Sabtu, Desember 14, 2024

Pemikiran dan Ajaran Aswaja || Materi Kuliah ASWAJA II oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, Lc., MA.

 
Catatan Kuliah Daring Pada hari sabtu 14 Desember 2024.
Oleh Lamiran NIM: 230505001
Prodi HKI/FSA UNUGIRI Bojonegoro.
=====================================================

Pada tanggal 14 Desember 2024, Ustadz Dr. Shofa Robbani, Lc., MA., menyampaikan kuliah yang mendalam mengenai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) kepada mahasiswa UNUGIRI Bojonegoro. Kuliah ini dilaksanakan secara daring dan luring, bertujuan untuk memperkuat pemahaman mahasiswa tentang kedudukan Nabi Muhammad SAW dan peran para nabi sebelumnya dalam konteks ajaran Islam.

Ahlussunnah Wal Jamaah: Landasan Pemikiran

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, Lc., MA., konsep Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dijelaskan sebagai pilar fundamental bagi umat Islam. Pemahaman yang mendalam tentang Aswaja sangat penting, karena ini mencerminkan tradisi Sunni yang menjadi salah satu cabang utama dalam Islam. Mari kita perdalam beberapa aspek penting dari Ahlussunnah Wal Jamaah.

Definisi dan Asal Usul Ahlussunnah Wal Jamaah

Ahlussunnah Wal Jamaah secara harfiah berarti "pengikut Sunnah (tradisi) dan Jamaah (kebersamaan)." Istilah ini merujuk pada kelompok umat Islam yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW, seperti yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Sunnah, serta konsensus (ijma) para ulama.

Sejarah Ahlussunnah Wal Jamaah

Aswaja muncul sebagai respons terhadap berbagai aliran yang berkembang setelah wafatnya Nabi Muhammad. Pada awal sejarah Islam, perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan dan interpretasi ajaran Islam mulai muncul, yang kemudian melahirkan berbagai sekte. Ahlussunnah Wal Jamaah berusaha untuk menjaga kesatuan umat Islam dengan berpegang pada prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh mayoritas ulama.

Pilar Utama Ahlussunnah Wal Jamaah

1. Al-Qur'an sebagai Sumber Utama

Al-Qur'an dianggap sebagai wahyu Allah yang paling otoritatif. Ahlussunnah Wal Jamaah menekankan pentingnya memahami Al-Qur'an dalam konteks sejarah dan linguistik, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang benar tentang Al-Qur'an menjadi dasar untuk membangun akidah yang kokoh.

2. Sunnah Nabi Muhammad

Sunnah, yang mencakup tindakan, ucapan, dan persetujuan Nabi Muhammad, menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an. Dalam Aswaja, sunnah tidak hanya dianggap sebagai pelengkap, tetapi juga sebagai penjelas dan penguat ajaran Al-Qur'an. Pengamalan sunnah dalam kehidupan sehari-hari merupakan manifestasi dari kecintaan umat kepada Nabi Muhammad.

3. Ijma (Konsensus Ulama)

Ijma merupakan kesepakatan para ulama mengenai suatu masalah hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Qur'an atau sunnah. Dalam konteks Ahlussunnah Wal Jamaah, ijma menjadi penting sebagai sumber hukum, karena menunjukkan kesepakatan komunitas Muslim akan suatu isu. Ijma berfungsi sebagai panduan dalam menghadapi permasalahan baru yang muncul seiring perkembangan zaman.

4. Qiyas (Analogi hukum)

Qiyas sebagai Dasar Keempat Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Qiyas adalah salah satu metode istinbat (pengambilan hukum) dalam Islam yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari sumber-sumber syariat, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam konteks Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja), qiyas berfungsi sebagai dasar penting yang melengkapi tiga sumber utama hukum Islam lainnya: Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma (konsensus ulama).

 

Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Berbagai Aspek Ajaran Islam

1. Akidah

Aswaja menekankan akidah yang berdasarkan pada kitab-kitab tauhid, seperti karya Imam Al-Ash'ari dan Imam Al-Maturidi. Dalam aspek akidah, Ahlussunnah Wal Jamaah mengajarkan pentingnya memahami sifat-sifat Allah, kenabian, dan hari kiamat dengan cara yang sesuai dengan pemahaman yang diterima oleh mayoritas umat Islam.

2. Ibadah

Dalam hal ibadah, Aswaja mengajarkan pelaksanaan ibadah yang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad. Ini mencakup tata cara shalat, zakat, puasa, dan haji. Ahlussunnah Wal Jamaah juga menekankan pentingnya niat yang ikhlas dalam beribadah, serta memahami makna dari setiap ibadah yang dilakukan.

3. Akhlak

Etika dan akhlak dalam Ahlussunnah Wal Jamaah sangat ditekankan. Umat Islam diajarkan untuk memiliki akhlak yang baik, mengikuti teladan Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan sesama. Konsep akhlak dalam Aswaja mencakup kejujuran, kesabaran, kasih sayang, dan sikap saling menghormati antar sesama.

 

Kedudukan Nabi Muhammad SAW

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, posisi Nabi Muhammad SAW sebagai "Sayyidul Awalina wal Akhirin" (Pemimpin para nabi dan umat manusia) ditegaskan sebagai salah satu aspek paling penting dalam ajaran Islam. Pemahaman tentang kedudukan Nabi Muhammad tidak hanya sekadar pengakuan atas statusnya, tetapi juga mencerminkan peran sentralnya dalam sejarah penciptaan dan penyampaian wahyu Allah.

Sayyidul Awalina wal Akhirin

Pengertian dan Makna

Sebagai "Sayyidul Awalina wal Akhirin," Nabi Muhammad dianggap sebagai pemimpin yang tidak hanya di kalangan umat manusia, tetapi juga di antara para nabi. Gelar ini menunjukkan bahwa beliau adalah nabi terakhir dalam rangkaian nabi yang diutus oleh Allah untuk membimbing umat manusia. Dalam konteks ini, Ustadz menekankan bahwa kedudukan Nabi Muhammad bukan sekadar simbolis, tetapi memiliki implikasi nyata dalam ajaran dan praktik umat Islam.

Peran dalam Sejarah Penciptaan

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa nur Nabi Muhammad diciptakan jauh sebelum penciptaan Nabi Adam. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memiliki peranan yang fundamental dalam sejarah penciptaan. Nur ini diyakini sebagai cahaya yang menjadi sumber segala kebaikan dan petunjuk bagi umat manusia. Dengan demikian, posisi Nabi Muhammad dalam sejarah bukan hanya sebagai penerima wahyu, tetapi juga sebagai sumber cahaya yang memandu umat manusia menuju kebenaran.

Nur Nabi Muhammad

Konsep Nur sebagai Sumber Kebaikan

Ustadz menguraikan bahwa nur Nabi Muhammad adalah cahaya spiritual yang mengalir dari generasi ke generasi, dimulai dari Nabi Adam hingga nabi-nabi berikutnya, seperti Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim. Cahaya ini diyakini sebagai kekuatan yang memberikan petunjuk dan kebaikan kepada umat manusia. Dalam konteks ini, nur Nabi Muhammad dianggap sebagai manifestasi dari kasih sayang Allah kepada umat manusia.

Keterhubungan dengan Para Nabi Sebelumnya

Ustadz Shofa mengaitkan bahwa penerimaan taubat Nabi Adam kepada Allah dilakukan dengan wasilah nama Muhammad. Ini menunjukkan keterhubungan yang kuat antara Nabi Muhammad dan seluruh nabi sebelumnya. Dalam ajaran Aswaja, pentingnya wasilah dalam berdoa dan bertobat menjadi sangat ditekankan. Melalui nama Nabi Muhammad, Nabi Adam dapat memohon ampunan kepada Allah, menandakan bahwa meskipun beliau adalah nabi pertama, ada hubungan spiritual yang menghubungkan seluruh nabi dengan Nabi Muhammad.

Nur sebagai Jembatan Spiritual

Konsep nur ini juga berfungsi sebagai jembatan spiritual yang menghubungkan umat manusia dengan Allah. Dalam tradisi Islam, nur Nabi Muhammad diakui sebagai cahaya yang membimbing umat dalam menjalani kehidupan sesuai dengan ajaran Allah. Dengan memahami bahwa nur ini mengalir dari Nabi ke nabi lainnya, umat Islam diajak untuk menghargai warisan spiritual yang ditinggalkan oleh para nabi, yang semuanya bermuara pada Nabi Muhammad sebagai penutup para nabi.

Syariat Nabi Muhammad sebagai Penutup

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, pentingnya syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai syariat terakhir dan bersifat universal dijelaskan secara mendalam. Pemahaman ini sangat krusial dalam konteks ajaran Islam, karena syariat Nabi Muhammad tidak hanya mengatur aspek kehidupan umat Islam, tetapi juga menjadi pedoman yang relevan hingga akhir zaman.

Syariat Terakhir dalam Sejarah Kenabian

Konsep Syariat dalam Islam

Syariat dalam Islam merujuk pada hukum dan aturan yang ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan umat manusia. Setiap nabi yang diutus sebelumnya membawa syariat yang sesuai dengan konteks dan kebutuhan umat mereka pada saat itu. Namun, syariat tersebut bersifat temporer dan dapat dihapus atau diganti oleh syariat nabi berikutnya.

Penutup Para Nabi

Ustadz Shofa menekankan bahwa Nabi Muhammad adalah "Khatamun Nabiyyin" (Penutup para nabi). Dengan demikian, syariat yang beliau bawa adalah yang terakhir dan tidak akan ada nabi lain yang diutus setelahnya. Hal ini memberikan kejelasan bahwa ajaran dan hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah final dan tidak akan pernah ketinggalan zaman, sehingga umat Islam memiliki panduan yang jelas untuk mengikuti hingga hari kiamat.

Universalitas Syariat Nabi Muhammad

Diterima oleh Semua Umat

Syariat Nabi Muhammad bersifat universal karena ditujukan untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk suatu bangsa atau komunitas tertentu. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin). Ini menunjukkan bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad harus dipahami dan diterima oleh semua kalangan.

Relevansi di Berbagai Zaman

Syariat Nabi Muhammad juga dirancang untuk relevan di semua waktu dan tempat. Ini terlihat dari berbagai aspek kehidupan yang diatur dalam syariat, mulai dari ibadah, muamalah (interaksi sosial), hingga akhlak. Ustadz menjelaskan bahwa syariat ini mampu menjawab tantangan zaman dan memberikan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi umat manusia.

Kembalinya Nabi Isa AS

Keyakinan Akhir Zaman

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa dalam ajaran Islam, terdapat keyakinan bahwa pada akhir zaman, Nabi Isa AS akan kembali ke dunia. Namun, yang menarik, adalah fakta bahwa ketika beliau kembali, dia akan mengamalkan syariat Nabi Muhammad, bukan syariatnya sendiri. Ini menegaskan bahwa syariat Nabi Muhammad adalah satu-satunya yang berlaku dan tidak akan tergantikan oleh syariat nabi sebelumnya.

Simbol Persatuan Umat

Kembalinya Nabi Isa AS untuk mengamalkan syariat Nabi Muhammad juga simbol persatuan umat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa semua nabi, termasuk Nabi Isa, mengakui dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Ini menciptakan kesatuan di antara umat Islam dan umat-umat lain yang percaya pada ajaran para nabi.

 

Empat Dimensi Ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, empat dimensi utama dalam Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dijelaskan secara mendalam. Pemahaman yang komprehensif terhadap empat dimensi ini—syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat—merupakan kunci untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Mari kita perdalam masing-masing dimensi ini.

1. Syariat

Definisi dan Pentingnya

Syariat adalah seperangkat hukum dan peraturan yang ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan umat Islam. Ini mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, hingga muamalah (interaksi sosial) dan akhlak.

Aspek Hukum dalam Syariat

Ustadz Shofa menekankan bahwa pemahaman yang benar tentang syariat sangat penting untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Syariat memberikan panduan yang jelas dan terstruktur, sehingga umat Islam dapat menjalani hidup mereka dengan penuh keyakinan dan sesuai dengan petunjuk Allah.

Implementasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Penerapan syariat dalam kehidupan sehari-hari mencakup:

  • Ibadah: Melaksanakan shalat dengan khusyuk, berpuasa dengan niat yang ikhlas, dan menunaikan zakat sebagai bentuk kepedulian sosial.
  • Muamalah: Berinteraksi dengan sesama dalam bisnis dan kehidupan sosial sesuai dengan etika dan prinsip-prinsip Islam, seperti kejujuran dan keadilan.
  • Akhlak: Menjalani kehidupan dengan akhlak yang baik, mengikuti teladan Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan orang lain.

2. Tarekat

Konsep Tarekat

Tarekat adalah jalan spiritual yang mengarahkan umat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ini merupakan perjalanan batin yang melibatkan disiplin spiritual dan praktik-praktik tertentu.

Pentingnya Bimbingan Guru

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa memiliki bimbingan dari seorang guru tarekat yang kompeten sangat penting. Guru tarekat berperan sebagai pembimbing dalam perjalanan spiritual, membantu murid memahami dan menjalani tarekat dengan benar. Bimbingan ini mencakup:

  • Praktik Spiritual: Meliputi dzikir, meditasi, dan praktik-praktik ritual yang mendekatkan diri kepada Allah.
  • Pendidikan Moral: Mengajarkan nilai-nilai akhlak dan etika yang harus dipegang oleh seorang pengikut tarekat.

Tujuan Tarekat

Tujuan dari tarekat adalah untuk mencapai derajat spiritual yang lebih tinggi, yaitu dapat merasakan kehadiran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Tarekat mengajarkan pentingnya pengendalian diri, kesabaran, dan ketulusan dalam beribadah.

3. Makrifat

Definisi Makrifat

Makrifat adalah pengetahuan yang mendalam tentang hakikat Tuhan dan penciptaan. Ini lebih dari sekadar pengetahuan teoritis; makrifat melibatkan pengalaman spiritual dan pemahaman yang mendalam tentang realitas.

Peran Makrifat dalam Kehidupan

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa makrifat membantu umat memahami tujuan kehidupan dan hubungan mereka dengan Sang Pencipta. Dalam konteks ini, makrifat menjadi jembatan bagi umat untuk:

  • Memahami Diri: Menggali potensi dan tujuan hidup masing-masing individu.
  • Mendekatkan Diri kepada Allah: Menyadari bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu dan memahami sifat-sifat-Nya.

Makrifat dalam Praktik

Praktik makrifat dapat dilakukan melalui:

  • Refleksi Diri: Merenungkan ciptaan Allah, seperti alam semesta, dan memahami tanda-tanda kebesaran-Nya.
  • Ilmu Tasawuf: Mempelajari dan mengamalkan ilmu tasawuf yang mengajarkan cara mendekatkan diri kepada Allah melalui pengendalian nafsu dan peningkatan akhlak.

4. Hakikat

Konsep Hakikat

Hakikat adalah esensi dari ajaran Islam yang melampaui pemahaman lahiriah. Di sinilah umat Islam diajak untuk menyelami kedalaman spiritual dan memahami hakikat hidup yang lebih dalam.

Mengajak untuk Menyelami Kedalaman Spiritual

Ustadz Shofa menekankan bahwa hakikat mengajak umat untuk tidak hanya melihat aspek lahiriah dari ibadah dan syariat, tetapi juga mengerti makna yang lebih dalam. Ini termasuk:

  • Kesadaran Spiritual: Memahami bahwa setiap tindakan ibadah harus didasari oleh kesadaran akan kehadiran Allah.
  • Menghayati Makna Hidup: Menyadari bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju Allah dan setiap amal perbuatan harus diarahkan untuk mencapai ridha-Nya.

Implementasi Hakikat dalam Kehidupan

Implementasi hakikat dalam kehidupan sehari-hari mencakup:

  • Kedalaman Intent: Memiliki niat yang tulus dalam setiap tindakan.
  • Penghayatan terhadap Ajaran: Mengamalkan ajaran Islam dengan penuh kesadaran akan makna dan tujuan hidup.

Pembelajaran dari Nabi Khidir dan Nabi Musa

Dalam kuliah yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Shofa Robbani, kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa diangkat sebagai contoh penting untuk memahami ilmu hakikat. Kisah ini tidak hanya menyoroti hubungan antara kedua nabi, tetapi juga memberikan pelajaran yang mendalam tentang pentingnya pembelajaran, kesabaran, dan pemahaman hakikat dalam kehidupan spiritual.

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

Latar belakang

Nabi Musa, sebagai salah satu nabi besar dalam Islam, diutus oleh Allah untuk membimbing Bani Israil. Suatu ketika, Nabi Musa mendengar tentang seorang hamba Allah yang memiliki pengetahuan yang lebih dalam, yaitu Nabi Khidir. Dengan rasa ingin tahu dan kerendahan hati, Nabi Musa bertekad untuk belajar dari Nabi Khidir, meskipun ia sendiri adalah seorang nabi.

Perintah untuk Belajar

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa ketika Nabi Musa meminta izin untuk belajar dari Nabi Khidir, ini menunjukkan sikap terbuka dan rendah hati. Meskipun Nabi Musa memiliki kedudukan tinggi dan diakui sebagai pemimpin umat, ia tidak merasa ragu untuk mencari ilmu dari orang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam perjalanan spiritual, kesediaan untuk belajar dari siapapun, termasuk dari orang yang dianggap lebih rendah, adalah sangat penting.

Signifikansi Ilmu Hakikat

Kesadaran akan Keterbatasan

Kisah ini memiliki signifikansi yang mendalam mengenai ilmu hakikat. Meskipun Nabi Musa adalah nabi yang diberi wahyu dan mukjizat, ia tetap menyadari keterbatasannya dalam memahami hakikat kehidupan. Ustadz menekankan bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh Nabi Khidir tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga meliputi pengalaman dan pemahaman yang lebih dalam tentang makna kehidupan.

Ilmu Hakikat vs. Ilmu Syariat

Ustadz Shofa menjelaskan bahwa ilmu hakikat dan syariat saling melengkapi. Syariat memberikan pedoman dan aturan yang jelas untuk diikuti, sedangkan hakikat membawa pemahaman lebih dalam tentang tujuan di balik praktik-praktik ibadah.

  1. Ilmu Syariat: Mengatur hubungan manusia dengan Allah dan sesama. Ini mencakup hukum-hukum Islam, tata cara ibadah, dan etika sosial.
  2. Ilmu Hakikat: Menyelami makna di balik setiap tindakan dan ibadah, memahami tujuan hidup, dan merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.

Pentingnya Belajar Sepanjang Hayat

Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir menggarisbawahi pentingnya sikap belajar sepanjang hayat. Umat Islam diajak untuk terus mencari ilmu, baik itu dalam aspek syariat maupun hakikat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada batasan dalam pencarian pengetahuan, dan setiap orang, terlepas dari status atau kedudukannya, harus memiliki sikap terbuka untuk belajar dari pengalaman dan pengetahuan orang lain.

Pembelajaran Praktis

Kesediaan untuk Belajar

Dari kisah ini, umat Islam diajarkan untuk:

  • Menerima Pembelajaran: Tidak merasa malu untuk meminta bimbingan dari orang lain, bahkan jika mereka berada dalam posisi yang lebih rendah.
  • Menghargai Pengetahuan: Memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan pengetahuan yang berharga, yang dapat memperkaya pemahaman kita tentang kehidupan.

Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari

Ustadz Shofa menekankan bahwa pembelajaran dari kisah ini harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari:

  • Keterbukaan untuk Menerima Masukan: Bersikap terbuka terhadap kritik dan saran dari orang lain, serta siap untuk belajar dari pengalaman mereka.
  • Menggabungkan Ilmu Syariat dan Hakikat: Mengamalkan syariat dengan penuh kesadaran akan makna dan tujuan hidup, serta memahami bahwa setiap tindakan ibadah harus didasari oleh niat yang tulus dan pemahaman yang mendalam.

Kesimpulan

  1. Konsep Ahlussunnah Wal Jamaah merupakan landasan pemikiran yang sangat penting bagi umat Islam. Dengan berpegang pada Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma para ulama, Ahlussunnah Wal Jamaah memberikan panduan yang jelas dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Hal ini sangat relevan di tengah perbedaan yang ada di kalangan umat Islam, sebagai upaya untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan dalam beragama.
  2. Dengan pemahaman yang mendalam tentang Aswaja, diharapkan umat Islam dapat menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad dan para ulama, serta menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat dan umat manusia secara keseluruhan. 
  1. Kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai "Sayyidul Awalina wal Akhirin" dan konsep nurnya adalah aspek fundamental dalam ajaran Islam. Pemahaman tentang peran Nabi Muhammad dalam sejarah penciptaan dan penyampaian wahyu Allah tidak hanya memperkuat akidah umat Islam, tetapi juga memberikan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan mengakui keterhubungan antara Nabi Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya, umat Islam diajak untuk lebih menghargai nilai-nilai spiritual dan petunjuk yang diberikan oleh Allah melalui para nabi-Nya.
  2. Kuliah ini menekankan pentingnya meneladani sifat-sifat baik Nabi Muhammad dan menerapkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga umat dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan tujuan, sesuai dengan petunjuk dari Sang Pencipta. 
  1. Syariat Nabi Muhammad sebagai penutup dalam sejarah kenabian memiliki makna yang sangat dalam. Tidak hanya sebagai aturan dan hukum, tetapi juga sebagai pedoman hidup yang bersifat universal dan abadi. Dengan memahami bahwa syariat ini akan tetap berlaku hingga akhir zaman, umat Islam diharapkan dapat menjalani hidup dengan penuh kesadaran bahwa mereka mengikuti petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah melalui Nabi Muhammad.
  2. Kuliah ini menjadi pengingat bagi umat Islam untuk terus belajar, memahami, dan menerapkan syariat Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari, serta menghormati warisan para nabi sebelumnya sebagai bagian dari perjalanan panjang keimanan yang membentuk akidah dan praktik Islam saat ini. 
  1. Pemahaman terhadap empat dimensi ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah—syariat, tarekat, makrifat, dan hakikat—merupakan fondasi penting bagi umat Islam untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan memahami dan mengamalkan keempat dimensi ini, umat diharapkan dapat mencapai kedamaian, kebahagiaan, dan kedekatan yang lebih dalam dengan Allah, serta menjadi pribadi yang bermanfaat bagi masyarakat. Kuliah ini mengajak kita untuk terus belajar dan mendalami ajaran-ajaran Islam secara komprehensif, agar dapat menjalani hidup dengan penuh makna dan tujuan yang jelas. 
  1. Kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa mengajarkan kita bahwa pencarian ilmu adalah bagian integral dari perjalanan spiritual seorang Muslim. Kesediaan untuk belajar dari orang lain, termasuk mereka yang dianggap lebih rendah, menunjukkan sikap rendah hati dan kesadaran akan keterbatasan diri.
  2. Ustadz Dr. Shofa Robbani menekankan bahwa ilmu hakikat dan syariat harus dipahami dan diamalkan secara bersamaan. Dengan mengintegrasikan keduanya, umat Islam dapat menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan mendalam, serta lebih dekat dengan Allah. Kuliah ini mengajak kita untuk terus mengeksplorasi ilmu dan memperdalam pemahaman kita tentang hakikat kehidupan, sehingga dapat menjalani hidup yang sesuai dengan ajaran Islam secara komprehensif.