Rabu, Oktober 26, 2011
Jumat, Oktober 21, 2011
“Membeli Surga atau Mendekat kepada Allah? Telaah Filosofis dan Teologis atas Praktik Religius Modern”
1. Dimensi Simbolisme
Simbolisme muncul ketika ibadah dijadikan ajang pencitraan. Amal kebajikan dilakukan bukan karena dorongan ikhlas, melainkan demi status sosial, prestise, dan kehormatan di mata masyarakat. Misalnya, membangun masjid tetapi nama donatur harus diabadikan pada prasasti; bersedekah namun disiarkan secara berlebihan di media sosial; atau menolong fakir miskin hanya ketika ada liputan publik.
Dalam perspektif agama, hal ini masuk kategori riya’ (pamer), yang justru dapat membatalkan pahala amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya: ‘Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Riya’.” (HR. Ahmad, no. 23630).
Dengan demikian, simbolisme religius bukanlah jalan menuju surga, tetapi sebaliknya bisa menjadi penghalang masuknya amal ke sisi Allah SWT.
2. Dimensi Pragmatisme
Pragmatisme beragama tampak dalam anggapan bahwa amal tertentu bisa “menutup dosa” tanpa disertai taubat nasuha. Fenomena ini mirip dengan konsep “transaksional religiusitas”, yaitu beragama hanya dengan logika untung-rugi. Amal dipahami sebagai investasi finansial semata, bukan sebagai wujud kepasrahan total kepada Allah SWT.
Al-Qur’an secara tegas menolak model ibadah pragmatis seperti ini. Allah berfirman:
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya’, dan enggan memberikan bantuan.” (QS. Al-Ma’un [107]: 4–7).
Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah yang dilakukan tanpa niat ikhlas hanyalah bentuk kosong tanpa ruh, yang tidak akan diterima di sisi Allah.
3. Kritik Religius terhadap Fenomena “Membeli Surga”
Fenomena ini perlu dikritisi dari beberapa aspek:
-
Aspek teologis: Surga adalah anugerah Allah, bukan barang dagangan yang bisa dibeli dengan materi.
-
Aspek akhlak: Amal yang diniatkan untuk gengsi adalah bentuk kesombongan spiritual.
-
Aspek sosial: Amal simbolik justru berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan mereduksi makna solidaritas sejati.
4. Ibadah Substansial sebagai Antitesis
Sebagai antitesis terhadap simbolisme dan pragmatisme, Islam mengajarkan konsep ikhlas dan taubat nasuha. Amal yang kecil namun ikhlas jauh lebih bernilai dibanding amal besar yang riya’. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, no. 2564).
Dengan demikian, jalan menuju surga bukan melalui “pembelian simbolik”, melainkan dengan istiqamah dalam ibadah, memperbaiki akhlak, dan memperbanyak amal yang ikhlas.
Otoritas Surga dan Neraka: Hak Allah Semata
Dalam ajaran Islam, otoritas untuk memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada satu pun manusia, bahkan nabi sekalipun, yang berhak menjamin dirinya atau orang lain masuk surga tanpa izin dan rahmat Allah. Keyakinan ini merupakan pilar penting dalam akidah Islam, yang membedakan antara amal sebagai sebab dan kehendak Allah sebagai penentu akhir.
Al-Qur’an menegaskan:
“(Dialah) Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan; dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2).
Ayat ini menggarisbawahi bahwa kepemilikan mutlak termasuk otoritas surga dan neraka hanya ada pada Allah. Manusia boleh beramal sebanyak-banyaknya, namun hasil akhirnya tetap bergantung pada keputusan Allah.
Rasulullah ﷺ pun mengingatkan dalam sebuah hadis sahih:
“Amal seorang pun tidak akan memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2816).
Hadis ini menegaskan bahwa rahmat Allah lebih dominan dibanding sekadar amal, sehingga gagasan bahwa amal bisa “membeli surga” bertentangan dengan ajaran Islam. Amal saleh hanyalah wasilah (perantara), sedangkan hasil akhirnya adalah hak Allah.
Di sisi lain, fenomena sosial yang berkembang seringkali memperlihatkan adanya “praktik jual beli simbolis” di mana seseorang merasa cukup dengan amal tertentu – seperti membangun masjid, menyumbang pondok pesantren, atau berdonasi besar – lalu meyakini bahwa hal itu otomatis menjadi tiket masuk surga. Padahal, dalam perspektif teologi Islam, amal tanpa iman dan keikhlasan tidak bernilai di sisi Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 27).
Ayat ini menegaskan bahwa syarat diterimanya amal bukanlah besarnya nominal atau megahnya bentuk, melainkan keikhlasan hati dan ketakwaan.
Fenomena ini juga menimbulkan bahaya pragmatisme religius, yakni menjadikan agama sebagai instrumen transaksi: manusia beramal seolah-olah sedang melakukan kontrak dagang dengan Allah. Padahal, konsep syariat menolak logika transaksional semacam itu, sebab surga bukanlah komoditas, melainkan karunia Ilahi.
Dari perspektif akhlak dan tasawuf, keyakinan bahwa surga bisa “dibeli” juga berpotensi merusak jiwa, karena mengikis nilai tawadhu’ (kerendahan hati) dan memperkuat ujub (merasa diri hebat karena amalnya). Padahal, ujub adalah penyakit hati yang bisa membatalkan amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tiga hal yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. Thabrani).
Dengan demikian, pemahaman bahwa surga dan neraka sepenuhnya dalam otoritas Allah seharusnya melahirkan kerendahan hati, rasa takut, sekaligus harapan (khauf dan raja’). Amal yang dilakukan semata-mata diarahkan untuk mencari ridha Allah, bukan untuk menuntut imbalan tertentu.
Hedonisme dan Krisis Pendidikan Ruhani.
Fenomena “membeli surga” tidak dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh hedonisme dalam budaya masyarakat modern. Hedonisme, yang menempatkan kesenangan duniawi sebagai tujuan utama kehidupan, telah menyusup ke dalam berbagai aspek, termasuk cara sebagian orang memahami dan mempraktikkan agama. Orientasi hidup yang semestinya diarahkan pada taqarrub ila Allah bergeser menjadi orientasi kepuasan instan: bagaimana memperoleh citra baik, penghormatan sosial, atau ketenangan sesaat melalui amal simbolik, bukan melalui keistiqamahan ibadah dan perbaikan moral.
Kondisi ini diperparah oleh krisis pendidikan ruhani, di mana sistem pendidikan, baik formal maupun nonformal, sering kali lebih menekankan aspek kognitif dan kompetisi duniawi daripada menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam. Akibatnya, masyarakat cenderung terjebak dalam ritual keagamaan yang dangkal, minim refleksi, dan jauh dari nilai tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).
Padahal, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara. Allah berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kamu, dan berlomba dalam kekayaan serta anak keturunan; seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras, dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid [57]: 20).
Ayat ini menegaskan bahwa hedonisme duniawi bersifat semu dan menipu. Jika umat hanya berfokus pada kesenangan dunia, sementara abai terhadap pendidikan ruhani, maka agama akan dipersempit menjadi sekadar aktivitas formal yang kehilangan substansi.
Dalam perspektif pendidikan Islam, krisis ruhani ini menuntut revitalisasi tarbiyah imaniyah dan tarbiyah akhlaqiyah. Pendidikan harus diarahkan tidak hanya pada kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dalam sebuah hadits:
“Ketahuilah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini mengisyaratkan bahwa pusat pendidikan sejati adalah hati (qalb). Jika pendidikan gagal menyentuh dimensi hati, maka yang muncul hanyalah generasi berprestasi duniawi tetapi miskin nilai ruhani.
Dengan demikian, hedonisme dan krisis pendidikan ruhani menjadi faktor dominan yang mendorong lahirnya fenomena “membeli surga”. Amal saleh dipersempit menjadi instrumen kompensasi, bukan jalan perbaikan diri. Maka, solusinya adalah membangun kembali pendidikan ruhani yang menekankan keikhlasan, kesederhanaan, dan kesadaran akhirat, sehingga agama kembali menjadi spirit hidup, bukan sekadar simbol atau alat pencitraan.
Esensi Ibadah: Li-Allahi Ta’ala
Segala bentuk ibadah dalam Islam hakikatnya diarahkan semata-mata kepada Allah ﷻ, bukan untuk tujuan duniawi, apalagi demi pencitraan sosial. Frasa “Li-Allahi Ta’ala” yang kerap kita ucapkan dalam niat ibadah bukanlah sekadar lafaz ritual, melainkan sebuah orientasi hidup yang menegaskan bahwa amal saleh harus bebas dari kepentingan riya’, pamrih, maupun transaksi kosmologis “membeli surga”.
Allah ﷻ berfirman:
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).
Ayat ini menegaskan bahwa esensi ibadah adalah ikhlas, yaitu memurnikan niat hanya untuk Allah. Jika ikhlas hilang, maka ibadah berubah menjadi kosong dari nilai ukhrawi, meski secara lahiriah tampak megah.
Dalam konteks fenomena “membeli surga”, sering muncul kesalahpahaman bahwa amal ibadah tertentu—seperti sedekah, wakaf, atau umrah—dapat menjadi tiket langsung menuju surga. Padahal, amal itu sendiri hanyalah sarana mendekat kepada Allah, bukan komoditas yang bisa ditukar dengan jaminan akhirat. Ibadah yang dilakukan tanpa ikhlas, atau bercampur dengan tujuan pamer dan popularitas, justru terancam ditolak. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya...” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa kualitas ibadah lebih ditentukan oleh kesucian niat dibanding kuantitas amal. Amal yang kecil tetapi ikhlas bisa lebih bernilai daripada amal besar yang tercemar pamrih.
Selain itu, li-Allahi ta’ala juga bermakna kesadaran eksistensial seorang hamba bahwa hidup dan mati hanyalah untuk Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).
Ayat ini menempatkan ibadah bukan hanya dalam ruang ritual, tetapi juga dalam dimensi kehidupan sehari-hari. Setiap aktivitas—belajar, bekerja, bersedekah, bahkan bermuamalah—bisa bernilai ibadah jika diniatkan li-Allahi ta’ala.
Dengan demikian, memahami esensi ibadah sebagai li-Allahi ta’ala adalah kunci penyelamatan dari jebakan hedonisme religius dan praktik simbolis yang menyesatkan. Jika umat Muslim benar-benar menanamkan nilai ikhlas dalam ibadah, maka tidak ada lagi ruang untuk menjadikan amal sebagai alat transaksi dengan Allah. Yang ada hanyalah kepasrahan total (taslim), harapan kepada rahmat-Nya, dan keyakinan bahwa Allah menilai hati sebelum menilai perbuatan lahiriah.
Penutup
Harta, jabatan, serta popularitas tidak pernah mampu “menyuap malaikat” ataupun “mengelabui catatan amal” yang telah ditetapkan. Surga tidaklah bisa diperdagangkan ataupun dimanipulasi, sebab ia merupakan karunia Allah semata, bukan hasil lobi, rekayasa sosial, atau transaksi material. Allah menegaskan bahwa setiap amal akan ditimbang sesuai dengan keikhlasan niat dan kesesuaiannya dengan tuntunan syariat, bukan berdasarkan besarnya kontribusi finansial atau prestise duniawi.
Al-Qur’an memberikan penegasan bahwa surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman yang beramal shalih dengan hati yang ikhlas:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمْ خَيْرُ ٱلْبَرِيَّةِ جَزَآؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّـٰتُ عَدْنٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۖ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ رَبَّهُۥ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, mereka itulah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7–8).
Ayat tersebut menegaskan bahwa ukuran keberhasilan spiritual bukanlah seberapa besar seseorang menampilkan simbol-simbol religius, melainkan sejauh mana ia menjaga kemurnian niat, keikhlasan, dan rasa takut kepada Allah. Dengan demikian, manusia dituntut untuk senantiasa melakukan introspeksi diri agar ibadah yang dilakukan tidak ternodai oleh kepentingan duniawi.
Semoga kita tergolong hamba yang mampu menjaga kejernihan hati, istiqamah dalam ibadah, serta tidak tertipu oleh fatamorgana dunia. Semoga pula setiap amal yang kita kerjakan benar-benar berorientasi kepada ridha Allah semata, sehingga kelak kita dipertemukan dengan surga-Nya sebagai anugerah, bukan sebagai hasil transaksi semu.
Daftar Pustaka
Al-Bukhari, M. I. (1987). Al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.
Al-Ghazali, A. H. (2000). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-‘Ibadah. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Qur’an al-Karim.
Al-Qurthubi, A. A. (2005). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Hidayat, K. (2010). Psikologi surga dan neraka: Iman dan krisis spiritual manusia modern. Jakarta: Gramedia.
Ibn Katsir, I. (1999). Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar al-Fikr.
Madjid, N. (1992). Islam, doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.
Muslim, A. H. (1991). Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.
Nasr, S. H. (2015). The study Qur’an: A new translation and commentary. New York: HarperOne.
Shihab, M. Q. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.
Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?
Wallohu a'lam bish-showab,-
————————————-
by arlandfrom : KH Said Aqil Siradj ; "Bertarikat tanpa Syariat"