Rabu, Oktober 26, 2011

Segitiga Bermuda


Jumat, Oktober 21, 2011

“Membeli Surga atau Mendekat kepada Allah? Telaah Filosofis dan Teologis atas Praktik Religius Modern”

Oleh: De badruns.

Pendahuluan

Fenomena keagamaan di era globalisasi kerap ditandai dengan munculnya simbol-simbol religius yang lebih menekankan aspek lahiriah ketimbang substansi. Salah satu fenomena yang jarang dikaji namun kian ngetrend adalah aktivitas yang dapat disebut sebagai “membeli surga”. Fenomena ini identik dengan perilaku sebagian individu yang berasumsi seolah-olah dapat “menyuap Malaikat Raqib dan Atid”, dengan anggapan bahwa amal buruk bisa tertutupi hanya dengan sedekah atau aktivitas ibadah simbolik.

Perilaku semacam ini merupakan bentuk pragmatisme ibadah, yaitu pola keberagamaan yang lebih menekankan pada pencitraan, materi, dan formalitas, tanpa diiringi kualitas iman dan istiqamah. Di satu sisi, masyarakat menyadari bahwa dosa dan maksiat telah menumpuk, namun di sisi lain, jalan pintas yang ditempuh bukanlah taubat yang tulus, melainkan kompensasi dengan “amal instan” berbasis materi.

Fenomena ini bukanlah sekadar gejala individual, melainkan bagian dari dampak modernitas dan globalisasi. Arus hedonisme, materialisme, serta konsumerisme yang ditopang oleh media massa menjadikan agama terkadang hanya sebatas simbol sosial, bukan spirit transendental. Banyak yang lebih mementingkan label “dermawan” atau “pembangun masjid” di mata masyarakat ketimbang berusaha memperbaiki ibadah wajib sehari-hari seperti shalat, puasa, dan menuntut ilmu.

Dalam perspektif sosiologi agama, hal ini dapat dikategorikan sebagai bentuk “ritualisme simbolik”, di mana agama diposisikan sebagai alat pencitraan dan legitimasi sosial, bukan sebagai jalan menuju ketakwaan. Sedangkan dalam perspektif tasawuf, fenomena ini menandakan kekosongan ruhani (empty religiosity), yakni beribadah tanpa menghadirkan hati yang ikhlas.

Al-Qur’an mengingatkan bahwa orientasi ibadah yang salah akan merugikan pelakunya. Allah berfirman:

“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan amal-amal mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang di akhirat tidak memperoleh sesuatu kecuali neraka...” (QS. Hud [11]: 15–16).

Dengan demikian, pembahasan mengenai fenomena “membeli surga” ini menjadi penting, tidak hanya sebagai kritik sosial-religius, melainkan juga sebagai upaya untuk mengembalikan umat kepada esensi ibadah sejati: beramal bukan karena surga atau neraka, melainkan semata-mata Li-Allahi Ta’ala.


Membeli Surga: Antara Simbolisme dan Pragmatisme
Fenomena “membeli surga” muncul sebagai paradoks antara keimanan yang substansial dengan praktik keagamaan yang simbolik. Sebagian umat Islam menganggap bahwa dengan melakukan sedekah besar, wakaf, atau amal sosial tertentu, dosa-dosa yang telah menumpuk dapat terhapus begitu saja tanpa diiringi proses taubat yang sungguh-sungguh. Pola pikir ini sejatinya adalah bentuk pragmatisme beragama: mencari jalan pintas menuju keselamatan akhirat dengan “kompensasi materi”.

1. Dimensi Simbolisme

Simbolisme muncul ketika ibadah dijadikan ajang pencitraan. Amal kebajikan dilakukan bukan karena dorongan ikhlas, melainkan demi status sosial, prestise, dan kehormatan di mata masyarakat. Misalnya, membangun masjid tetapi nama donatur harus diabadikan pada prasasti; bersedekah namun disiarkan secara berlebihan di media sosial; atau menolong fakir miskin hanya ketika ada liputan publik.

Dalam perspektif agama, hal ini masuk kategori riya’ (pamer), yang justru dapat membatalkan pahala amal. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya: ‘Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab: ‘Riya’.” (HR. Ahmad, no. 23630).

Dengan demikian, simbolisme religius bukanlah jalan menuju surga, tetapi sebaliknya bisa menjadi penghalang masuknya amal ke sisi Allah SWT.

2. Dimensi Pragmatisme

Pragmatisme beragama tampak dalam anggapan bahwa amal tertentu bisa “menutup dosa” tanpa disertai taubat nasuha. Fenomena ini mirip dengan konsep “transaksional religiusitas”, yaitu beragama hanya dengan logika untung-rugi. Amal dipahami sebagai investasi finansial semata, bukan sebagai wujud kepasrahan total kepada Allah SWT.

Al-Qur’an secara tegas menolak model ibadah pragmatis seperti ini. Allah berfirman:

“Maka celakalah orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat riya’, dan enggan memberikan bantuan.” (QS. Al-Ma’un [107]: 4–7).

Ayat ini menunjukkan bahwa amal ibadah yang dilakukan tanpa niat ikhlas hanyalah bentuk kosong tanpa ruh, yang tidak akan diterima di sisi Allah.

3. Kritik Religius terhadap Fenomena “Membeli Surga”

Fenomena ini perlu dikritisi dari beberapa aspek:

  • Aspek teologis: Surga adalah anugerah Allah, bukan barang dagangan yang bisa dibeli dengan materi.

  • Aspek akhlak: Amal yang diniatkan untuk gengsi adalah bentuk kesombongan spiritual.

  • Aspek sosial: Amal simbolik justru berpotensi menimbulkan kecemburuan sosial dan mereduksi makna solidaritas sejati.

4. Ibadah Substansial sebagai Antitesis

Sebagai antitesis terhadap simbolisme dan pragmatisme, Islam mengajarkan konsep ikhlas dan taubat nasuha. Amal yang kecil namun ikhlas jauh lebih bernilai dibanding amal besar yang riya’. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim, no. 2564).

Dengan demikian, jalan menuju surga bukan melalui “pembelian simbolik”, melainkan dengan istiqamah dalam ibadah, memperbaiki akhlak, dan memperbanyak amal yang ikhlas.


Otoritas Surga dan Neraka: Hak Allah Semata

Dalam ajaran Islam, otoritas untuk memasukkan seseorang ke dalam surga atau neraka sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah SWT. Tidak ada satu pun manusia, bahkan nabi sekalipun, yang berhak menjamin dirinya atau orang lain masuk surga tanpa izin dan rahmat Allah. Keyakinan ini merupakan pilar penting dalam akidah Islam, yang membedakan antara amal sebagai sebab dan kehendak Allah sebagai penentu akhir.

Al-Qur’an menegaskan:

“(Dialah) Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan; dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqan [25]: 2).

Ayat ini menggarisbawahi bahwa kepemilikan mutlak termasuk otoritas surga dan neraka hanya ada pada Allah. Manusia boleh beramal sebanyak-banyaknya, namun hasil akhirnya tetap bergantung pada keputusan Allah.

Rasulullah ﷺ pun mengingatkan dalam sebuah hadis sahih:

“Amal seorang pun tidak akan memasukkannya ke surga.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.” (HR. Muslim no. 2816).

Hadis ini menegaskan bahwa rahmat Allah lebih dominan dibanding sekadar amal, sehingga gagasan bahwa amal bisa “membeli surga” bertentangan dengan ajaran Islam. Amal saleh hanyalah wasilah (perantara), sedangkan hasil akhirnya adalah hak Allah.

Di sisi lain, fenomena sosial yang berkembang seringkali memperlihatkan adanya “praktik jual beli simbolis” di mana seseorang merasa cukup dengan amal tertentu – seperti membangun masjid, menyumbang pondok pesantren, atau berdonasi besar – lalu meyakini bahwa hal itu otomatis menjadi tiket masuk surga. Padahal, dalam perspektif teologi Islam, amal tanpa iman dan keikhlasan tidak bernilai di sisi Allah.

Allah berfirman:

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5]: 27).

Ayat ini menegaskan bahwa syarat diterimanya amal bukanlah besarnya nominal atau megahnya bentuk, melainkan keikhlasan hati dan ketakwaan.

Fenomena ini juga menimbulkan bahaya pragmatisme religius, yakni menjadikan agama sebagai instrumen transaksi: manusia beramal seolah-olah sedang melakukan kontrak dagang dengan Allah. Padahal, konsep syariat menolak logika transaksional semacam itu, sebab surga bukanlah komoditas, melainkan karunia Ilahi.

Dari perspektif akhlak dan tasawuf, keyakinan bahwa surga bisa “dibeli” juga berpotensi merusak jiwa, karena mengikis nilai tawadhu’ (kerendahan hati) dan memperkuat ujub (merasa diri hebat karena amalnya). Padahal, ujub adalah penyakit hati yang bisa membatalkan amal. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tiga hal yang membinasakan: kikir yang ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan ujub seseorang terhadap dirinya sendiri.” (HR. Thabrani).

Dengan demikian, pemahaman bahwa surga dan neraka sepenuhnya dalam otoritas Allah seharusnya melahirkan kerendahan hati, rasa takut, sekaligus harapan (khauf dan raja’). Amal yang dilakukan semata-mata diarahkan untuk mencari ridha Allah, bukan untuk menuntut imbalan tertentu.

Hedonisme dan Krisis Pendidikan Ruhani.

Fenomena “membeli surga” tidak dapat dilepaskan dari kuatnya pengaruh hedonisme dalam budaya masyarakat modern. Hedonisme, yang menempatkan kesenangan duniawi sebagai tujuan utama kehidupan, telah menyusup ke dalam berbagai aspek, termasuk cara sebagian orang memahami dan mempraktikkan agama. Orientasi hidup yang semestinya diarahkan pada taqarrub ila Allah bergeser menjadi orientasi kepuasan instan: bagaimana memperoleh citra baik, penghormatan sosial, atau ketenangan sesaat melalui amal simbolik, bukan melalui keistiqamahan ibadah dan perbaikan moral.

Kondisi ini diperparah oleh krisis pendidikan ruhani, di mana sistem pendidikan, baik formal maupun nonformal, sering kali lebih menekankan aspek kognitif dan kompetisi duniawi daripada menumbuhkan kesadaran spiritual yang mendalam. Akibatnya, masyarakat cenderung terjebak dalam ritual keagamaan yang dangkal, minim refleksi, dan jauh dari nilai tazkiyatun nafs (penyucian jiwa).

Padahal, Islam menegaskan bahwa kehidupan dunia hanyalah kesenangan sementara. Allah berfirman:

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, senda gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kamu, dan berlomba dalam kekayaan serta anak keturunan; seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning, kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat ada azab yang keras, dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid [57]: 20).

Ayat ini menegaskan bahwa hedonisme duniawi bersifat semu dan menipu. Jika umat hanya berfokus pada kesenangan dunia, sementara abai terhadap pendidikan ruhani, maka agama akan dipersempit menjadi sekadar aktivitas formal yang kehilangan substansi.

Dalam perspektif pendidikan Islam, krisis ruhani ini menuntut revitalisasi tarbiyah imaniyah dan tarbiyah akhlaqiyah. Pendidikan harus diarahkan tidak hanya pada kecerdasan intelektual (IQ), tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ). Rasulullah ﷺ telah mengingatkan dalam sebuah hadits:

“Ketahuilah, dalam tubuh manusia ada segumpal daging. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik. Jika ia rusak, maka seluruh tubuh akan rusak. Ketahuilah, itulah hati.” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits ini mengisyaratkan bahwa pusat pendidikan sejati adalah hati (qalb). Jika pendidikan gagal menyentuh dimensi hati, maka yang muncul hanyalah generasi berprestasi duniawi tetapi miskin nilai ruhani.

Dengan demikian, hedonisme dan krisis pendidikan ruhani menjadi faktor dominan yang mendorong lahirnya fenomena “membeli surga”. Amal saleh dipersempit menjadi instrumen kompensasi, bukan jalan perbaikan diri. Maka, solusinya adalah membangun kembali pendidikan ruhani yang menekankan keikhlasan, kesederhanaan, dan kesadaran akhirat, sehingga agama kembali menjadi spirit hidup, bukan sekadar simbol atau alat pencitraan.

Esensi Ibadah: Li-Allahi Ta’ala

Segala bentuk ibadah dalam Islam hakikatnya diarahkan semata-mata kepada Allah ﷻ, bukan untuk tujuan duniawi, apalagi demi pencitraan sosial. Frasa “Li-Allahi Ta’ala” yang kerap kita ucapkan dalam niat ibadah bukanlah sekadar lafaz ritual, melainkan sebuah orientasi hidup yang menegaskan bahwa amal saleh harus bebas dari kepentingan riya’, pamrih, maupun transaksi kosmologis “membeli surga”.

Allah ﷻ berfirman:

“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus...” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5).

Ayat ini menegaskan bahwa esensi ibadah adalah ikhlas, yaitu memurnikan niat hanya untuk Allah. Jika ikhlas hilang, maka ibadah berubah menjadi kosong dari nilai ukhrawi, meski secara lahiriah tampak megah.

Dalam konteks fenomena “membeli surga”, sering muncul kesalahpahaman bahwa amal ibadah tertentu—seperti sedekah, wakaf, atau umrah—dapat menjadi tiket langsung menuju surga. Padahal, amal itu sendiri hanyalah sarana mendekat kepada Allah, bukan komoditas yang bisa ditukar dengan jaminan akhirat. Ibadah yang dilakukan tanpa ikhlas, atau bercampur dengan tujuan pamer dan popularitas, justru terancam ditolak. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya...” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa kualitas ibadah lebih ditentukan oleh kesucian niat dibanding kuantitas amal. Amal yang kecil tetapi ikhlas bisa lebih bernilai daripada amal besar yang tercemar pamrih.

Selain itu, li-Allahi ta’ala juga bermakna kesadaran eksistensial seorang hamba bahwa hidup dan mati hanyalah untuk Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am [6]: 162).

Ayat ini menempatkan ibadah bukan hanya dalam ruang ritual, tetapi juga dalam dimensi kehidupan sehari-hari. Setiap aktivitas—belajar, bekerja, bersedekah, bahkan bermuamalah—bisa bernilai ibadah jika diniatkan li-Allahi ta’ala.

Dengan demikian, memahami esensi ibadah sebagai li-Allahi ta’ala adalah kunci penyelamatan dari jebakan hedonisme religius dan praktik simbolis yang menyesatkan. Jika umat Muslim benar-benar menanamkan nilai ikhlas dalam ibadah, maka tidak ada lagi ruang untuk menjadikan amal sebagai alat transaksi dengan Allah. Yang ada hanyalah kepasrahan total (taslim), harapan kepada rahmat-Nya, dan keyakinan bahwa Allah menilai hati sebelum menilai perbuatan lahiriah.

Penutup

Fenomena “membeli surga” mencerminkan adanya krisis istiqamah dan pemurnian niat dalam ibadah. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana penghambaan murni kepada Allah, kerap direduksi menjadi ajang pencitraan, simbolisme religius, atau bahkan transaksi materi. Padahal, hakikat ibadah bukanlah sekadar ritual lahiriah, melainkan ketaatan total kepada Allah Ta’ala dengan penuh kerendahan hati dan penghambaan yang tulus.

Harta, jabatan, serta popularitas tidak pernah mampu “menyuap malaikat” ataupun “mengelabui catatan amal” yang telah ditetapkan. Surga tidaklah bisa diperdagangkan ataupun dimanipulasi, sebab ia merupakan karunia Allah semata, bukan hasil lobi, rekayasa sosial, atau transaksi material. Allah menegaskan bahwa setiap amal akan ditimbang sesuai dengan keikhlasan niat dan kesesuaiannya dengan tuntunan syariat, bukan berdasarkan besarnya kontribusi finansial atau prestise duniawi.

Al-Qur’an memberikan penegasan bahwa surga hanya diperuntukkan bagi orang-orang beriman yang beramal shalih dengan hati yang ikhlas:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أُو۟لَـٰٓئِكَ هُمْ خَيْرُ ٱلْبَرِيَّةِ۝ جَزَآؤُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّـٰتُ عَدْنٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًۭا ۖ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ رَبَّهُۥ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, mereka itulah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 7–8).

Ayat tersebut menegaskan bahwa ukuran keberhasilan spiritual bukanlah seberapa besar seseorang menampilkan simbol-simbol religius, melainkan sejauh mana ia menjaga kemurnian niat, keikhlasan, dan rasa takut kepada Allah. Dengan demikian, manusia dituntut untuk senantiasa melakukan introspeksi diri agar ibadah yang dilakukan tidak ternodai oleh kepentingan duniawi.

Semoga kita tergolong hamba yang mampu menjaga kejernihan hati, istiqamah dalam ibadah, serta tidak tertipu oleh fatamorgana dunia. Semoga pula setiap amal yang kita kerjakan benar-benar berorientasi kepada ridha Allah semata, sehingga kelak kita dipertemukan dengan surga-Nya sebagai anugerah, bukan sebagai hasil transaksi semu.


Daftar Pustaka

Al-Bukhari, M. I. (1987). Al-Jami’ al-Sahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir.

Al-Ghazali, A. H. (2000). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Kairo: Dar al-Ma’arif.

Al-Qaradawi, Y. (2000). Fiqh al-‘Ibadah. Kairo: Maktabah Wahbah.

Al-Qur’an al-Karim.

Al-Qurthubi, A. A. (2005). Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Hidayat, K. (2010). Psikologi surga dan neraka: Iman dan krisis spiritual manusia modern. Jakarta: Gramedia.

Ibn Katsir, I. (1999). Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim. Beirut: Dar al-Fikr.

Madjid, N. (1992). Islam, doktrin dan peradaban. Jakarta: Paramadina.

Muslim, A. H. (1991). Sahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi.

Nasr, S. H. (2015). The study Qur’an: A new translation and commentary. New York: HarperOne.

Shihab, M. Q. (1996). Wawasan al-Qur’an: Tafsir maudhu’i atas pelbagai persoalan umat. Bandung: Mizan.

Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?

Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?Selama ini diasumsikan bahwa antara syari'ah dengan tasawuf merupakan dua sisi ang selalu dihadapkan secara vis a vis. Fanatisme syari'ah (baca : fuqaha) memandang haram" atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasi, baik secara naql maupun nalar. Sementara para pelaku tasawuf tidak ketinggalan dalam mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam di atas putih dan formalitas belaka, tanpa menangkap essensi Islam. Rumor di kalangan masyarakat jawa, bahwa syaringat (bacaan orang jawa) itu dipahami nek sare njengat atau kata Mekah dipahami nek turu mekakah menjadi salah satu bukti kesenjangan antara syariat dan tasawuf.Patut dicatat, bahwa insiden al-fitnah al-kubra yang menghantarkan jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an, diganti Muawiyah merupakan sumber utama bagi perpecahan kaum muslimin dalam berbagai sekte dan aliran.Para analis sepakat bahwa, peristiwa ini awalnya bersifat politis, kemudian merembet kepada wilayah aqidah serta aspek-aspek keagamaan lainnya. Fenomena semacam ini pada akhirnya juga mewarnai hampir semua polemik di tubuh umat Islam yang mengatasnamakan agama.Al-Hallaj (w. 309 H) diekskusi dengan dakwaan menyebarluaskan ajaran hulul dalam tasawuf. Ajaran itu diputuskan sesat oleh penguasa berdasar legitimasi para fuqaha mazhab dhahiriy.Penentuan sesat atas pengalaman batin al-Hallaj jelas lebih bermuatan politis, karena keberpihakan al-Hallaj –sebagai seorang shufi agung yang sudah tidak ada ruang untuk membenci– kepada rakyat kecil dan kelompok marginal; seperti syi'ah, qaramithah serta non-muslim.Di pula Jawa, kasus serupa dialami Syaikh Siti Jenar (Lemah Abang) yang didakwa menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti, sehingga oleh para wali kerajaan saat itu divonis hukuman pancung. Dari sinilah akhirnya para fuqaha yang dimotori kepentingan politis penguasa menciptakan ketegangan yang tak berujung antara syariah dan tasawuf. Kebebasan para shufi dalam menaungi pengalaman batinnya serba diatur oleh hukum formal. Karena itu, image pemisahan syariah dan tasawuf pada mulanya lebih sebagai fenomena politisasi agama yang berimbas pada dichotomi dua unsur utama ajaran Islam tersebut oleh kalangan awam atau dijadikan senjati bagi para penguasa untuk mempertahankan status quo.Distingsi kedua aspek penting dalam ajaran Islam tersebut sangat dimungkinkan, karena antara keduanya memiliki sisi yang jelas tidak dapat dipersamakan. Bahwa tasawuf itu lebih menempati wilayah batin atau hati, suatu daerah yang tak dapat ditembus oleh inderawi manusia. Wilayah ini bersifat immateri yang permanen. Ia hanya dapat diteropong melalui cahaya (nur) emanasi Tuhan ke dalam masing-masing qalbu manusia yang hanya dapat dideteksi melalui bashirah (mata hati). Sementara, syariah bersifat lahiriah yang legal-formal yang dapat ditangkap mata telanjang.Integrasi syariah dengan tasawuf dengan demikian menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariah merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,an-tabudallaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fainnahu yarak,hendaknya kalian beribadah (bersyariat) seakan-akan kamu milhat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia melihatmu.Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah (bersuci) sebelum melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihtan Tuhan, tasawuf mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.Kemudian apabila seorang sedang shalat; syariat mengharuskan memenuhi syarat dan rukun, sementara tinjauan ihsan (shufistik) mengharuskan aktivitas hati yang tulus, hudlur dan khusyu. Semakin mendalam realisasi shufistik seseorang, pada gilirannya justeru semakin meningkatkan kualitas ke-Islam-an dan syariah orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.Di sisi lain, penguatan aspek tasawuf juga akan menjadi dinamisator bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui shufi dalam ber-revolusi, Apabila terlalu banyak hambatan dan lobangannya jangan harap akan sampai pada terminal akhir. Secara eksplisit Allah swt sering menyitir bahwa, wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa li-ya buduni,Maknanya, bahwa penciptaan jin dan manusia hanyalah untuk marifat kepada-Nya. Marifat (pengenalan) mula-mula dengan secara inderawi (syariah), namun setelah semakin dekat relasi inderawi saja tentu belum cukup, maka muncullah pengalaman mahabbah (cinta), hulul, ittihad hingga wihdatul wujud dari para shufi.Dalam firman-Nya yang lain, "wa lal-akhiratu khairun la-ka minal-ula" tidakkah, masa depan (akhirat, ihsan/tasawuf) lebih baik daripada yang permulaan (dunia, syariat).Nilai-nila spirit tasawuf atas syariah juga dapat kita jumpai dalam setiap maqamat (station-station) dan ahwal para shufi, misalnya :1. Taubat yang didasarkan atas firman Allah swt yaa ayyuhal-ladzina amanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuha",akan menumbuhkan sikap konsekuen dan tanggung jawab seorang hamba;2. Zuhud yang disandarkan atas firman-Nya wa kaanuu fi-hi minaz-ahidin", akan meningkatkan kebesaran jiwa manusia;3. Faqr yang disandarkan firman-Nya lil-fuqara'il-ladzina uhshiruu fii sabiilillah.."akan membentuk jiwa yang kharismatik dan mengikis sikap oportunis;4. Sabar yang didasarkan firman Allah innama yuwaffash-shaabiruuna ajrahum bi-ghairi hisab", akan membentuk pribadi yang bermental baja;5. Tawakkal yang bersumber dari firman Allah wa 'alallahi fal-yatawakkalil mutawakkilun", akan membangun independensi seseorang,6. Syukur fadzkuruu-ni adzkurkum, wasykuruu lii wa-laa takfurun"akan memberangus keserakahan seseorang;7. dan lain-lain demikian seterusnya.Integrasi syariat dan tasawuf juga nampak dari pertautan ajaran jihad dengan mujahadah. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan pertempuran, memerangi tempat kemaksiatan serta perjuangan material lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan hawa nafsu, amarah serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk pertempuran di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilahkan antara satu dengan lainnya, karena justeru akan menjadi komplemen.Wal-Hasil, syariah dan tasawuf sebetulnya merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut secara vis a vis, selain akan memperlihatkan kebodohan seseorang, juga memberikan indikasi adanya upaya politisasi Islam.Karena itu, persoalan agama, sepanjang tidak dijadikan komoditas politik akan mendamaikan kehidupan manusia, tetapi jika sebaliknya akan nampak keras dan tidak membawa kesejahteraan. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, pasti bukan tipologi shufi. Tasawuf dengan demikian mampu menjadi muara bagi semua madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan sunni, syii, mutazili maupun lainnya. Bahkan syariat lintas agama pun mampu bersarang dalam tasawuf. Inilah essensi dan substansi Islam.
Wallohu a'lam bish-showab,-
————————————-
by arlandfrom : KH Said Aqil Siradj ; "Bertarikat tanpa Syariat"

Senin, Agustus 08, 2011

BUKU SEKOLAH SMP/MTs

BUKU SEKOLAH

SMP/MTs

KELAS I

KELAS II

KELAS III

B. INDONESIA

B. INDONESIA

B. INDONESIA

MATEMATIKA

MATEMATIKA

MATEMATIKA

B. INGGRIS

B. INGGRIS

B. INGGRIS

IPA

IPA

IPA

IPS

IPS

IPS

PKN

PKN

PKN

PAI

PAI

PAI

SOFTWARE

SEDANG DI PERSIAPKAN, BERSABARLAH....

SOFTWARE

PROTEK MY DISC

DAP

RAM dg Flasdisc



VIDIO

SEDANG DI PERSIAPKAN, BERSABARLAH.....

VIDIO

LAGU ANAK

CAMPUR SARI

KARTUN

ACTION

DOWNLOAD

SEDANG DI PERSIAPKAN, BERSABARLAH

PROFILKU



Nama: Lamiran, S.Pd.I.
TTL : Bojonegoro, 7 Agustus 1977
Alamat: Jipangulu 01/01 Ngelo Margomulyo Bojonegoro Jawa Timur.
Status: Menikah
Kode Pos: 261268

Minggu, Agustus 07, 2011

TUKUL (TUGAS KULIAH) STIT MUHAMMADIYAH BOJONEGORO || FAKULTAS TARBIYAH || PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

  1. "Pengaruh Judi Online terhadap Perceraian dalam Rumah Tangga"
  2. "Antara Taqwa dan Kolak: Jaga Taqwa, Jangan Sampai Tercampur Tahi Lentung!"
  3. Urgensi Peringatan Kekejaman G30S/PKI : Gen-Z harus Tahu
  4. Sejarah Kodifikasi Al Qur’an Baca Clik disini
  5. Kritik Kodifikasi Al Qur’an Baca Clik disini
  6. Daulah Abasiyah Baca Clik disini
  7. Kedudukan Sebuah Dalil Dalam Islam Baca Clik disini
  8. Kecerdasan Dan Pengaruhnya Dalam Pembelajaran Baca Clik disini
  9. Masa ilul Fiqhiyah Baca Clik disini
  10. Pengembangan Kurikulum Baca Clik disini
  11. Kisah air Zam zam Baca Clik disini
  12. Ushulul Fiqhiyah I Baca Clik disini
  13. Al-Qur'an : Sebagai Sumber Hukum Utama dalam Islam.
  14. As-Sunnah: Sumber Hukum Islam dan Penjelas Al-Qur'an
  15. Ushulul Fiqhiyah II Baca Clik disini
  16. Abu Khanifah dan Aliran Kalam sebelumnya Baca Clik disini
  17. Menyuap malaikat membeli surga ! Baca Clik disini
  18. Mengapa Syari'at harus bermusuhan dengan hakikat ? Baca Clik disini
  19. Hadis tarbawi
  20. Hilatut Tholabah
  21. Cara mendeteksi usia anda

 

Minggu, Juli 31, 2011

PESANTREN PESANTREN DI INDONESIA


  1. Pondok Pesantren Lirboyo Baca selanjutnya
  2. Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang Baca selanjutnya
  3. Pondok Pesantren Mamba'ul Futuh Baca selanjutnya
  4. Pondok Pesantren Darus Sholah Baca selanjutnya
  5. Pondok Pesantren Roudlotul Qu'an Baca selanjutnya
  6. Pondok Pesantren Buntet Baca selanjutnya
  7. Pondok Pesantren Al Istiqomah Baca selanjutnya
  8. Pondok Pesantren Al Amin Prenduan Baca selanjutnya
  9. Pondok Pesantren Al Hikmah dua Baca selanjutnya
  10. Pondok Pesantren Qomaruddun Baca selanjutnya
  11. Pondok Pesantren Tremas Baca selanjutnya
  12. Pondok Pesantren PPTQ Al As'ariyah Baca selanjutnya
  13. Pondok Pesantren Terpadu Al kamal Baca selanjutnya
  14. Pondok Pesantren An Nuqoyah Baca selanjutnya
  15. Pondok Pesantren Wali Songo Baca selanjutnya
  16. Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin Baca selanjutnya
  17. Pondok Pesantren Al Hamidiyah Baca selanjutnya
  18. Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman Baca selanjutnya
  19. Pondok Pesantren Fathiyyah Al-Idrisiyyah (F A D R I S) Baca selanjutnya
  20. Pondok Pesantren Darul Muttaqien Baca selanjutnya
  21. Pondok Pesantren Perguruan Islam Magelang Baca selanjutnya
  22. Pondok Pesantren Darul Falah Baca selanjutnya
  23. Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin Baca selanjutnya
  24. Pondok Pesantren Darul Rahman Baca selanjutnya
  25. Pondok Pesantren Mamba'ul Falah Pekalongan Baca selanjutnya
  26. Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kediri Baca selanjutnya
  27. Pondok Pesantren Girikusumo Baca selanjutnya
  28. Pondok Pesantren Nurul Islam Jember Baca selanjutnya
Sumber Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama Islam Republik Indonesia

Pondok Pesantren Manbail Futuh


PDFCetak
Kamis, 28 Mei 2009
Image

Risalah Pendirian Pondok
Inilah pondok yang menjadi cikal bakal berdirinya kajian-kajian keislaman, maupun pendirian-pendirian TPA di kecamatan jenu Tuban. Pondok ini, sejak awal memang didirikan untuk memberikan pengajaran Al-Qur’an kepada masyarakat setempat. Agar mereka menjadi Pioner dalam mengenalkan dan mengajarkan agama islam.
Pondok Pesantren Manbail Futuh namanya. Terletak di Desa Beji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban Jawa Timur. Tepat di belakang Masjid Baiturrahman Beji Jenu Tuban. Pondok tertua di kecamatan Jenu, yang tumbuh dan berkembang, berawal dari niat mengenalkan agama Islam kepada masyarakat sekitar.

Pondok ini, berdiri sejak 1925, sejak masa kolonial Belanda. Sayang, tak ada catatan tertulis perihal perjuangan dan dinamika pondok pada masa kolonial itu. Adanya, hanya awal pendirian pondok ini yang berasal dari perbincangan dengan santri dan pengasuh pondok ini tentang awal mula terbangunnya pondok ini.

Awalnya, KH Fathurrohman, anak tunggal dari Bapak Abu Said, petani sekaligus pedagang kaya di Jenu, mondok di Pondok Langitan Tuban, tanpa minta izin orang tuanya. Alasannya, kalau Ijin, takut tidak diperbolehkan. Karena tradisi yang berkembang di masyarakat ketika itu, anak tunggal harus di rumah untuk menunggu dan mewarisi tradisi orang tua.

Setelah orang tua Mbah nyai tahu akan keberadaannya, Abu Said pun menyuruhnya pulang, “Kulo mboten bade mantuk, lek mboten didamele pondok (saya tidak akan pulang, kalau tidak dibangunkan pondok)”. Begitu Jawab Kyai Fathur ketika itu. Pak Said, Ayahnya, yang saat itu menjadi petani dengan lahan yang luas dan kaya raya pun mengabulkan keinginan anaknya tersebut. Maklum, jauh sebelumnya, Abu Said, terkenal dengan kebiasannya membuatkan Musholla, bagi penduduk di sekitarnya.

Kecintaan Kyai Fathurrohman pada pendidikan agama, mulai memberikan suasana tersendiri di Jenu. Jenu, yang saat itu, masih belum ada pondok pesantren pun mulai ramai dengan pengajian. Saat itu, bangunannya tentu masih sederhana, dengan bangunan-bangunan yang berasal dari kayu. Orang-orang dari berbagai desapun dating ke Beji, dari desa-desa yang terdekat seperti Kaliuntu, sampai yang jauh, seperti desa Karangasem.

Kyai Fathurrohman pun mulai mengajar membaca Al-Quran anak-anak lelaki, sedangkan istri beliau, Bu Nyai Masithoh mengajar anak-anak perempuan. Tanpa diminta, anak-anak perempuan itu tidak mau pulang ke rumah. Maklum, ketika itu, belum banyak merekapun membantu ibu Masithoh dan tinggal di rumahnya, sambil belajar mengaji kitab sulam taufiqdan terutama mengaji Al-Quran. Begitupun dengan lelaki. Lama kelamaan santri ini menetap dan pondok yang awalnya hanya dibangun untuk lelakipun, beberapa tahun kemudian mendirikan untuk perempuan.

Kehidupan anak pondok ketika itu, masih sangat sederhana. Mereka memang berniat untuk dapat membaca al-Qur’an serta mempelajari bahasa arab. Sehingga, para santripun datang dan pergi sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka. Jika merasa telah dapat membaca Al-Qur’an merekapun akan pamit pulang.

Perkembangan dunia pendidikan formal, membuat pengasuh Pondok Manbail Futuh pun mulai mendirikan madrasah Ibtidaiyah. Tercatat dalam majalah RISMA (Risalah Manbail Futuh) yang terbit pada tahun 1983 , pada tahun 1947 mulai didirikan Madrasah Ibtidaiyah Banin. Tiga Tahun kemudian didirikanlah pendidikan formal berupa Ibtidaiyah Banat, yang menjadi cikal bakal pendidikan formal dilingkungan pondok.

Proses pembuatan pendidikan formal semakin diperluas, demi memberikan jaminan kepada generasi anak-anak pondok, untuk mengambil hal yang baik dari perkembangan zaman. Karena itu, pada tahun 1960 berdirilah madrasah tsanawiyah. Ada kisah menarik yang dituturkan dalam Risma tentang pendirian sekolah tsanawiyah ini.

Karena belum memiliki gedung, sekolah tsanawiyah pada saat itu, harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Hingga ada penduduk yang tertarik ada penduduk yang tertarik untuk membuat sekolah tsanawiyah dan diambillah murid pondok Manbail Futuh. Namun, hal itu tidak mematahkan Mbah Nyai Fathur untuk mendirikan Tsanawiyah. Karena itu, ia memulai lagi dari awal.

Manbail Futuh Kini
Siang, di tengah terik matahari yang menyengat, anak-anak dari Desa Merkawang, Karangasem, Boro, Merakurak mulai berjejer-jejer di jalan raya menunggu kedatangan angkutan umum. Mereka adalah siswi-siswi Aliyah dan Tsanawiyah Manbail Futuh.

Sejak didirikan, Madrasah Manbail Futuh, baik dari tingkat MTS maupun Aliyah, begitu banyak murid yang mendaftar, sehingga harus bergantian antara siswa perempuan dan lelaki. Lelaki masuk pada pagi hari, pukul 07.30-12.30 WIB. Sedangkan perempuan pada pukul 13:00- 17:00 WIB. Saat ini, tercatat lebih dari 2.000 santri yang sekolah formal. Sedangkan yang mondok, terdapat sekira 500 orang. Pergantian masuk bagi siswa-siswi ini karena belum adanya ruang di tempat ini. Banyaknya murid tak seimbang dengan ruangan kelas yang begitu terbatas.

Madrasah Formal terdiri dari TK, hingga tingkat aliyah, putra dan putri. Rata-rata satu tingkat memiliki 3 kelas. Sedangkan untuk pondok-pondok, tergantung pada pilihan santri.

Jumlah santri yang begitu banyak, menjadikan pondok pesantren Manbail Futuh yang dulu hanya diasuh oleh Mbah Kyai Fathurrahman, sekarang harus diasuh oleh anak-anak cucunya. Karena itu, pengasuh pondok inipun, saat ini, adalah KH.Muslich Abdurrahim, KH.Fathurrahman Mizan, KH. Muhidin Romli, K. Zaenal Arifin serta KH. Son Haji Abdil Hadi. Lokasi pondokpun tidak disatukan, terpencar kecil-kecil, hal ini untuk menyiasati agar anak-anak pondok lebih terurus dan berintegrasi dengan penduduk.

Pembelajaran kitab fiqih dan tafsir menjadi kajian utama di pondok ini. Ini bisa dilihat dari kitab yang diajarkan. Seperti: Kitab tafsir Jalalain, Fath al-Qarib, Mabadi' al-Fiqhiyah, Safinah an-Najah, Sullam Safinah. Kemudian diajarkan juga Qawa'id al-Fiqhiyah. Alasannya, karena mendesaknya kebutuhan umat Islam dalam Al-Qur’an dan fiqih, yang akan digunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Setidaknya, jika mereka tidak menjadi tokoh di masyarakat, ilmu ini bisa digunakannya sendiri.

Meskipun saat ini pondok pesantren telah memiliki santri dari luar Jenu, seperti dari Irian Jaya, Jakarta, Sumatera, Bali. Namun, pondok pesantren ini tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi penduduk sekitar untuk mengikuti pengajian. Tidak ada benteng yang membatasi antara pondok dengan rumah penduduk, sehingga kapanpun penduduk dapat dengan leluasa untuk mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di pondok.

Memang diakui oleh pengasuh pondok, bahwa euphoria penduduk sekitar untuk mengikuti pengajian tidak seperti dulu. Meskipun begitu, setiap pagi, bagi perempuan diadakan pengajian diniyah dan sore untuk lelaki, dan diikuti oleh penduduk sekitar. Penetapan jadwal diniyah menyesuaikan dengan jam-jam sekolah. Sedangkan untuk ibu-ibu yang jauh dari lokasi pondok, biasanya setiap jumat sore pengajian bersama di masjid.

Keinginan untuk menyatukan dan membuat komunikasi antara penduduk sekitar dengan anak-anak pondokpun selalu diadakan. “Karena ekslusifitas hanya akan menciptakan manusia yang tidak membumi” Kata Ibu Ita, salah satu guru Tajwid di pondok ini.

Dalam mencetak generasi yang tangguh, selain memberikan pengajaran yang terus menerus kepada para santri. Pondok ini juga memiliki tekad yang kuat, agar santri menjadi inisiator dari pengajaran keagamaan di tempat tinggalnya nantinya.

Kemandirian dalam berbagaihal pun diajarkan di pondok ini. Misalnya, kemandirian untuk mengurus diri sendiri, dengan tidak ada pembedaan bagi mereka yang kaya maupun yang miskin, sehingga mereka setiap hari harus bertanggung jawab untuk mengurusi diri sendiri. Dari hal-hal yang setiap hari dikerjakan, seperti mencuci baju, menyetrika dan mengatur jadwal sendiri. Bahkan, hingga saat ini, pondok ini masih mempertahankan agar santri memasak sendiri, baik lelaki maupun perempuan.

Oleh karena itu, Alumni pondok ini, setelah selesai belajar di pesantren. Biasanya, mereka mendirikan TPA atau mendirikan madrasah atau tsanawiyah di desanya. Terbukti alumni-alumni pondok maupun yang sekolah di tempat ini, mereka menjadi penggerak kajian maupun keagamaan di masyarakat sekitar. Ana Misalnya, usai tamat sekolah aliyah, ia pulang ke rumahnya Desa Boro, kemudian mengajar mengaji, dan kini bersama suaminya ia berencana mendirikan sekolah formal yang berbasis agama. (Nur Izzah Millati)

Desa Lirboyo Dan Pondok Lirboyo


Jumat, 11 Juli 2008
Lirboyo adalah nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Mojoroto Kotamadya Kediri Jawa Timur. Di desa inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang dikenal dengan sebutan Pondok Pesantren Lirboyo. Berdiripada tahun 1910 M.. Diprakarsai oleh Kyai Sholeh, seorang yang Alim dari desa Banjarmelati dan dirintis oleh salah satu menantunya yang bernama KH. Abdul Karim, seorang yang Alim berasal dari Magelang Jawa Tengah.

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo erat sekali hubungannya dengan awal mula KH.Abdul Karim menetap di Desa Lirboyo sekitar tahun 1910 M. setelah kelahiran putri pertama beliau yang bernama Hannah dari perkawinannya dengan Nyai Khodijah (Dlomroh), putri Kyai Sholeh Banjarmelati.

Perpindahan KH. Abdul Karim ke desa Lirboyo dilatarbelakangi atas dorongan dari mertuanya sendiri yang pada waktu itu menjadi seorang da’i, karena Kyai Sholeh berharap dengan

menetapnya KH. Abdul Karim di Lirboyo agama Islam lebih syi’ar dimana-mana. Disamping itu, juga atas permohonan kepala desa Lirboyo kepada Kyai Sholeh untuk berkenan menempatkan alahsatu menantunya (Kyai Abdul Karim) di desa Lirboyo. Dengan hal ini diharapkan Lirboyo yang semula angker dan rawan kejahatan menjadi sebuah desa yang aman dan tentram.

Betul juga, harapan kepala desa menjadi kenyataan. Konon ketika pertama kali kyai Abdul Karim menetap di Lirboyo, tanah tersebut diadzani, saat itu juga semalaman penduduk Lirboyo tidak bisa tidur karena perpindahan makhluk halus yang lari tunggang langgang
Tiga puluh lima hari setelah menempati tanah tersebut, beliau mendirikan surau mungil nan sederhana.

Santri Perdana dan Pondok Lama
Adalah seorang bocah yang bernama Umar asal Madiun, ialah santri pertama yang menimba ilmu dari KH. Abdul Karim di Pondok Pesantren Lirboyo. Kedatangannya disambut baik oleh KH. Abdul Karim, karena kedatangan musafir itu untuk tholabul ilmi , menimba pengetahuan agama. Selama nyantri, Umar sangat ulet dan telaten. Ia benar-benar taat pada Kyai.Demikian jalan yang ditempuh Umar selama di Lirboyo. Selang beberapa waktu ada tiga santri menyusul jejak Umar. Mereka berasal dari Magelang, daerah asal KH. Abdul Karim. Masing-masing bernama Yusuf, Shomad Dan Sahil. Tidak lama kemudian datanglah dua orang santri bernam Syamsuddin dan Maulana, keduanya berasal dari Gurah Kediri. Seperti santri sebelumnya, kedatangan kedua santri ini bermaksud untuk mendalami ilmu agama dari KH. Abdul Karim. Akan tetapi baru dua hari saja mereka berdua menetap di Lirboyo, semua barang-barangnya ludes di sambar pencuri. Memang pada saat itu situasi Lirboyo belum sepenuhnya aman, di Lirboyo masih ada sisa-sisa perbuatan tangan-tangan kotor. Akhirnya mereka berdua mengurungkan niatnya untuk mencari ilmu. Mereka pulang ke kampung halamannya.

Tahun demi tahun, Pondok Pesantren Lirboyo semakin dikenal oleh masyarakat luas dan semakin banyaklah santri yang berdatangan mengikuti santri-santri sebelumnya untuk bertholabul ilmi , maka untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh Syamsuddin dan Maulana, dibentuklah satuan keamanan yang bertugas ronda keliling disekitar pondok.

Berdirinya Masjid Pondok Pesantren Lirboyo
Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pondok pesantren, yang dianggap sebagai tempat ummat Islam mengadakan berbagai macam kegiatan keagamaan, sebagaimana praktek sholat berjama’ah dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, bukan merupakan hal yang aneh jika dimana ada pesantren disitu pula ada masjid, seperti yang dapat kita lihat di Pondok Pesantren Lirboyo.

Asal mula berdirinya masjid di Pondok Lirboyo, karena Pondok Pesantren yang sudah berwujud nyata itu kian hari banyak santri yang berdatangan, sehingga dirasakan KH. Abdul Karim belum dianggap sempurna kalau ada masjidnya. Maka dua setengah tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo, tepatnya pada tahun 1913 M. timbullah gagasan dari KH. Abdul Karim untuk merintis mendirikan masjid di sekitar Pondok.

Semula masjid itu amat sederhana sekali, tidak lebih dari dinding dan atap yang terbuat dari kayu. Namun setelah beberapa lama masjid itu digunakan, lambat laun bangunan itu mengalami kerapuhan. Bahkan suatu ketika bangunan itu hancur porak poranda ditiup angin beliung dengan kencang. Akhirnya KH. Muhammad yang tidak lain adalah kakak ipar KH. Abdul Karim sendiri mempunyai inisiatif untuk membangun kembali masjid yang telah rusak itu dengan bangunan yang lebih permanen. Jalan keluar yang ditempuh KH. Muhammad, beliau menemui KH. Abdul Karim guna meminta pertimbangan dan bermusyawarah. Tidak lama kemudian seraya KH. Abdul Karim mengutus H. Ya’qub yang tidak lain adik iparnya sendiri untuk sowan berkonsultasi dengan KH. Ma’ruf Kedunglo mengenai langkah selanjutnya yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembangunan masjid tersebut.Dari pertemuan antara H. Ya’qub dengan KH. Ma’ruf Kedunglo itu membuahkan persetujuan, yaitu dana pembangunan masjid dimintakan dari sumbangan para dermawan dan hartawan. Usai pembangunan itu diselesaikan, peresmian dilakukan pada tanggal 15 Rabi’ul Awwal 1347 H. / 1928 M. Acara itu bertepatan dengan acara ngunduh mantu putri KH. Abdul Karim yang kedua , Salamah dengan KH. Manshur Paculgowang.

Dalam tempo penggarapan yang tidak terlalu lama, masjid itu sudah berdiri tegak dan megah (pada masa itu) dengan mustakanya yang menjulang tinggi, dinding serta lantainya yang terbuat dari batu merah, gaya bangunannya yang bergaya klasik , yang merupakan gaya arsitektur Jawa kuno dengan gaya arsitektur negara Timur Tengah. Untuk mengenang kembali masa keemasan Islam pada abad pertengahan, maka atas prakarsa KH. Ma’ruf pintu yang semula hanya satu, ditambah lagi menjadi sembilan, mirip kejayaan daulat Fatimiyyah.

Selang beberapa tahun setelah bangunan masjid itu berdiri, santri kian bertambah banyak. Maka sebagai akibatnya masjid yang semula dirasa longgar semakin terasa sempit. Kemudian diadakan perluasan dengan menambah serambi muka, yang sebagian besar dananya dipikul oleh H. Bisyri, dermawan dari Branggahan Kediri. Pembangunan ini dilakukan pada tahun sekitar 1984 M. Tidak sampai disitu, sekitar tahun 1994 M. ditambahkan bangunan serambi depan masjid. Dengan pembangunan ini diharapkan cukupnya tempat untuk berjama’ah para santri, akan tetapi kenyataan mengatakan lain, jama’ah para santri tetap saja membludak sehingga sebagian harus berjamaah tanpa menggunakan atap. Bahkan sampai kini bila berjama'ah sholat Jum'at banyak santri dan penduduk yang harus beralaskan aspal jalan umum. Untuk menjaga dan melestarikan amal jariyyah pendahulu serta menghargai dan melestarikan nilai ritual dan histories, sampai sekarang masjid itu tidak mengalami perobahan, hanya saja hampir tiap menjelang akhir tahun dinding-dindingnya dikapur dan sedikit ditambal sulam.

PERAN PODOK PESANTREN LIRBOYO DALAM MEREBUT KEMERDEKAAN DAN MEMPERTAHANKANNYA
Pondok Pesantren Lirboyo, sejak zaman kolonial Belanda merupakan salah satu diantara sekian banyak pesantren yang ikut berjuang mengusir penjajah dari bumi nusantara tercinta. Hal ini dapat dibuktikan pada waktu tentara Jepang datang ke Indonesia untuk menjajah dengan dalih demi kemakmuran Asia Timur Raya. Ketika mereka mengundang para Ulama le Jakarta, maka KH.
Abdul Karim selaku pengasuh Pondok Pesantren berkenan hadir bersama KH. Ma’ruf Kedunglo dan KH. Abu Bakar Bandar Kidul dengan dikawal oleh Agus Abdul Madjid Ma’ruf. Ketika Jepang mengadakan latihan di Cibasura Bogor, Residen Kediri, R. Abd. Rahim Pratalikrama memohon kesediaannya KH. Mahrus Ali untuk berangkat sebagai utusan daerah Kediri. Berhubung beliu berlangan untuk hadir, maka diutuslah beberapa santri, antara Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Yogyakarta dan Ridlwan Anwar Kediri.Usai menghadiri pertemuan di Bogor, segala hal dan ihwal yang mereka ketahui di sana, segera disampaikan pada seluruh santri Lirboyo. Semua itu adalah merupakan satu usaha mngambil manfaat dalam rangka kerjasama dengan pemerintah Jepang. Akan tetapi dibalik itu ada maksud lain, yaitu sebagai persiapan Indonesia merdeka. Para utusan yang telah mendapat ilmu tentang kemiliteran, segera mengadakan latihan baris berbaris di Pondok Pesantren Lirboyo. Waktu itu sekitar tahun 1943-1944 M., yang mana di Kediri sudah dibentuk barisan Hizbullah dengan kepemimpinan KH. Zainal Arifin di tingkat pusatnya.

Pada masa itu adalah merupakan masa-masa penuh harapan rakyat Indonesia untuk terlepas dari cengkraman penjajah dari kepemerintahan negara yang dikenal dengan negeri Sakura itu. Rakyat sudah muak dengan segala tindakan penjajah. Mereka sangat rindu damai dalam merdeka. Betul juga, beberapa hari sesudah Hirosima dan Nagasaki yang merupakan dua kota besar di Jepang kejatuhan bom tentara sekutu, Jepang pun menyerah tanpa syarat. Akhirnya Indonesia yang sudah lama menunggu kesempatan amas dan hari-hari bersejarah itu segera memproklamirkan kemerdekaannya, tepat pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945, kebahagiaan bangsa Indonesia termasuk santri Lirboyo tidak dapat terlukiskan lagi.

Pelucutan Senjata Kompitai Dai Nippon
Adalah Mayor Peta H. Mahfudz yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri (markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya) .

Tepat pada jam 22.00 berangkatlah santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali, Mayor Mahfudz dan R. Abd. Rahim Pratalikromo. Sebelum penyerbuan dimulai, santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul 01.00 dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata

dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , kendati harus harus mengalami beberapa insiden dan bentrokan fisik, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Walaupun kemerdekaan masih sangat “muda” namun Indonesia sudah berhak mengatur negaranya sendiri. Tidak dibenarkan jika ada fihak luar yang turut campur. Akan tetapi tidak bagi Indonesia pada waktu itu. Baru saja Indonesia merasakan nikmatnya kemerdekaan, tiba-tiba ada

sekutu yang di”bonceng” Belanda yang mengatasnamakan NICA, pada tanggal 16 September 1945 mendarat di Tanjung Priuk untuk menjajah kembali. Kemudian disusul tanggal 29 September 1945dengan pasukan dan peralatan perang yang lebih komplit. Karuan saja, kedatangan mereka disambut dengan pekik “merdeka atau mati”. Begitulah semboyan bangsa Indonesia. Termasuk para ulama yang waktu itu tergabung dalam dalam perhimpunan Nahdlatul Ulama (dulu HB NU), pada tanggal 21-22 Oktober 1945 memanggil para ulama NU yang ada di Jawa dan Madura untuk mengadakan pertemuan di kantor PB NU jalan Bubutan Surabaya.

Tujuan pertemuan itu adalah membahas ulah Belanda yang hendak merampas kembali kemerdekaan Indonesia.Sebagai tokoh NU, KH. Mahrus Ali turut hadir dalam pertemuan itu. Dalam pertemuan itu para ulama mengeluarkan resolusi Perang Sabil. Perang melawan Belanda dan kaki tangannya hukumnya adalah wajib ain. Rupanya keputusan inilah yang menjadi motifasi para ulama dan santrinya untuk memanggul senjata ke medan laga, termasuk pesantren Lirboyo.

Tidak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara sekutu yang dipimpin AWS Mallaby mendarat di Tanjung Perak Surabaya. Tindakan mereka semakin brutal,, pada tanggal 28 Oktober mereka mulai mengadakan gangguan-gangguan stabilitas, mereka merampas mobil, mencegat pemuda-pemuda Surabaya , merebut gedung yang sudah dikuasai Indonesia. Yang lebih menyakitkan, mereka menurunkan sang Merah Putih yang berkibar diatas hotel Yamato, dan digantinya dengan Merah Putih Biru. Pemuda Surabaya marah, terjadilah pertempuran selama tiga hari, 28,29,30 Oktober 1945, hingga terbunuhlah AWS Mallaby, Jendral andalan Inggris yang masih berusia 45 tahun.

Dalam situasi demikian itu, Mayor Mahfudz datang ke Lirboyo menghadap KH. Mahrus Ali untuk memberikan kabar bahwa Surabaya geger. Seketika KH Mahrus Ali mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri untuk berangkat perang ke Surabaya. Hal ini disampaikan lewat Agus Suyuthi. Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya.

Dengan mengendarai truk , para santri dibawah komando KH. Mahrus Ali berangkat ke Surabaya. Meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing, mereka bersemangat berjihat menghadapi musuh. Santri yang dikirim waktu itu berjumlah sebanyak 97 santri.