, ada tawa, ada kawan yang setia menemani, ada pula perhentian sejenak untuk mengingat asal-usul dan tujuan akhir. Semua itu mengajarkan satu hal—bahwa hidup ini bukan sekadar berjalan, melainkan berjalan dengan arah dan makna.

Dari pusara para ulama di Tebuireng, saya belajar bahwa ilmu dan perjuangan yang ikhlas tidak akan pernah padam, bahkan setelah jasad terkubur tanah. Dari Troloyo, saya merenungkan betapa akar sejarah Islam di Jawa ini begitu dalam, dan kita sebagai generasi penerus harus terus menjaga warisan itu dengan amal sholeh, dengan menjaga akidah, serta dengan menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama.

Dan dari perjalanan bersama anak lanang, saya belajar kembali arti janji seorang ayah. Janji kecil yang terucap sebelum khitan itu ternyata berbuah pada sebuah perjalanan yang akan ia kenang seumur hidup. Betapa pentingnya bagi orang tua untuk menepati janji, sekecil apa pun, karena dari situlah seorang anak belajar arti kepercayaan, kesungguhan, dan kasih sayang.

Saya juga belajar bahwa Allah tidak pernah menghadirkan siapa pun secara kebetulan dalam hidup kita. Kehadiran Pak Suyoso yang selalu setia sejak masa-masa sulit, serta adikku Nak Mas Abid yang dengan gaya khas Gusdurian menularkan semangat cinta damai, adalah bukti nyata bahwa persaudaraan karena Allah akan selalu menemukan jalannya.

Maka, perjalanan ini akhirnya menuntun saya pada satu kesimpulan besar: hidup ini adalah ziyaroh panjang menuju Allah SWT. Kita hanyalah musafir yang berjalan dari satu maqom ke maqom berikutnya, dari satu ujian ke ujian berikutnya, hingga akhirnya kita beristirahat di pusara masing-masing. Apa yang kita tinggalkan hanyalah jejak amal, doa anak sholeh, dan keberkahan ilmu yang bermanfaat.

Dengan penuh harap saya panjatkan doa:

“Ya Allah, jadikanlah anak lanangku kelak penegak agama-Mu, pembela bangsa, dan penerus akhlak para ulama. Jadikanlah perjalanan ini bukan hanya kenangan indah, tetapi juga titik awal tumbuhnya semangat iman dan ilmu dalam dirinya. Dan jadikanlah kami sekeluarga selalu dalam naungan rahmat dan ridha-Mu.”

Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin.